Amaya dengan cepat menyelesaikan urusannya di dalam bilik kamar mandi itu. Ia pisahkan pakaiannya yang kotor bersama dengan coat panjang milik Kelvin pada paperbag yang besar sementara obat dan beberapa makanan serta minuman yang dibelikan oleh Kelvin pada paper bag lain yang lebih kecil. Ia keluar dari sana dan menyadari kamar mandi yang tak sesepi sebelumnya. Ia mencuci tangan dan dengan cepat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke ruang—tempat di mana ia akan menghadiri kelas paginya. Dengan langkah yang sedikit gegas akhirnya ia tiba, dan cukup terkejut melihat Kelvin rupanya ada di dalam sana, tengah duduk seolah pria itu sedang menjaga tas miliknya. Amaya melihat beberapa temannya yang menahan senyum sewaktu ia datang dan memasuki ruangan. Termasuk Alin dan Naira yang sepertinya juga baru datang dan tak bisa mencerna apa yang terjadi sekarang ini. "Terima kasih," ucap Amaya saat tiba di samping meja, tempat di mana Kelvin duduk di sana dan menyambutnya dengan seulas senyu
Kelvin pergi setelah mengatakan itu pada Ziel. Senyum tipisnya terukir saat wajah pemuda itu tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. 'Biarkan saja,' pikir Kelvin dalam hati. 'Ada baiknya memperingatkannya sejak awal daripada dia terus berharap.'Karena jika Ziel terus merasa ia masih mempunyai kesempatan untuk memiliki Amaya, tak ada yang menjamin keinginan itu akan berubah menjadi obsesi.Kelvin hanya menerapkan batas dan membuka matanya lebar-lebar, bahwa yang tengah diharapkannya itu adalah istri orang. Sampai sana ... harusnya ia paham!Memasuki ruang dosen, ia disambut oleh Arsha yang menghampiri mejanya. Temannya itu sedikit menyipitkan mata melihat kedatangannya sebelum bertanya, "Dari mana, Vin?""Bukan urusanmu," jawab Kelvin singkat. Ia lebih memilih duduk di kursinya sementara Arsha mengetukkan jari telunjuknya ke atas meja."Kamu masih kesal loh sama aku sampai hari ini, Vin," katanya. "Maaf, aku 'kan udah bilang nggak bakalan ngajakin kamu ketemu sama perempuan lain at
Sepulang dari kampus, Amaya yang lebih dulu tiba di rumah seperti akan menghabiskan waktu dengan berbaring sepanjang hari. Tidak biasanya perutnya sakit seperti ini saat datang bulan. Sekalipun sakit, tidak separah ini, tidak melilit dan membuatnya seolah dicengkeram dengan sangat kuat. Ia meringkuk di bawah selimut, berusaha memejamkan mata untuk mengalihkan rasa sakit itu seandainya ia bisa tertidur. "Padahal udah minum obat pereda nyerinya loh," gumamnya sendirian. Ia mendengar pintu kamar yang terbuka, wangi parfum maskulin pria yang disukainya itu menguat saat suara langkah kakinya mendekat. Kelvin. Amaya yakin itu adalah Kelvin. "Sayang," panggilnya. Baritonnya yang hangat terdengar begitu dekat dengan Amaya sehingga ia membuka mata dan menjumpai Kelvin yang naik ke atas tempat tidur dan mengusap pipinya. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya khawatir. Mungkin karena melihat bibir pucat Amaya. "Iya," jawab Amaya. "Cuma nyeri aja, padahal nggak biasanya begini." "Mau pergi ke r
Di rumah sakit tempat Rama dirawat pasca ia overdosis, pemuda itu tidak semurung sebelumnya. Ia tengah duduk di bangku taman yang berada tidak jauh dari kamar rawatnya dan terdiam memandang segerombolan pasien anak yang kondisinya membaik tengah bermain tak jauh darinya."Nak, ayo masuk dulu," ajak sebuah suara dari belakangnya yang membuat Rama seketika menoleh dan menjumpai wajah sang ibu, Arimbi. "Iya, Ma," jawab Rama singkat. Ia beranjak menuju ibunya yang menyambutnya dengan seulas senyum hangat. "Besok kamu udah boleh pulang kata dokter, kenapa masih suka ngelamun sih?" tanya Arimbi saat mereka memasuki kamar. "Cuma bingung habis ini ngapain," jawab Rama. "Karena rasanya nggak ada pandangan masa depan.""Seperti yang kamu bilang ke Mama dan Papa, bukannya kamu mau datang ke Jakarta lagi dan minta maaf ke Miranda?" "Benar sih.""Kamu harus bertanggung jawab buat kesalahan itu, Ram," kata Arimbi. "Kalau mau melanjutkan hidup dengan tenang, kamu harus selesaikan satu per satu.
