Aku mencoba ikhlas dari suatu kehilangan dan tersenyum dari suatu kesakitan.
—Queena Bulan Latief—
Siang itu seluruh keluarga berkumpul, termasuk Om Pram, istri dan anaknya. Mereka begitu terkejut saat mengetahui kabar bahwa menantu mereka ada di rumah sakit dan sedang berjuang melawan kematian.
Siapa yang akan mengira bahwa perempuan seperti Bulan ternyata selama ini merahasiakan penyakitnya dari semua orang.
Semenjak pagi, Rayan terus menangis tanpa sebab. Balita tersebut menolak diberikan apa pun dan hanya merengek manja pada para orang tua, mereka menggendong balita tampan tersebut bergantian.
Papa Andre, Papi Jacob telah mendatangi berbagai rumah sakit khusus kanker untuk mengetahui pengobatan apa yang bisa dilakukan. Tapi sayang, semuanya nihil dan tidak ada solusi. Ada salah satu dokter yang menyarankan untuk melakukan operasi, namun dilihat lagi
Sementara di rumah sakit, ruangan inap terlihat ramai dengan ucapan syukur karena akhirnya Bulan membuka mata dan sadar setelah tidur panjangnya. Saat matanya terbuka, pertama kali yang ditanyakan adalah anak dan suaminya. Kebetulan Rayan masih ada di sana waktu ibunya sadar sehingga Bulan mencurahkan banyak kerinduan untuk anaknya. “Mi—mi.” “Iya, ini mimi. Dede Rayan sudah bisa panggil mimi, anak mimi pintar ya.” Walaupun lemah, Bulan memaksakan diri untuk duduk dan menghujani putranya dengan pelukan juga kecupan kerinduan. Bulan menghabiskan sepanjang sore ditemani sang anak. Kemudian perempuan itu meminta pengasuh membawa Rayan pulang ke rumah. Kedua orang tua Bulan dan Alfan ada di sana masih menunggu dan menceritakan banyak waktu-waktu yang telah dilewatkan. Ia mendengarkan seraya memejamkan mata seperti mendengarkan dongeng pengantar tidur yang dibawakan oleh empat orang sekaligus.
Penyesalan tidak dapat mengubah masa lalu, begitu pula kekhawatiran tidak dapat mengubah masa depan. Setiap rangkaian cerita meninggalkan makna arti sebuah kehidupan. —Alfan Fatih Herlambang— Luka-luka di tubuhnya sama sekali tidak terasa sakit. Tubuhnya menjadi pelampiasan dari ayahnya dan ayah mertuanya yang baru datang setelah jenazah hampir dibawa pulang. Belum sempat mereka meratapi duka kehilangan Bulan, kabar tentang kecelakaan yang merenggut nyawa balita tampan kembali mengguncang mereka. Ibu dan anak tersebut meninggal tanpa membawa beban, mereka akan hidup bersama. Sementara Alfan harus meratapi penyesalannya sendirian. Luka-luka di tubuh Alfan yang membiru dan meninggalkan lebam di seluruh tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan duka kehilangan anak dan istrinya. Alfan bahkan turut turun untuk menguburkan jenazah anak dan istrinya yang ditempatkan bersebelahan. Alfan juga meminta satu space kosong di samping
“Aku merindukanmu. Maafkan aku, maafkan aku yang terlambat menyadari semuanya.” Alfan bersimpuh di depan makam yang bertuliskan nama Queena Bulan Latief—istrinya. Air mata tak lagi keluar dari manik matanya, tetapi kepedihan yang dirasakan selama setahun hidup sendiri begitu menyakitkan. Dia hidup sendiri tanpa istri dan anaknya, sementara kedua orang tuanya sendiri masih belum bisa memaafkan. Waktu setahun tak bisa melembutkan hati kedua orang tuanya. Dia paham, ini memang kesalahannya dan dia benar-benar telah menyadari semua itu. Namun sayang penyesalannya benar-benar telah terlambat. Sesaat setelah itu dia menoleh ke makam yang ada di sampingnya, Rayan As Samad Herlambang—putra kecilnya. Dia hanya bisa menciumi nisan tersebut kala rasa rindu menyerbu dadanya. Kepergian anak istrinya bukan hanya meninggalkan duka, tetapi juga sengsara. Dia harus menghadapi semuanya sendirian, tentang mimpi
