Viona meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, lalu mengembuskan napas panjang. Bu Retno benar, menjadi kasir ternyata sangat melelahkan.Sudah lebih dari tujuh jam dia berdiri hingga betisnya terasa kencang. Wajahnya juga terasa pegal karena sepanjang hari dia terus mengulas senyum pada pembeli yang datang ke minimarket ini.Hari ini Viona memang langsung bekerja setelah Khadafı mengatakan dia diterima di minimarket yang buka 24 jam ini. Viona langsung mengabari Bu Retno agar perempuan itu tidak harap-harap cemas menunggunya.Beruntung tidak ada hambatan yang berarti di hari pertamanya bekerja. Rekan-rekan kerjanya yang baru juga cukup ramah dan banyak membantu Viona.Rasanya sangat jauh berbeda dengan pegawai The Union yang sering membicarakannya di belakang sambil melempar tatapan sinis dan mencemooh.Viona merasa dia harus terus menyembunyikan fakta pernikahannya demi mempertahankan suasana kerja yang nyaman seperti ini."Mas Angga, aku pulang dulu, ya," pamit Viona pada supervisor
Cuaca yang semula cerah, dengan cepat berubah mendung ketika Viona melintasi lobi. Lalu saat dia tiba di depan kamar Tirta, hujan deras turun mengguyur bumi.Viona mejauh sebentar dari pintu kamar Tirta dan merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Dia berniat menelepon Bu Retno untuk memastikan kondisi mereka.Sayangnya, baterai ponselnya habis. Viona lupa untuk tidak mengisi ulang semalam. Perempuan itu menepuk dahinya gemas dan menggerutu, "Bisa-bisanya aku lupa charge Hp."Teringat dia bisa mengisi ulang baterai ponselnya di kamar Tirta dengan meminjam charger milik ibunya, dia pun bergegas masuk setelah mengetuk pintu lebih dulu."Nduk, kamu sudah datang?" sapa Ibu Tirta seraya bangkit dari posisi rebahnya di sofa.Viona mendekat lalu mengambil punggung tangan kanan Ibu Tirta dan mengecupnya. "Iya. Ibu sudah makan?""Sudah, tadi Ibu makan di kantin.""Bapak belum datang?" tanya Viona lagi setelah mengedarkan pandangan dan tidak menemukan ayah Tirta."Bapak masih nanti malam datangny
Dengan langkah tergesa, Viona keluar dari kamar Tirta dan menyusuri lorong menuju lift. Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang hingga tidak tahu ada seorang lelaki yang mengikutinya dalam jarak aman.Sesampainya di lift, lelaki itu tidak ikut masuk tetapi turun lewat tangga. Kaki panjangnya dengan cepat menuruni anak tangga dan sampai di lobi di waktu yang sama dengan Viona.Viona sendiri langsung memesan taksi online karena kendaraan umum sudah jarang di waktu seperti ini. Lagipula dia harus cepat sampai di rumah untuk berkemas.Di saat Viona menunggu taksi online-nya tiba, sebuah panggilan masuk dari Khadafi. Lelaki itu menanyakan posisi Viona karena dia sendiri sempat ada urusan dengan pemasok minimarket."Aku baru keluar dari rumah sakit, Mas. Ini masih nunggu taksi.""Batalkan taksi kamu, Viona. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Bahaya kalau naik taksi sendirian malam-malam seperti ini.""Nggak usah, Mas. Aku-"Panggilan diputuskan begitu saja sebelum Viona menye
Rasa marahnya pada Viona tersapu habis dan tergantikan oleh perasaan lain yang tidak dia bisa dia jabarkan secara pasti karena tidak pernah merasakannya selama ini.Ini aneh. Seharusnya dia marah lalu menghukum Viona seperti biasanya, kan? Lalu ke mana amarah dalam dadanya?"Maaf, baju kamu basah." Mendadak suara Viona terdengar saat dia menarik dirinya dari pelukan Alfie dengan kikuk.Alfie merasa ada yang hilang saat Viona menjauhkan diri.Perempuan itu lalu mengusap wajahnya sambil menunduk. Alfie hanya terpaku. Apa yang harus dia lakukan sekarang?"Siapa orang itu?" Lagi-lagi Viona yang lebih dulu buka suara begitu menyadari mulut Alfie masih terkatup rapat.Alih-alih menjawab, Alfie mengeluarkan sebotol air mineral dari kantung plastik. Dia membuka tutup botol lalu mengulurkannya pada Viona."Eh, ini buat aku?" Viona tampak bingung. Yang ada di sampingnya ini Alfie, kan? Perasaannya mengatakan begitu. Tetapi kenapa dia melakukan hal-hal seperti ini?"lya," jawab Alfie singkat.Vi