Di kantin kampus, Randy yang terakhir duduk adalah hal yang dilihat Amaya sebelum ia menyuap makanan yang ia pesan. "Hah ...." desahan berat yang keluar dari bibir Randy membuat Amaya, Alin dan Naira serempak memandangnya. "Kenapa?" tanya mereka bertiga bahkan hampir bersamaan. "Kuliah baru juga mau semester lima, udah ditanyain nanti kalau lulus mau kerja di mana," jawab Randy sebelum mengaduk es teh manis yang ada di hadapannya. "Bukannya itu bikin kita sadar kalau dunia berjalan kayak seharusnya?" tanya Alin. "Bahkan ada yang bilang kalau yang paling sulit pas kita dewasa itu bukan ngerjain skripsi, tapi pas kita masuk di dunia kerja." "Tapi pas ada yang tanya begitu kamu jawab apaan, Ran?" tanya Naira, dibuat penasaran mengingat Randy itu banyak tidak seriusnya saat bicara santai seperti ini. "Aku jawab mau jadi bisnis konsultan." "Emang bakalan ada yang konsultasi sama kamu?" tanya Naira lagi. "Ada, kalau nggak ada aku bakal paksa dia buat mempekerjakan aku," jawab Randy p
Amaya meremas ujung jarinya saat mendengar percakapan Kelvin dan Arsha yang ada di ruang tengah berlanjut.“Nih, kunci motor baruku.” Suara Arsha kembali terdengar. “Kamu menang taruhannya, Vin.”Amaya yang menyembunyikan dirinya di balik pilar besar di dalam rumah Kelvin mengintip pada dua pria itu.Dengan matanya ia melihat Kelvin menerima kunci motor dari Arsha. Motor baru ia bilang.‘Itu bercanda atau serius?’ tanya Amaya dalam hati. ‘Tapi kalau bercanda pun emangnya boleh ya jadiin orang lain sebagai objek taruhan?’Ia tidak tahu rasa sakit apa yang ada di dalam hatinya ini. Seolah ada duri-duri kecil yang tumbuh dan memenuhi semua ruang kosong di dadanya.Amaya membawa dirinya untuk pergi dari sana, langkahnya terasa gamang saat ia menaiki undakan tangga dan tiba di kamar atas.Ia meletakkan tasnya, setelah mencuci tangan ... kegiatan yang semula ia susun rapi dimulai dari menyelesaikan tugas untuk presentasi besok gagal seketika.Amaya tidak tenang, ia ingin mendengar langsung
“Istri hasil taruhan?” ulang Kelvin dengan sepasang matanya yang membola. Jemarinya yang semula menyentuh dagu Amaya pergi tetapi tatapannya justru semakin lekat. Amaya mengangguk membenarkan Kelvin, bahwa ia tak salah dengar saat dirinya menyebut ‘istri hasil taruhan.’ “Kenapa kamu tanya begitu, hm?” tanya Kelvin, alisnya yang lebat berkerut penuh rasa penasaran. “Karena pas aku pulang kemarin kamu bilang ke Pak Arsha kalau kamu menang taruhan,” jawab Amaya. “Dan aku lihat kamu nerima kunci motor baru dari dia.” Kelvin mendorong napasnya, ekspresinya seperti sedang bicara, ‘Astaga ... kamu mendengarnya?!’ “Makanya aku tanya apakah aku ini istri hasil taruhan? Bagi seorang Kelvin Indra ... apakah aku ini hanya sebatas anak kecil yang bisa dipermainkan padahal aku percaya kalau pernikahan yang kita bangun itu adalah sesuatu yang sakral.” Bibir Amaya gemetar. Angannya masih terbagi hingga sekarang. Yang didengar dan dilihatnya kemarin sangat jelas seolah Arsha seperti s
“Masuklah,” ucap Kelvin lirih seraya menyerahkan tas milik Amaya. “Selamat kuliah.”Amaya mendengus saat menerimanya dari Kelvin. Mata mereka tertaut pandang selama beberapa detik sebelum Kelvin tersenyum dan memandang rekannya yang bernama Lucy yang duduk di balik meja. Sekilas melambaikan tangan padanya sebelum akhirnya pergi meninggalkan pintu ruangan.Sementara Amaya dengan gugup masuk dan menundukkan kepalanya dihadapan Lucy seraya berujar, “Maaf terlambat, Bu Lucy,” katanya sungkan.“It’s okay, Amaya,” jawab beliau tak keberatan. “Saya juga baru masuk kok. Silakan duduk.”Amaya mengangguk kemudian menuju ke kursi kosong pada baris ke tiga dari depan.Puluhan pasang mata yang hadir di dalam kelas itu tak henti memandangnya. Sesekali bisikan terdengar, “Ya nggak salah sih, dia emang cantik banget.”“Kalau aku jadi Pak Kelvin juga bakalan aku kejar sampai ujung dunia,” celetuk suara mahasiswa yang datang dari belakang Amaya.Sedang yang dibicarakan merasa sangat sungkan. Amaya han
Amaya membiarkan tiga sahabatnya itu memeluknya secara bersamaan. Isak tangis Alin dan Naira sebab rindu terdengar sementara Randy tak bersuara. Tapi saat mereka saling melepaskan, Amaya bisa melihat sepasang matanya yang memerah. “Kangen banget,” kata Alin menyusul ucapan dari Naira yang menyebutkan bahwa ini sudah bulan ke enam mereka tak saling berjumpa. “Aku tanya ke Pak Gafi di kantor apa beliau nggak akan datang ke sini,” kata Randy. “Kalau mau pergi, aku bilang saya sama dua teman saya mau barengan. Dan ternyata beliau malah minta kami cuti biar hari ini bisa datang.” “Serius?” tanya Amaya, menoleh ada Gafi yang tersenyum sementara ketiga temannya itu mengangguk membenarkannya. Perlu diketahui, Alin dan Naira bekerja di Rajs Holdings—perusahaan milik keluarganya Kelvin. Keduanya menjadi tax accountant, dengan Alin yang belakangan ia dengar sedang dipromosikan untuk naik jabatan sementara Naira menjadi ketua tim. Randy ada di Hariz Corp, posisinya sudah lumayan tinggi. Ota
