Pembicaraan tersebut didengar oleh Arzen yang ada di gawang pintu. Remaja itu memilih mematung di sana, mendengar obrolan kedua orang tuanya yang sepertinya sama-sama menahan perasaan.“Mom!”Ayesha menoleh. “Ada apa, Zen?” tanyanya dengan senyum canggung.Arzen mendekat dan bisa melihat jelas bahwa lelaki itu masih terbaring dengan mata sayu, juga wajah yang pucat.“Bagaimana keadaanmu, Om?” tanyanya sambil duduk di samping sang ibu.“Sudah lebih baik. Terima kasih kamu sudah datang, Nak.” Alfan melemparkan senyum teduh kepada sang anak. Walaupun panggilan om tentu saja membuatnya terluka.“Tentu saja. Jika aku tidak datang, mungkin kamu sudah tewas karena kejang,” sahut Arzen dengan tajam, membuat Ayesha segera menoleh dengan tatapan mengancam.“Jaga bicaramu, Zen. Tidak sopan kamu bicara dengan orang tua seperti itu,” hardik Ayesha penuh peringatan.Namun justru hal lain dilakukan oleh Alfan, lelaki itu terkekeh pelan sambil berkata, “Dia benar-benar mewarisi dirimu, Aye. Ucapannya
Sejak kedatangannya, Alfan masih setia duduk di teras, ditemani secangkir kopi hitam buatan Ayesha. Sayangnya wanita itu meminta Nena yang mengantarnya, tetapi Alfan tahu bahwa kopi itu adalah buatan mantan sang mantan .Sudah pukul setengah tujuh pagi, dari dalam rumah sudah terdengar suara teriakan Arzen, pekikan kesal Ayesha dan tawa Nena yang lumayan keras.Diam-diam Alfan tersenyum, membayangkan keutuhan keluarga dengan suasana hangat, pasti bahagia sekali.Terdengar suara pintu terbuka dan sosok Arzen muncul. Remaja itu mencium punggung tangan sang ayah sopan dan bergumam, “Gerak cepat juga, ya.” Diakhiri tawa pelan.“Iya, takut ditikung yang lain. Saingannya banyak,” jawab Alfan sambil mengusap kepala sang anak.“Di suruh mommy masuk, kasihan katanya. Om pasti belum sarapan.”“Mommy yang menyuruhmu? Wah, ternyata diam-diam dia masih menaruh perhatian.” Alfan tersenyum manis.“Itulah yang membuatku heran. Banyak lelaki yang mengejarnya, tapi justru pengecut yang diharapkan.” Arze
Setelah menyelesaikan pekerjaan, Ayesha berniat makan siang di luar. Namun, urung saat tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan Alfan yang membawa berbagai makanan kesukaannya.Awalnya ia merasa aneh dan heran, tetapi tak banyak bertanya karena ia tahu bahwa Arzen yang mungkin telah memberikan alamat ini.“Semoga makanan ini masih menjadi favoritmu,” ucap Alfan dengan senyum canggung.“Terima kasih,” sahut Ayesha tak kalah gugup. Bahkan saat kulit keduanya tak sengaja bersentuhan, ada getaran dan aliran listrik yang langsung menyengat.“Duduklah, aku akan siapkan piring lebih dulu. Oh, ya, kamu mau minum apa?” tanya Ayesha dengan kepala menunduk.“Air putih dan kopi, jika tidak keberatan.”Ayesha mengangguk dan keluar dari ruangan menuju dapur kecil di sudut tempat tersebut.Beberapa karyawan dengan penuh keingintahuan langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan, tentang siapa lelaki itu. Ayesha terkenal baik, tetapi ia memang tidak terlalu suka mengatakan apa pun tentang hidupny
Keduanya pulang dengan tubuh basah kuyup, sebab Arzen mengajak Alfan bermain-main dengan air.Senyum dan tawa dari Arzen bagaikan obat yang mampu melipur segala penyesalan Alfan. Wajah remaja itu benar-benar membuatnya semakin bersemangat untuk merajut asa yang hampir sirna.Kini yang diinginkan Alfan bukan lagi tentang harta, warisan atau apa pun lagi di dunia. Namun, anak dan mantan istrinya kembali ke dalam hidupnya.Sesampainya di rumah, mereka disambut dengan senyum manis Ayesha yang begitu manis dan meneduhkan. Wanita itu menatap keduanya dengan alis terangkat saat menyadari tubuh keduanya basah kuyup.“Arzen, segera bersihkan dirimu!” Perintah Ayesha dengan tegas.“Oke, Mom. Aku mandi dulu, Om,” sahutnya, tak lupa ia berpamitan dengan sang ayah.Setelah kepergian Arzen, Ayesha menatap tajam mantan suaminya. Ia berdecak kesal, kemudian pergi begitu saja. Tak sampai sepuluh menit wanita itu kembali dan mengulurkan handuk.“Di sini tidak ada pakaian lelaki, pakailah handuk itu, da