Kehidupan kadang tak semanis harapan. Semua bisa dibolak-balik dalam waktu singkat dan orang menyebutnya takdir. Setelah melakukan pertemuan dengan klien, mobil yang dikendarai tak langsung pulang. Dia menuju ke suatu tempat. Setelah menunggu beberapa saat, tak lama pintu ruangan berukuran 3x4 itu terbuka dan muncul sosok wanita yang tersenyum ke arahnya. “Apa kabar Mas Alfan?” tanya wanita yang mengenakan seragam orange tersebut. “Tidak lebih baik daripada dirimu, Zahra,” sahut Alfan datar, tatapan matanya begitu tajam. Tak lagi ada keramahan, belas kasih ataupun sentuhan fisik. Dia menghindar saat wanita itu ingin menyentuh tangannya. “Kita sama, Mas. Impas, kan?” ucapnya tanpa rasa bersalah. “Dasar iblis! Wanita macam apa yang tega menyakiti balita yang tak bersalah.” Zahra justru terkekeh. “Jangan katakan itu terdengar m
“Jadi, sang raja ditinggalkan seorang diri?” tanya bocah kecil berusia tujuh tahun, menatap wajah wanita dengan senyum hangat yang baru saja menceritakan sebuah cerita tentang raja dan ratu baik hati. Wanita itu mengangguk. “Ya. Raja harus menerima hukuman karena telah menyakiti banyak orang.” “Tapi bukankah raja itu sudah menyesal, Mom? Bukankah kita harus saling memaafkan dan berbaikan lagi,” sahutnya tak mau kalah. “Memberikan maaf memang perlu, tapi tak semuanya bisa berbaikan lagi seperti sedia kala.” “Why?” “Itu konsekuensi. Ada sebab ada akibat. Jika kamu nakal, pasti dihukum kan? Maka jika tak mau dihukum, kamu harus jadi anak baik.” Kepala bocah kecil itu mengangguk seolah mengerti dengan ucapannya. “Aku anak baik, Mom,” protesnya dengan kesal membuat wanita itu tertawa. “Oh, ya? Coba katakan siapa yang mengerjai Ne
“Aku menyayangimu, Mas Alfan.” Suara lemah tersebut dibarengi dengan teriakan seluruh keluarga yang menyaksikan bagaimana seorang wanita yang selama ini berjuang sendirian kini berada di titik rendah kehidupan. Suara detektor jantung dengan tampilan garis lurus di layar membuat team dokter mencoba melakukan pertolongan darurat. Lega. Satu perasaan itu muncul ketika melihat pasien yang sudah dinyatakan meninggal beberapa detik tersebut kembali bernapas. Bahkan wanita paruh baya yang menyaksikan di balik kaca tembus pandang sampai melakukan sujud syukur atas kesempatan yang diberikan untuk putrinya. Setelah semua ketegangan yang terjadi, akhirnya keluarga bisa bernapas dengan lega. Namun, kabar baru yang diterima kembali membuat mereka syok. Balita kecil berusia dua tahun, cucu mereka mengalami kecelakaan dan seluruh korban sudah dirujuk ke rumah sa
“Mam, aku dan Zen akan kembali ke Indonesia,” ucap wanita berhijab yang wajahnya kini terlihat sangat dewasa.Kedua orang tuanya terlihat terkejut dengan keputusan yang diambil.“Untuk apalagi? Kehidupan kita di sini sudah lebih baik. Tak perlu kamu kembali ke sana jika hanya untuk kembali menyakiti diri.” Sang ayah menolak dengan tegas, wajahnya menunjukkan penolakan yang begitu kentara.“Aku hanya ingin hidup mandiri bersama dengan Zen. Aku akan tinggal di Bali.”“Sudahlah, Ayesha. Apa kurangnya kamu tinggal di sini? Kamu sudah memulai segalanya di tempat ini, kenapa harus terbayang-bayang masa lalu.”Meninggalkan semua yang dimiliki di Indonesia, nyatanya tak membuat keluarga Latief jatuh bangkrut.“Papi, aku sudah melupakan masa lalu!”Ayesha Permata Shandy, ya itulah i
Indonesia.Sebuah rumah mewah yang ada di daerah Seminyak—Bali, menjadi pilihan. Rumah dua lantai ini dibeli beberapa waktu yang lalu sebelum mereka terbang ke sini.Akad jual beli semuanya dilakukan oleh pengacara bersama notaris dan sudah resmi atas nama Arzen.Rumah ini sudah dilengkapi isinya. Memiliki tiga kamar tidur yang luas, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, bar, dan kolam renang. Semua perabotan dan dekor sudah sangat sesuai dengan permintaan Ayesha, perpaduan warna gold dan putih.Di beberapa bagian diletakkan tanaman-tanaman hijau yang menyegarkan. Rumah ini terlihat mewah, nyaman dan yang pasti terletak di tempat yang strategis.Menurut Ayesha konsep rumah ini lebih seperti sebuah villa.“Gimana rumah baru kita? Zen pasti suka tinggal di sini, dekat pantai dan beberapa tempat wisata.” Ayesha menatap putranya setelah mereka berk