Dada Viona berdesir mendengar Alfie menyebutnya sebagai istri. Sebuah pengakuan yang selama ini tidak pernah dengar sekali pun sejak mereka menikah.Viona merasa sikap Alfie malam ini memang berbeda. Lelaki itu bahkan tidak marah saat dia menangis dalam pelukannya dan membasahi kemejanya.Apa Mandala benar bahwa Alfie hanya membutuhkan sentuhan kasih sayang, kesabaran dan cinta untuk menyembuhkan luka batinnya?"Saat kamu pergi, aku mendapat kabar pembunuh itu ada di kota yang sama denganmu. Dan aku punya kecurigaan dia juga sedang mengincar kamu." Suara Alfie memutuskan lamunan Viona."Tapi kenapa dia mengincarku juga?"Alfie menggeleng. "Aku juga belum tahu apa alasannya."Hening lagi."Itu sebabnya kamu menyusul ke sini dan menyelamatkanmu dari pembunuh itu?" Viona bertanya dengan nada hati-hati.Alfie menoleh dan menatap Viona lekat. "Tadinya aku ingin membiarkan pembunuh itu melakukan tugasnya agar aku bisa melihatmu mati di depan mataku."Tengkuk Viona terasa dingin saat Alfie m
Tidak ada satu pun orang yang berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan Alfie.Kehadiran lelaki itu mengubah atmosfer di ruang tamu menjadi ganjil. Padahal Mandala dan Khadafi tadinya sangat panik saat tiba di rumah Viona.Namun, mereka langsung mengatupkan mulut rapat-rapat begitu melihat Alfie. Bahkan Khadafi yang belum pernah bertemu Alfie sekali pun, memilih untuk menahan diri.Dua orang itu datang di saat yang hampir bersamaan. Mandala datang untuk menjemput Viona, sedangkan Khadafi mengecek apakah Viona sudah sampai rumah atau belum.Ketika Bu Retno mengatakan Viona belum sampai dan tidak menjawab panggilannya, kedua orang itu berniat ke rumah sakit untuk mencari Viona.Sampai akhirnya Viona muncul di ruang tamu bersama Alfie."Tuan mau mandi? Biar saya siapkan air hangatnya. Di sini aimya dingin kalau malam." Bu Retno adalah orang pertama yang memecahkan keheningan di rumah tamu meski dia sendiri sangat takut melihat aura kelam majikannya."Tidak perlu," jawab Alfie dingin. "B
Viona merasa perutnya mulas.Ditatap setajam itu dari jarak dekat membuat nyalinya menciut. Padahal satu minggu yang lalu dia sangat berani mengatai Alfie dengan kata-kata kasar-yang sekarang sangat dia sesali."Aku minta maaf, bisik Viona susah payah karena lidahnya terasa kelu. "Aku takut kamu akan mengurungku di kamar putih itu lagi, atau melakukan hal lain yang bisa menyakitiku.""Itu karena kamu memang pantas mendapatkan hukuman.""Apa kali ini kamu akan menghukumku lagi?" gumam Viona takut-takut.Dia pasrah jika Alfie ingin menghukumnya malam ini. Yang penting Mandala bisa kembali dengan selamat dan Alfie tidak menyakiti Bu Retno yang ikut kabur bersamanya.Sudut bibir Alfie melengkungkan senyum dingin. Dia beringsut lebih dekat lalu mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Viona yang lembut."Tentu saja. Kamu anak nakal yang harus dihukum karena menyembunyikan statusmu pada orang lain. Kamu tidak ingin orang tahu kamu sudah menikah agar bisa memikat lelaki di luar sana, hm?”"B
Sekarang Viona bisa melihat sepenuhnya sisi rapuh dalam alter ego Padma ini. Sisi lain yang mungkin tak akan pernah ditunjukkan pada orang lain.Lalu entah dari mana datangnya keberanian itu, Viona berjinjit lalu mengecup rahang Alfie. "Kamu tidak mungkin menjatuhkan Sabda. Kamu menyayangi anakmu, Al.""See, kamu bisa melakukannya, Al. You did a great job."Alfie tersenyum hambar mendengar pujian Padma dalam benaknya. "You think I did a great job?""Tentu. Kamu bahkan sangat natural.""Sekarang kamu terdengar seperti terapismu," ejek Alfie. Padma tertawa renyah.Percakapan yang hanya ada di benak Alfie itu sama sekali tidak terdengar oleh Viona yang kini sedang terlelap sambil memeluk Sabda di sampingnya.Butuh waktu dua puluh menit bagi Alfie untuk melepaskan Sabda. Bayi tampan yang lincah itu melekat dan mencengkeram kemeja Alfie dengan begitu kuat hingga tidak mudah menaruhnya di atas tempat tidur.Dan sekarang, begitu menatap Viona dan Sabda terlelap, perasaan asing yang janggal i
"Bahkan selama seminggu terakhir aku tidak pernah hal-hal lain selain kamu, Viona. Dengan Darla pun, hubunganku benar-benar profesional. Meski dia mengirim sinyal, aku anggap itu sebagai rasa penasaran karena dulu aku batal menidurinya."Viona masih tidak habis pikir bagaimana bisa Alfie mengalami disfungsi ereksi, padahal beberapa menit yang lalu dia menjerit-jerit karena ulah lelaki itu?Entahlah. Tidak perlu dipikirkan juga. Malah bagus, kan? Kini hanya dia yang bisa merasakan performa Alfie yang luar biasa dan membuatnya nyaris pingsan.Mantap jaya!"Dulu teman tidurku memang selalu berganti. Tetapi setelah bertemu kamu, semuanya berubah total. Tidak ada lagi yang menarik selain kamu, karena kamu adalah candu untukku, ma cherie.""Maaf," Viona menggumam dengan kepala tertunduk. "Aku sudah mengamuk tanpa bertanya lebih dulu.""Tidak masalah," balas Alfie lalu terkekeh pelan. "Lagipula tinjumu sama sekali tidak terasa. Aku bahkan merasa seperti digelitiki."Untuk pertama kalinya set