Menunggu Ayesha diperiksa, Alfan tak bisa duduk dengan tenang. Lelaki itu mondar-mandir seperti sebuah setrika yang tak bisa diam.Sementara Arzen dan Nena duduk dengan tenang, sesekali melempar tatapan saling menguatkan yang menenangkan.Sejak dinyatakan sembuh, baru sekali ini Ayesha kembali drop. Semenjak menginjakkan kaki kembali ke Indonesia, wanita itu melupakan cek up rutin yang selalu dilakukan, seperti yang selalu diingatkan oleh kedua orang tuanya.Tak lama dokter keluar dari ruangan dan Alfan langsung menyerbu dengan berbagai pertanyaan tentang kondisi pasien.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasien baik-baik saja, hanya kelelahan dan demam tinggi yang membuatnya tak sadarkan diri. Kami akan melakukan cek up menyeluruh untuk melihat perkembangan terkait,” jelas dokter dengan name tag dr. Irna Narulita.“Begini dok, kebetulan pasien pernah punya riwayat kanker otak. Saya hanya khawatir jika penyakit itu kembali bersarang di tubuhnya.”Dokter wanita itu mengangguk mengert
“Apa, Aye? Jangan berteriak. Kamu bahkan masih terbaring di ranjang pesakitan. Jaga emosimu agar keadaanmu segera membaik.” Alfan menatap Ayesha lembut, tetapi nada suaranya seakan tengah mencemooh dirinya yang saat ini tak berdaya.“Awas kamu!” balas Ayesha dengan kesal, ia menatap mantan suaminya tajam penuh permusuhan.“Biar aku yang menjagamu. Arzen biar pulang dengan Nena. Kasihan besok dia harus sekolah.” Namun, ucapan itu bagaikan kicauan burung yang tak mendapat respons apa pun.Ayesha kembali berbaring dengan mata terpejam. Sementara Alfan, ia segera menemui Arzen dan Nena yang ada di depan ruangan rawat. Mereka hanya diam tanpa melakukan apa pun.“Zen, pulanglah dengan Nena. Besok kamu masih harus ke sekolah. Biar ibumu, aku yang menjaganya. Setelah pulang sekolah kamu bisa datang lagi,” ucap Alfan duduk di samping sang anak.“Aku mau menemani mommy di sini. Lagipula ada kamar yang bisa kutempati.”“Percayakan ibumu pad
Alfan tampak tak suka ketika seorang lelaki memanggil Ayesha dengan sebutan nona senja. Lagipula kelihatannya hubungan mereka terlihat akrab. Itu bisa mengancam keberadaannya.“Sudah, Aye. Kamu harus kembali ke kamar dan istirahat,” kata Alfan menyela obrolan dua orang itu.“Oke. Semoga kamu cepat sembuh. Aku akan mengunjungimu kembali jika ada waktu. Juga maaf atas apa yang terjadi di masa lalu.” Lelaki yang tak lain Hanan itu tersenyum tulus ke arah Ayesha.“Sama-sama. Terima kasih banyak.”Setelah Hanan pergi dari hadapan mereka. Tampaknya Alfan ingin tahu apa yang dimaksud, tentang masa lalu yang dikatakan. Apa sebenarnya lelaki itu pernah memiliki hubungan serius dengan Ayesha?Tidak! Tidak boleh dibiarkan, batin Alfan.“Ada hubungan apa kamu dengan lelaki itu?”Ayesha menoleh dan tersenyum tipis. “Bukan urusanmu, Mas Alfan,” jawabnya datar.“Akan menjadi urusanku karena kamu adalah istriku.”“Mantan! Kita hanya mantan suami istri, Mas Alfan. Jangan lupa akan hal itu.” Koreksi Ay
Setelah dipastikan kondisi Ayesha baik-baik saja. Dokter mengizinkan wanita itu pulang dengan catatan harus istirahat lagi selama beberapa hari.Sambil menunggu Alfan menyelesaikan administrasi dan menebus obat, Ayesha mengecek ponsel yang beberapa hari kemarin terabaikan begitu saja.Terlalu fokus menatap ponsel, Ayesha tak menyadari kehadiran Alfan yang sudah berdiri di sebelahnya. Mata lelaki itu mengintip sedikit ke arah ponsel yang mengalihkan seluruh atensi wanita cantik itu.“Sudah siap?” tanya Alfan mengejutkan, membuat ponsel di tangan Ayesha jatuh menyentuh lantai dengan keras.“Mas Alfan!” pekik Ayesha kesal. Ia memungut kembali ponsel yang layarnya berubah menjadi hitam. “Ponselku rusak,” keluhnya sedikit kesal. Itu ponsel mahal yang belum lama ini dibeli dengan harga tiga puluh lima juta. Cukup fantastis mengingat ia adalah seorang pengangguran.“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan. Kamu yang terlalu fokus menatap ke sana.” Alfan menunjuk pada ponsel yang dipegang Ayesha