Langit terlihat semakin gelap saat Akhtar dan Arisha melakukan perjalanan pulang. Matahari semestinya masih menemani mereka di penghujung hari Selasa ini andai cuaca cerah. Umi Anis menyarankan mereka untuk bermalam, namun itu tidak mungkin dilakukan sebab Akhtar ada agenda rapat bersama tim suksesnya nanti malam. Keisya pun belum berhasil mereka ajak pulang kali ini sebab Umi Anis bersikeras menunggu hari Sabtu. Hujan lebat yang mengiringi perjalanan mereka menjadikan mobil bergerak dengan kecepatan lambat. Arisha merasa Akhtar bersikap dingin kepadanya semenjak mereka berada di dalam mobil. Namun perasaan itu ia tampik, sebab rasanya tidak ada alasan suaminya itu bersikap demikian. Perempuan itu tidak tahu jika Akhtar sempat mendengarkan obrolannya dengan Kiai Salman. Akhtar diam sebab merasa masih ada banyak hal yang belum Arisha bagi kepadanya. “Mas, cuacanya sepertinya akan terus begini sampai nanti malam.” Tak tahan terus saling membisu, Arisha membuka obrolan.“Semoga nanti t
“Apa, mundur?” tanya Akhtar heran begitu mendengar jawaban istrinya. Akhtar seketika bangun dari pangkuan Arisha. “Kamu enggak lagi bercanda, ‘kan?”“Mboten, Mas.”“Tapi kenapa? Apa ini permintaan abah?” Akhtar masih teringat saat menghadap Kiai Salman guna meminta pertimbangan. Kala itu Hasna masih bersamanya. Mertuanya itu memberikan banyak nasihat tentang rencananya yang akan maju sebagai wakil calon bupati. Petuahnya bersifat umum, namun Akhtar dapat menilai jika Kiai Salman lebih condong untuk menyarankan dirinya menolak tawaran Kiai Yassir.“Bukan. Ini murni keinginanku, Mas.” “Aku masih belum paham, maksudmu gimana. Keinginan yang bagaimana? Bukannya kamu sudah ngerti sebelum kita menikah kalo aku akan maju dalam pilkada tahun ini?”Arisha mengangguk, dengan tatapan ke arah tembok. Wanita itu tak berani menatap suaminya. Ada amarah yang energinya bisa ia rasakan meski berjarak beberapa hasta.“Lantas, kenapa kamu tiba-tiba memintaku mundur, Dik?”“Ini tidak tiba-tiba, Mas. Aku
Akhtar terbangun keesokan harinya dengan kepala berdenyut-denyut. Yang pasti bukan karena ia tidur di sofa. Melainkan karena sikap Arisha yang mendadak memintanya mundur dari pencalonan pilkada. Pria itu merasa tertipu. Mulanya ia kasihan dengan Arisha karena terjebak dalam pernikahan yang mungkin bukan impiannya. Akhtar yakin, sosok lulusan Al-Azhar Mesir itu pasti punya asa atas masa depannya. Termasuk pasangan hidup. Awalnya, Akhtar merasa jahat sebab ia telah merampas mimpi-mimpi itu demi memenuhi ambisinya. Ambisi untuk tetap mendapatkan dukungan suara dari Kiai Salman, juga demi kenyamanan bayinya pada sosok ibu baru.Namun, rasa bersalah itu perlahan terkikis saat Arisha mulai bersikap manis bahkan terus memancingnya sebagai seorang lelaki, seorang suami, agar menunaikan nafkah batin untuk sang istri. Bahkan, ia merasa Arisha juga menginginkannya. Memang tidak ada pengakuan secara lisan dari istrinya itu, tetapi bahasa tubuhnya cukup menunjukkan penerimaan itu. Lalu perdebat
Akhtar terbangun keesokan harinya dengan kepala berdenyut-denyut. Yang pasti bukan karena ia tidur di sofa. Melainkan karena sikap Arisha yang mendadak memintanya mundur dari pencalonan pilkada. Pria itu merasa tertipu. Mulanya ia kasihan dengan Arisha karena terjebak dalam pernikahan yang mungkin bukan impiannya. Akhtar yakin, sosok lulusan Al-Azhar Mesir itu pasti punya asa atas masa depannya. Termasuk pasangan hidup. Awalnya, Akhtar merasa jahat sebab ia telah merampas mimpi-mimpi itu demi memenuhi ambisinya. Ambisi untuk tetap mendapatkan dukungan suara dari Kiai Salman, juga demi kenyamanan bayinya pada sosok ibu baru.Namun, rasa bersalah itu perlahan terkikis saat Arisha mulai bersikap manis bahkan terus memancingnya sebagai seorang lelaki, seorang suami, agar menunaikan nafkah batin untuk sang istri. Bahkan, ia merasa Arisha juga menginginkannya. Memang tidak ada pengakuan secara lisan dari istrinya itu, tetapi bahasa tubuhnya cukup menunjukkan penerimaan itu. Lalu perdebat