Amaya hendak melangkah menjauh setelah mengatakan itu, tapi ia tak bisa pergi begitu saja sebab Kelvin merengkuh pinggangnya agar mereka berdiri seperti sebelumnya. Prianya itu menunduk, dan berbisik, "Aku mencintaimu, Amaya." Kecupan sekali lagi jatuh di bibirnya. Senyum merekah saat mereka kemudian menoleh pada Amora yang menangis dan memanggil, "Mama ...." Bocah kecil itu tengah terduduk di atas rerumputan, tengah dibantu oleh si Abang agar bangun. "Nggak apa-apa, Adek ... ayo bangun," kata Keegan lalu mengusap lutut Amora sebelum merdeka menoleh pada Amaya yang bertanya, "Kenapa, Sayang-sayangnya, Mama?" "Amora jatuh, Mama," jawab Keegan. "Nggak apa-apa, 'kan? Udah ditolong Kakak?" Amora mengangguk meski bibirnya masih tertekuk dan pucuk hidungnya yang memerah. "Kalau begitu bisa berhenti sebentar lari-lariannya?" pinta Amaya yang disambut anggukan oleh si kembar. "Bisa." Maka setelah itu Amaya melihat Keegan dan Amora yang berjalan bergandengan tangan, di atas jogging tr
Vancouver, Canada. Tiga tahun kemudian. .... Amaya menggandeng tangan kecil masing-masing di sebelah kiri dan kanannya saat berjalan keluar dari mobil yang ia berhentikan di tepi jalan. Mereka tengah menunggu seseorang keluar dari pintu gerbang itu untuk berjumpa dengannya. "PAPA!" seru suara manis bocah kecil di sebelah kanan dan kiri Amaya secara bersamaan. Mereka melambaikan tangannya pada pria dengan coat panjang warna hitam yang berlari keluar dari pintu gerbang. Kelvin. Pria itu adalah Kelvin. "TWINS!" balas Kelvin tak mau kalah antusiasnya. Ia berlutut seraya merentangkan kedua tangannya, sehingga Amaya melepas 'twins' yang baru saja dikatakan oleh Kelvin itu dan mereka memeluknya. Dua bocah kecil itu adalah Keegan dan Amora, anak kembarnya yang telah lahir dan tumbuh menjadi kembar sepasang yang tampan dan cantik. Keegan Yezekail dan Amora Amarilly, tentu dengan nama keluarga Amaya dan Kelvin di belakangnya, Hariz-Asgartama. Janin kembar yang hari itu
Meski disembunyikan, atau sebesar apa usaha Amaya dan Kelvin menutupi tentang resepsi pernikahan mereka, tapi tetap saja fotonya bocor! Tak hanya resepsi pada pagi hari saja, tapi juga resepsi yang diselenggarakan pada malam hari. Semesta seperti ingin berbagi kebahagiaan itu pada semua orang. Foto-foto mereka yang manis menghiasi forum mahasiswa selama beberapa hari, dari Sabtu, Minggu hingga Senin pagi hari ini. Seseorang menghela dalam napasnya kala ia menggulir layar ponselnya, foto Kelvin yang tampak meneteskan air mata seperti baru saja membuatnya memberikan sebuah pengakuan bahwa pria itu mencintai Amaya sangat besar. Ziel, pemuda itu adalah Ziel, yang duduk di bangku taman yang tak jauh dari lapangan futsal di kampus. Seorang diri, sebelum sebuah suara datang dari samping kanannya dan ikut duduk di sana. "Bang Ziel," sapanya. Wajahnya muncul dan membuat Ziel sekilas melambaikan tangan padanya. "Ya, Randy. Aku pikir nggak masuk kamu tadi," balasnya. "Ngapain nggak masu
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba. Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin. Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia. Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh. Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’ Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang. Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari m
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya. Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja. “Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya. “Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya. “Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur. Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya. Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat. "Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini. "Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh. Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebe
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi