Mereka akhirnya tiba di rumah yang berada dalam komplek pondok pesantren. Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan malam, namun Arisha sudah menguap beberapa kali.
“Istirahatlah dulu jika sudah capek.”
Arisha menggeleng. Ia bertekad menunaikan kewajiban atau lebih tepatnya mendapatkan haknya sebagai seorang istri malam ini. Meski ia bingung bagaimana harus memulai. Hingga lampu sorot dari Innova warna hitam yang berhenti di depan rumah mengenai wajah sepasang pengantin baru itu.
“Siapa, Gus?”
“Sepertinya Kiai Yassir,” tebak Akhtar yang sudah hafal jenis mobil sosok yang menggandengnya sebagai calon
Arisha gemetar bagai kuncup bunga mawar yang tertiup angin. Saat ia berusaha membukakan pintu, ternyata Akhtar berada tepat di hadapannya.Apalagi pakaian berbahan sutra yang dikenakannya saat ini model kerah V yang sangat turun. Belum lagi bagian tepinya berupa renda yang menerawang.Ia sebenarnya tidak terbiasa dengan baju model terbuka, tetapi ini adalah hadiah uminya yang harus ia pakai malam ini. Jantung Arisha berdebar cepat. Ia mundur selangkah untuk memberi Akhtar jalan.Sementara itu Akhtar hanya maju selangkah. Ia mencoba menahan untuk tidak menelan saliva, tetapi percuma. Gerakan di lehernya itu tertangkap iris cokelat Arisha.Akhtar selama ini melihat Arisha dalam balutan pakaian yang santun lagi tertutup. Hingga melihat Arisha mengenakan lingerie terasa begitu erotis. Setelah sadar dari tertegunnya, Akhtar mundur hingga pintu di belakangnya terdorong oleh punggungnya dan kini tertutup.“Mari saya pijit, Gus, eh Mas.&r
Sesuatu yang lembut dan manis terasa di bibir dan lidah Arisha. Ia berusaha mengunyah meski masih terpejam agar dapat mengidentifikasinya. Sensasi menyenangkan yang ia rasakan membuat Arisha terbangun dari tidurnya.Kurma ajwa! Kurma kering yang berasal dari wilayah Aliyah, Madinah itu, disebut sebagai salah satu jenis kurma paling baik di dunia karena campuran rasa lezat, manis, dan gurihnya sangat luar biasa. Makanya tidak heran jika harganya tergolong premium. Hanya kalangan masyarakat menengah ke atas yang menjadikannya konsumsi harian.Selain itu, jenis kurma ini meilik dari sejarahnya, Rasulullah sendiri yang memberikan nama ajwa. Dikisahkan, ketika itu, Ajwah adalah nama seorang anak dari Salman Al-Farisi -seorang nasrani yang akhirnya memeluk agama Islam. Juga mewakafkan kebun kurmanya untuk perjuangan Islam. Sebagai penghargaan dan untuk mengenang jasa-jasanya itulah, Rasulullah akhirnya menamakan kurma yang sering dimakannya ketika berbuka p
“Kunjungan ke para tokoh jam berapa, Mas?” tanya Arisha sambil memakai kaus kaki di dalam mobil. Akhtar yang sudah siap lebih dulu membuatnya merasa tergesa-gesa. Meski lelaki itu tidak memerintahkan apapun padanya.“Jam sepuluh,” jawab Akhtar tenang dan tetap konsentrasi pada kemudi. Roda empat jenis sport utility vehicle yang mereka tumpangi itu sudah meluncur di jalan raya.Arisha melihat jam di tangannya, masih pukul 07.30. Apa ini tidak terlalu pagi, pikirnya. “Bukannya masih lama, kenapa kita tergesa-gesa?” protesnya.“Aku biasa saja. Enggak tergesa-gesa.” Jawaban Akhtar itu membuat Arisha mengeluarkan udara dari mulutnya. Ia lalu mengelus dada. Masih ada banyak hal yang harus ia kenali dari suaminya. Termasuk persiapannya yang cukup cepat saat bepergian. Arisha masih memakai bedak, Akhtar sudah memanasi mobil. Siapa coba yang tidak panik?“Lebih baik datang lebih awal daripada datang terla
