“Tidak apa-apa, Pak Samsul. Namanya juga pengantin baru. Baru dua hari, ‘kan?” sahut Ustaz Ilyas ikut meledek Akhtar. Ia bersikap demikian agar Pak Samsul dan timnya tidak merasa bersalah dengan tingkah calon wakil bupati yang akan mereka usung itu. Pemakluman dari Ustaz Ilyas justru membuat pipi Arisha makin merona. Ia sampai sedikit menggeser duduknya dari Akhtar. Kini ia baru mengetahui sisi lain Akhtar, tidak sabaran. Setelah membetulkan kopiahnya, lelaki yang sebagian rambutnya berwarna putih keperak-perakan itu mulai kembali bicara. “Bismillah, saya coba jawab tawaran dari Kiai Yassir, inggih. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kunjungan Panjenengan semua. Jujur saya merasa terhormat didatangi orang-orang penting, saudara seperjuangan untuk mendakwahkan Islam di wilayah Mojoasri ini.” Ustaz Ilyas sedikit menjeda untuk mengambil napas. Suasana berangsur hening. “Adapun terkait tawaran menjadi bagian dari tim sukses untuk mendukung pencalonan Panjenengan berdua, mohon m
Baru sekitar lima menit mereka saling berdiam diri, ternyata Arisha yang tidak tahan. Mungkin karena ia pertama kali berumah tangga sehingga belum punya pengalaman berkonflik dengan pasangan. “Mas … tolong jangan seperti ini. Panjenengan maunya apa?” Akhtar masih bertahan bersandar di jendela. Mendengar intonasi suara Arisha melembut, Akhtar membalikkan badan. Dalam pandangan Akhtar, emosi Arisha membuat kulit dan sinar matanya bercahaya. Suatu perasaan yang manis yang sekilas tampak kerapuhan, tetapi justru mencerminkan kekuatan perasaannya. “Sudah kukatakan sejak awal, tolong terbukalah. Jawablah pertanyaanku tadi.” “Hubungan apa yang Panjenengan maksud, Mas? Sudah kukatakan aku tak punya hubungan apa pun dengan sahabatmu itu. Kami bahkan bertemu langsung hanya dua kali. Ketika ia mengantarkan Salwa ke apartemen tempatku tinggal. Selebihnya kami tak pernah berinteraksi. Ia beberapa kali memberiku makanan dan baju, itu pun dititipkan le
Lantai marmer sepanjang lorong hotel terasa begitu dingin. Ditambah pagi ini mentari seolah enggan menampakkan diri. Usai sarapan, Akhtar dan Arisha hendak balik menuju kamar. Saat menaiki lift, hanya ada mereka berdua. Kemudian lengan pria itu memegang erat Arisha di sampingnya. “Pagi ini kita free. Tidak ada jadwal kunjungan silaturahmi ke para tokoh.” Akhtar tetap melingkarkan lengannya di pinggang ramping Arisha saat mereka sudah keluar dari lift. “Kalo begitu kita ke abah sekarang saja.” Arisha sudah tak sabar ingin segera bertemu kedua orang tuanya beserta keponakan yang kini juga menjadi anak sambungnya. Namun, keinginan itu sepertinya harus ia redam terlebih dahulu begitu memasuki kamar dan pintu telah tertutup, Akhtar merarik tubuhnya dalam pelukan dan menelusuri bentuk bibir Arisha dengan ibu jari. “Tapi kita belum menikmati kolam kecil di balkon itu.” Telunjuk yang tadi menyapu bibir Arisha kini mengarah ke luar jendela. “Ini masih pagi, airnya pasti dingin,” sanggah Ar
Langit terlihat semakin gelap saat Akhtar dan Arisha melakukan perjalanan pulang. Matahari semestinya masih menemani mereka di penghujung hari Selasa ini andai cuaca cerah. Umi Anis menyarankan mereka untuk bermalam, namun itu tidak mungkin dilakukan sebab Akhtar ada agenda rapat bersama tim suksesnya nanti malam. Keisya pun belum berhasil mereka ajak pulang kali ini sebab Umi Anis bersikeras menunggu hari Sabtu. Hujan lebat yang mengiringi perjalanan mereka menjadikan mobil bergerak dengan kecepatan lambat. Arisha merasa Akhtar bersikap dingin kepadanya semenjak mereka berada di dalam mobil. Namun perasaan itu ia tampik, sebab rasanya tidak ada alasan suaminya itu bersikap demikian. Perempuan itu tidak tahu jika Akhtar sempat mendengarkan obrolannya dengan Kiai Salman. Akhtar diam sebab merasa masih ada banyak hal yang belum Arisha bagi kepadanya. “Mas, cuacanya sepertinya akan terus begini sampai nanti malam.” Tak tahan terus saling membisu, Arisha membuka obrolan.“Semoga nanti t