Pria itu mencebik, “Siapa malam-malam begini bertamu?” Akhtar segera melepaskan tangannya dari dagu Arisha. Ia melangkah menuju pintu. Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini diiringi salam. “Gus, belum tidur, ‘kan?”Paham pemilik suara itu adalah uminya, Akhtar segera menjawab salam dan membukakan pintu. “Inggih, Umi. Ada apa malam-malam ke sini?”Wanita bergamis hitam dipadu kerudung warna light grey itu menyodorkan bingkisan. “Ini ada berkat tasyakuran aqiqah.”Setelah melihat nama anak dan orang tua yang tidak lain adalah sepupunya, Akhtar manggut-manggut. “Barokallah, maturnuwun, Umi. Besok pas senggang saya usahakan sambang bayi. Sudah empat saja anaknya Husain,” celetuk Akhtar spontan.“Iya, dua tahun sekali istrinya melahirkan. Semoga Arisha segera nyusul,” ucap Umi Hanum sambil berusaha melongok ke dalam rumah. Akhtar memang tidak terpikir untuk mempersilakan uminya masuk, sebab jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Bukan waktu bertamu. Akhtar hany
Tahapan pendaftaran pasangan calon sudah dilalui. Dari keempat pasangan calon, ada satu yang tidak lolos di tahap pemeriksaan kesehatan karena terindikasi mempunyai gula darah yang cukup tinggi. Sehingga saat penetapan pasangan calon tinggal tiga pasangan calon yang dinyatakan lolos mengikuti Pilkada. Pasangan Yassir Musthofa - Muhammad Akhtar termasuk yang dinyatakan lolos. Pada saat pengundian nomor urut calon, Yassir Musthofa - Muhammad Akhtar mendapat nomor urut satu. Hari ini, 26 September 2020, adalah jadwal kampanye perdana Akhtar dengan menggelar pertemuan terbatas di aula pondok pesantren Darul Huda. “Kamu kok belum siap-siap berangkat ke aula, Ning?” tanya Kiai Salman yang sejak setengah jam lalu duduk di ruang tamu rumah Arisha. Saat ini Arisha masih mengenakan daster batik motif daun warna hijau. Ia ikut menikmati teh hangat yang ia buatkan untuk abahnya dalam teko ukuran sedang. “Apakah Arisha harus datang ke sana, Bah?”“Tentu, Ning. Apakah kamu akan berdiam diri di
“Terima kasih sudah datang,” sapa Akhtar kaku, layaknya bicara dengan tamu. Padahal ia sedang menghampiri istrinya.Rangkaian acara kampanye sudah selesai. Kini para tamu sedang menikmati menu makan siang yang disuguhkan secara prasmanan, sedangkan Arisha tetap duduk manis di kursinya.“Saya yang mestinya minta maaf karena hampir membuat kesalahan dengan tidak hadir di sini, Mas.”“Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Ingat pesan dokter. Kamu tidak boleh stres. Mau aku ambilkan makan?” tawar Akhtar, senyumnya terlihat begitu tulus. Benar yang dikatakan Kiai Salman, pikir Arisha.“Makan di rumah saja. Apakah sudah pantas jika saya meninggalkan aula sekarang?” Arisha mengedarkan pandangan ke sekeliling aula. Separuh tamu sudah menyelesaikan makan siang lalu pulang.“Enggak apa-apa, kamu istirahat saja di rumah. Nitip isikan baterainya, ya.” Akhtar memindahkan ponselnya dari saku jas ke dalam tas Arisha. Kini tangannya tampak memegang gawai sang istri. “Sebagai gantinya ini aku bawa
“Dik,” sapa Akhtar begitu Arisha memejamkan mata. Ia sadar istrinya itu terlihat begitu menggoda pagi ini dengan sikap pasrahnya, tetapi pikirannya sedang kacau dengan flyer black campaign itu. Seketika Arisha membuka mata sebab Akhtar tidak lekas menyentuhnya. “Iya, Mas.”“Ini bukan ulahmu, ‘kan?” tegas Akhtar sambil menunjukkan isi flyer di layar gawainya.“Bukan, Mas. Kok bisa nuduh aku?”“Kan kamu sepakat sama isinya.”“Iya, aku setuju, tapi bukan berarti aku yang buat, Mas. Aku enggak bisa desain gambar,” sangkal Arisha. Flyer itu memang dibuat dengan desain yang apik, sehingga tidak mungkin hasil seorang amatir yang hanya berbekal aplikasi desain gratis.Akhtar mendengkus. Memang masih ada kemungkinan kampanye hitam ini dilakukan oleh lawan politiknya. Oleh karena semua pasangan calon sedang gencar-gencarnya melakukan upaya yang terorganisir untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih. Hanya saja haruskah memakai cara-cara licik seperti ini?Akhtar akan sangat m