Mereka mendekati tikungan dan Akhtar membelokkan mobilnya bukan ke arah jalan pulang. Meski sudah lima tahunan meninggalkan tanah air, tetapi Arisha masih paham betul arah jalan di daerah ini. “Mas, kita mau ke mana?”Jika Akhtar menjawab, bukan kejutan namanya. Maka pria itu pura-pura tuli. Benak Akhtar masih merekam dengan jelas tentang keberanian Arisha mendiskusikan hal yang cukup sensitif kepada Kiai Yassir saat mereka sedang rapat evaluasi di rumah makan dengan konsep lesehan. Sebuah evaluasi singkat untuk membahas hasil pertemuan dengan Kiai Ahmad yang berjalan lancer. Nyaris tanpa hambatan. “Ngapunten, Yai. Jika para tokoh mendapatkan bantuan berupa mobil bagi yang bersedia mendukung Panjenenngan, lantas bagaimana dengan masyarakat yang mempunyai suara untuk menentukan siapa yang menang? Apakah mereka juga akan mendapatkan sesuatu jika memilih Panjenengan?”“Maksud Ning Arisha masyarakat dikasih uang jika memilih saya
“Tentu saja.” Akhtar mulai kehilangan selera makannya.“Penguasa di wilayah ini,” tegas Arisha. Wilayah ini nanti akan menjadi bagian dari tanggung jawab Akhtar jika ia berhasil memenangkan pilkada.“Apakah kamu mau bilang, jika Kiai Yassir dan aku terpilih di pilkada lantas kegiatan yang dilakukan di hotel-hotel di kawasan ini juga akan menjadi tanggung jawab kami?”Akhtar balik memandang istrinya, memastikan dugaannya tepat.Arisha mengangguk. Ia memutuskan tidak mengulas balik obrolan mereka karena Akhtar sudah pasti bisa mencernanya.“Berat dong kalo gitu konsepnya.” Akhtar mengembuskan napas kasar. Nasi goreng yang masih tinggal seperempat bagian ia letakkan di atas pangkuan.“Bukannya jadi pemimpin memang berat. Dulu saja para sahabat berebut untuk menghindar. Padahal mereka saat itu memimpin dalam sistem yang Islami. Nah sekarang, sudah sistemnya enggak berdasarkan Islam, malah
Sosok bersahaja, berjubah putih didampingi sang istri dengan gamis warna hitam mengingatkan Arisha pada foto keluarga yang dipajang Salwa –adik tingkatnya di Al-Azhar- di meja kamarnya.Arisha menenangkan dirinya, semoga pertemuan kali ini hanya fokus pada urusan dukungan Pilkada. Tidak mengulas masalah pribadinya selama di Mesir.Kiai Yassir mengucapkan salam kepada Ustaz Ilyas yang berdiri menyambutnya dengan senyuman. “Wa’alaikumussalam, mari masuk Pak Kiai. Monggo pinarak.” Ustaz Ilyas juga mempersilakan tamu lainnya untuk duduk. Rumah yang dikonsep lesehan itu terasa hangat meski ada di daerah kaki gunung. Lantai yang dibuat dari kayu pinus menetralisir hawa dingin. Ditambah lagi karpet di atasnya beserta bantal-bantal untuk bersandar. Aroma kekeluargaan terasa begitu kental. Dibandingkan dengan ruang tamu dengan kursi ukuran besar berbahan kayu jati penuh ukiran. Malah terkadang mengesankan keakuan pemiliknya. Sehingga membuat jarak antara orang yang bertandang dan tuan rumah.