“Apa, mundur?” tanya Akhtar heran begitu mendengar jawaban istrinya. Akhtar seketika bangun dari pangkuan Arisha. “Kamu enggak lagi bercanda, ‘kan?”“Mboten, Mas.”“Tapi kenapa? Apa ini permintaan abah?” Akhtar masih teringat saat menghadap Kiai Salman guna meminta pertimbangan. Kala itu Hasna masih bersamanya. Mertuanya itu memberikan banyak nasihat tentang rencananya yang akan maju sebagai wakil calon bupati. Petuahnya bersifat umum, namun Akhtar dapat menilai jika Kiai Salman lebih condong untuk menyarankan dirinya menolak tawaran Kiai Yassir.“Bukan. Ini murni keinginanku, Mas.” “Aku masih belum paham, maksudmu gimana. Keinginan yang bagaimana? Bukannya kamu sudah ngerti sebelum kita menikah kalo aku akan maju dalam pilkada tahun ini?”Arisha mengangguk, dengan tatapan ke arah tembok. Wanita itu tak berani menatap suaminya. Ada amarah yang energinya bisa ia rasakan meski berjarak beberapa hasta.“Lantas, kenapa kamu tiba-tiba memintaku mundur, Dik?”“Ini tidak tiba-tiba, Mas. Aku
Akhtar terbangun keesokan harinya dengan kepala berdenyut-denyut. Yang pasti bukan karena ia tidur di sofa. Melainkan karena sikap Arisha yang mendadak memintanya mundur dari pencalonan pilkada. Pria itu merasa tertipu. Mulanya ia kasihan dengan Arisha karena terjebak dalam pernikahan yang mungkin bukan impiannya. Akhtar yakin, sosok lulusan Al-Azhar Mesir itu pasti punya asa atas masa depannya. Termasuk pasangan hidup. Awalnya, Akhtar merasa jahat sebab ia telah merampas mimpi-mimpi itu demi memenuhi ambisinya. Ambisi untuk tetap mendapatkan dukungan suara dari Kiai Salman, juga demi kenyamanan bayinya pada sosok ibu baru.Namun, rasa bersalah itu perlahan terkikis saat Arisha mulai bersikap manis bahkan terus memancingnya sebagai seorang lelaki, seorang suami, agar menunaikan nafkah batin untuk sang istri. Bahkan, ia merasa Arisha juga menginginkannya. Memang tidak ada pengakuan secara lisan dari istrinya itu, tetapi bahasa tubuhnya cukup menunjukkan penerimaan itu. Lalu perdebat
Akhtar terbangun keesokan harinya dengan kepala berdenyut-denyut. Yang pasti bukan karena ia tidur di sofa. Melainkan karena sikap Arisha yang mendadak memintanya mundur dari pencalonan pilkada. Pria itu merasa tertipu. Mulanya ia kasihan dengan Arisha karena terjebak dalam pernikahan yang mungkin bukan impiannya. Akhtar yakin, sosok lulusan Al-Azhar Mesir itu pasti punya asa atas masa depannya. Termasuk pasangan hidup. Awalnya, Akhtar merasa jahat sebab ia telah merampas mimpi-mimpi itu demi memenuhi ambisinya. Ambisi untuk tetap mendapatkan dukungan suara dari Kiai Salman, juga demi kenyamanan bayinya pada sosok ibu baru.Namun, rasa bersalah itu perlahan terkikis saat Arisha mulai bersikap manis bahkan terus memancingnya sebagai seorang lelaki, seorang suami, agar menunaikan nafkah batin untuk sang istri. Bahkan, ia merasa Arisha juga menginginkannya. Memang tidak ada pengakuan secara lisan dari istrinya itu, tetapi bahasa tubuhnya cukup menunjukkan penerimaan itu. Lalu perdebat
Pria itu mencebik, “Siapa malam-malam begini bertamu?” Akhtar segera melepaskan tangannya dari dagu Arisha. Ia melangkah menuju pintu. Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini diiringi salam. “Gus, belum tidur, ‘kan?”Paham pemilik suara itu adalah uminya, Akhtar segera menjawab salam dan membukakan pintu. “Inggih, Umi. Ada apa malam-malam ke sini?”Wanita bergamis hitam dipadu kerudung warna light grey itu menyodorkan bingkisan. “Ini ada berkat tasyakuran aqiqah.”Setelah melihat nama anak dan orang tua yang tidak lain adalah sepupunya, Akhtar manggut-manggut. “Barokallah, maturnuwun, Umi. Besok pas senggang saya usahakan sambang bayi. Sudah empat saja anaknya Husain,” celetuk Akhtar spontan.“Iya, dua tahun sekali istrinya melahirkan. Semoga Arisha segera nyusul,” ucap Umi Hanum sambil berusaha melongok ke dalam rumah. Akhtar memang tidak terpikir untuk mempersilakan uminya masuk, sebab jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Bukan waktu bertamu. Akhtar hany