“Tidak apa-apa, Pak Samsul. Namanya juga pengantin baru. Baru dua hari, ‘kan?” sahut Ustaz Ilyas ikut meledek Akhtar. Ia bersikap demikian agar Pak Samsul dan timnya tidak merasa bersalah dengan tingkah calon wakil bupati yang akan mereka usung itu. Pemakluman dari Ustaz Ilyas justru membuat pipi Arisha makin merona. Ia sampai sedikit menggeser duduknya dari Akhtar. Kini ia baru mengetahui sisi lain Akhtar, tidak sabaran. Setelah membetulkan kopiahnya, lelaki yang sebagian rambutnya berwarna putih keperak-perakan itu mulai kembali bicara. “Bismillah, saya coba jawab tawaran dari Kiai Yassir, inggih. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kunjungan Panjenengan semua. Jujur saya merasa terhormat didatangi orang-orang penting, saudara seperjuangan untuk mendakwahkan Islam di wilayah Mojoasri ini.” Ustaz Ilyas sedikit menjeda untuk mengambil napas. Suasana berangsur hening. “Adapun terkait tawaran menjadi bagian dari tim sukses untuk mendukung pencalonan Panjenengan berdua, mohon m
Baru sekitar lima menit mereka saling berdiam diri, ternyata Arisha yang tidak tahan. Mungkin karena ia pertama kali berumah tangga sehingga belum punya pengalaman berkonflik dengan pasangan. “Mas … tolong jangan seperti ini. Panjenengan maunya apa?” Akhtar masih bertahan bersandar di jendela. Mendengar intonasi suara Arisha melembut, Akhtar membalikkan badan. Dalam pandangan Akhtar, emosi Arisha membuat kulit dan sinar matanya bercahaya. Suatu perasaan yang manis yang sekilas tampak kerapuhan, tetapi justru mencerminkan kekuatan perasaannya. “Sudah kukatakan sejak awal, tolong terbukalah. Jawablah pertanyaanku tadi.” “Hubungan apa yang Panjenengan maksud, Mas? Sudah kukatakan aku tak punya hubungan apa pun dengan sahabatmu itu. Kami bahkan bertemu langsung hanya dua kali. Ketika ia mengantarkan Salwa ke apartemen tempatku tinggal. Selebihnya kami tak pernah berinteraksi. Ia beberapa kali memberiku makanan dan baju, itu pun dititipkan le
“Mas Akhtar!” seru Arisha dengan mulut menganga. “A-aku enggak mimpi, ‘kan?” tanyanya hampir tercekat. Melihat sosok yang berada di hadapannya menggelengkan kepala, netra wanita yang telah menanggung rindu belasan bulan itu basah.Lelaki yang membuatnya terpanah kini merentangkan kedua tangan sambil bergerak pelan mendekatinya. “Assalamu’alaikum, aku pulang, Sayang.” Sapaan Akhtar terasa lembut menyapu daun telinga Arisha. Tubuh wanita itu masih kaku saat Akhtar merengkuhnya erat. Arisha hanya mampu menyandarkan kepala pada dada bidang di hadapannya. Seketika kemeja Akhtar basah terkena lelehan air mata sang istri. Lelaki itu mengangkat wajah Arisha dan mengusap air mata yang bercucuran dengan jempolnya meski percuma. Sebab buliran bening itu terus menganak sungai.“Pan-Panjenengan sudah bebas?” tanya Arisha terbata beserta raut tak percaya.Akhtar mengangguk pelan.“Bu-bukannya masih sebulan lagi?”Akhtar menggeleng. “Apakah kamu ingin sebulan lagi aku baru bebas?” tantangnya. Ari
Angin berhenti berembus. Menjadikan kulit terasa lembab, basah oleh keringat. Di ruang tamu bercat krem itu, Kiai Salman dan Kiai Mansur sedang bercakap. Perkembangan pondok pesantren menjadi topik utama perbincangan. Kemudian, obrolan mereka mengarah pada kasus yang menimpa Akhtar. “Kita sama-sama menduga kuat, jika pihak yang menjebak Akhtar ini adalah lawan politiknya, San. Hanya saja saya tak habis pikir, kenapa mereka sejahat itu?” ucap Kiai Salman dengan pandangan menerawang lalu kembali menatap besannya. Lelaki yang tidak mau terlibat aksi mendukung secara langsung siapa pun calon penguasa dalam masa pemilu itu sudah paham jika beberapa orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Baru sekarang ia merasakan langsung dampaknya kala menantunya dijebak. Hingga menyebabkan putrinya menanggung pilu. Maka, begitu Arisha mengabari bahwa ia hamil, Kiai Salman dan Umi Anis bergegas datang. Mereka hendak mengajak Arisha tinggal bersama.“Saya masih kontak dengan Kiai Yass
Akhtar menatap kepergian Arisha dari balik kaca. Pria itu menyimpan senyum bercampur lara yang tersungging dari bibir istrinya. Meski berusaha tegar, Akhtar paham wajah wanita itu tampak rapuh. Walau auranya tetap setenang cahaya bulan di permukaan danau.Saat punggung istrinya hilang ditelan belokan koridor, Akhtar membalikkan badan dan menuju ke kamar tahanan. Ia teringat semangat yang digulirkan Arisha. Bakda Subuh itu, kabar hasil penghitungan suara dari tim pemenangan sudah dikirim, Yassir-Akhtar dinyatakan kalah.“Panjenengan tetap jadi orang penting meski mboten jadi wakil bupati, Mas,” bisik Arisha lembut. Ia mengatakannya sambil meletakkan tangan di pipi Akhtar.Kepala lelaki itu berada di pangkuan istrinya. Jari lentik Arisha menelusuri cambang tipis perlahan. Belaian ringan itu menimbulkan hangat dan kini membuat kepala Akhtar berdenyut-denyut nyeri kala mengingatnya. Yang Arisha bisikkan terasa sangat intim melebihi sentuhan di pipi.Begitu mendengar kabar kekalahannya, se
“Kalo kamu pingin nginep di rumah abah dan umikmu enggak apa-apa, Ning.” Umi Hanum memberi saran. Ia tidak tega melihat menantunya itu tinggal di rumah sendirian. Meski sejak Akhtar ditahan, Umi Hanum menjadwalkan dua orang santri putri tidur di kamar tamu menemani Arisha saat malam. “Mboten Umik, saya di sini saja,” jawab Arisha pelan.Bukannya tanpa maksud. Ada alasan tersendiri kenapa Arisha bersikeras tetap tinggal di rumah yang disediakan Akhtar untuknya. Sebab di sana ia bisa merasakan kehadiran suaminya dalam tiap sudutnya. Bahkan baju koko dan sarung yang terakhir Akhtar pakai, hingga kini tidak ia cuci. Sarung dan baju koko itu ia peluk setiap malam. Aroma Akhtar yang tertinggal, memberinya ketenangan. “Sudah saya cuci, Umik.” Arisha menyerahkan bunga kates gantung dalam wadah. Ia saat ini sedang di dapur, turut belajar memasak. Khususnya menu kesukaan Akhtar.Arisha berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk suaminya yang sedang berada di penjara. Kiranya mereka dapat t
Rasa aman menyelimuti diri Akhtar. Sebab hingga bakda Isya tidak ada kabar yang menetapkannya sebagai buronan. Semua pintu dan jendela sudah ditutup, begitu pun gordennya.Mereka sudah beringsut di balik selimut. Arisha bercerita jika ia tadi siang hampir menyebutkan identitas dirinya kepada petugas kepolisian. Untungnya Umi Hanum mencegah, sehingga ia tidak perlu berurusan dengan aparat berbaju cokelat. “Panjenengan tadi sempat memberi orasi, Mas?” tanya Arisha sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya. Hawa kian dingin setelah hujan mengguyur. Bahkan rintiknya sekarang masih terdengar berdenting di atas genting.Akhtar menggeleng, tetapi pandangannya masih menyiratkan kekhawatiran.“Alhamdulillah, berarti tidak ada yang tahu ‘kan, Mas, kalo Panjenengan di sana?”“Entahlah.” Lelaki itu kembali menggeleng. “Saat mendengar ledakan pertama kali itu, aku spontan berteriak mendekat ke orang-orang yang berusaha melempari mobil, Dik. Aku menghalau mereka agar menghentikan aksi anarki
“Mohon maaf dengan Ibu siapa? Bisa disebutkan nama suaminya?”Arisha hampir saja menyebutkan identitasnya, namun terhenti begitu lengannya ditarik. “Suaminya sudah pulang, Pak,” ucap Umi Hanum kepada petugas berseragam cokelat.Tanpa banyak bicara Umi Hanum mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Arisha dan berjalan cepat menghindari kerumunan. Petugas itu melihat dengan tatapan yang sulit diartikan.“Umik, benar Mas Akhtar sudah pulang?” tanya Arisha dengan napas ngos-ngosan. Ia menyamai langkah Umi Hanum yang berjalan cepat.“Gus Akhtar barusan telepon dan meminta kita segera pergi dari sini, Ning. Nanti dia akan menghubungi lagi.” Arisha masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mengetahui suaminya masih hidup sudah membuatnya bersyukur. Kondisi halaman gedung DPRD yang porak-poranda cukup menggambarkan betapa kisruh demonstrasi beberapa jam yang lalu. Apalagi ia sempat mendengar pertanyaan wartawan tentang kemungkinan adanya korban jiwa. “Jadi sekarang Mas Akh
Hiruk pikuk meliputi suasana halaman gedung tiga lantai yang menghadap sisi timur alun-alun. Suara orator menyeru lantang agar para wakil rakyat itu tidak tinggal diam menyaksikan pelanggaran selama proses Pilkada. “Kami butuh pemimpin yang tidak menyuap rakyatnya demi mendapatkan suara. Jika jalan menuju kekuasaan saja sudah mereka tempuh dengan cara kotor, bagaimana kelak jika mereka berkuasa?” seru sang orator dari atas mobil pikap dengan sound system. Suaranya menggema hingga ke lantai tiga. Meski massa demonstrasi tak sampai ribuan layaknya aksi mahasiswa di Ibu Kota Negara, tetap saja unjuk rasa itu membuat para pegawai dan wakil rakyat yang sedang bekerja di dalam gedung was-was. Apalagi akhir-akhir ini hawa panas suksesi kepeminpinan masih teramat kental. Akhtar masih dalam perjalanan menuju alun-alun. Pria itu duduk di jok tengah dan berusaha menghubungi Kiai Yassir. Sayangnya ponsel Kiai Yassir dalam kondisi tidak aktif. Sehingga Akhtar kini memasukkan gawainya ke dalam
Suasana lengang cenderung tegang menyelimuti Kabupaten Mojoasri dan mungkin seluruh kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak hari ini. Total ada 224 kabupaten dan 37 kota di seluruh Indonesia yang menggelar hajat pemilihan pemimpin daerah. Warga lebih banyak memanfaatkan libur nasional hari Rabu ini untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Sehingga jalanan relatif sepi.Saat langit di ufuk timur perlahan melukiskan warna merah jingga, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masih melakukan penghitungan suara di TPS. Kotak suara yang sudah terisi kertas suara sejak pukul tujuh pagi hingga satu siang itu dalam proses direkap hasilnya. Setelah rampung akan dilaporkan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berada di tingkat desa atau kelurahan dalam bentuk formulir model C1.Setiap Paslon telah menempatkan relawan untuk mengawasi jalannya Pilkada pada setiap TPS. Selanjutnya mereka akan mengirimkan salinan dengan memfoto formulir model C1. Tak terkecuali relawan Paslon nomor
Umi Anis melepas kepergian putrinya dengan wajah semringah. Saat tadi ditanya kenapa buru-buru balik, Arisha hanya menjawab dengan senyuman. Wanita paruh baya yang sudah lebih banyak makan asam garam itu paham gelagat anaknya meski tak diungkapkan dengan kata-kata.Wajah Arisha yang terlihat berseri-seri dan bersemangat. Tatapan Akhtar yang penuh hasrat kepada Arisha saat mereka di meja makan tadi sudah cukup menjelaskan apa yang sedang dibutuhkan anak dan menantunya itu. Maka, saat Arisha dan Akhtar memutuskan pamit, Umi Anis sama sekali tak mencegah. Beliau malah menjanjikan akan berkunjung ke rumah Akhtar usai pemilihan besok.Mobil warna putih jenis SUV bergerak dengan kecepatan sedang menyusuri daerah pegunungan dengan kontur menanjak dan menurun. Hari mulai terang, dan warga terlihat hilir mudik dengan berbagai aktivitasnya. Para pedagang buah dan sayur tampak menata jualannya pada kios-kios di pinggir jalan. Akhtar sekonyong-konyong membelokkan mobil ke halaman sebuah hotel.“N