Alfie tertawa sebentar sebelum bergerak pelan. Tetapi itu tidak bertahan lama.Alfie mulai kehilangan kendali saat merasakan milik Viona mencengkeramnya dengan kuat. Dia mengentak dengan keras dan kasar. Memuaskan rasa laparnya pada Viona yang seakan tak pernah berakhir.Meja yang menjadi tempat duduk Viona bahkan sampai berderit karena goncangan yang begitu cepat dan kasar di atasnya. Viona sendiri hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Alfie dan susah payah bernapas untuk menerima dorongan keras dari Alfie.Alfie berkali-kali mengumpat. Rasanya terlalu hebat untuk bisa dia jabarkan hingga dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Sisi liarnya mengemuka ke permukaan, seolah Viona-lah yang menekan tombol on dalam dirinya.Alfie mendorong dengan keras dan sejauh-jauhnya hingga tubuh Viona berguncang hebat dalam pelukannya. Perempuan itu berteriak kecil dengan napas terengah, yang terdengar seperti melodi yang merdu di telinga Alfie.Tangan Viona mencakar punggung Alfie yang dipenuhi
Masih dengan bara kemarahan yang menguasai dirinya, Viona menatap Alfie nyalang. "Darlal Kamu main gila dengan dia, kan? Tadi aku bertemu Darla di lobi hotel dan dia bilang baru kembali dari kamarmu, Kalian juga makan malam—"Mendadak telinga Alfie terasa tuli. Aroma vanilla yang sedari tadi menyerang penciuman membuatnya tak bisa menahan diri lagi.Dengan satu tangannya yang bebas, dia meraih dagu Viona dan menyambar bibirnya sebelum perempuan itu memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.Alfie menggeram kasar begitu bibirnya kembali merasakan kelembutan bibir Viona yang manis dan hangat setelah seminggu lebih dia hanya bisa membayangkannya dalam angan-angan.Alfie masih bisa merasakan Viona yang berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari dari pagutannya.Namun akhirnya Viona tidak berkutik saat satu tangan Alfie bergeser ke belakang tengkuk dan menahannya dengan keras.Digigitnya bibir tipis itu, diisapnya dengan keras seb
Mandala susah payah menahan tawa karena rasanya tidak etis menertawakan orang yang sedang menahan tangis karena terlalu marah.Viona sama saja seperti Savannah, yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya.Padahal apa susahnya bertanya? Toh bertanya itu tidak dilarang."Masalah nggak akan selesai kalau kamu terus mengedepankan asumsi dibanding fakta. Pastikan dulu kebenarannya pada Alfie, atau kamu akan menyesal karena mengambil kesimpulan yang salah"Aku nggak mau ketemu dia." Viona menggeleng sambil mengusap bulir bening yang membasahi pipinya."Jangan buat perjalanan jauh kamu ke sini jadi sia-sia, Viona. Kita tidak tahu mengapa Darla ada di sini. Kita juga tidak tahu apa dia benar-benar makan malam berdua dengan Alfie di sini, sedangkan Mindi juga menginap di hotel ini."Kita bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ke kamar Alfie berdua saja, atau itu hanya karangan Darla. Ada banyak hal yang belum kita ketahui dengan pasti sekarang," ujar Mandala sab
Viona meremas tangannya dengan gugup.Dalam beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan Alfie, tetapi jantungnya sudah bertalu-talu kencang sejak pesawat yang dia tumpangi mendarat di bandara.Kira-kira bagaimana reaksi Alfie saat melihatnya? Apa Alfie akan marah karena dia tiba-tiba ada di sini tanpa pemberitahuan? Apa Alfie akan menyuruhnya pergi seperti kemarin-kemarin?"Rileks, Vi." Mandala seolah mengerti kegelisahan Viona karena sejak tadi perempuan itu terlihat gugup. "Bertemu dengan Alfie tidak semengerikan itu."Aku khawatir Alfie marah, Sikap dia, kan, nggak bisa diprediksi "Viona berterus terang. Dia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan kepanikan yang kian bergejolak dalam dirinya.Saat tiba di bandara tadi, dia sempat merias wajahnya sebentar di kamar mandi agar terlihat lebih cantik-harapannya, sih, begitu- ketika bertemu Alfie.Dia bahkan merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi akan bertemu Alfie setelah seminggu lebih menjalani perang dingin yang membuat dada
Semoga saja otaknya menemukan alasan yang cemerlang agar Alfie tidak menelannya hidup-hidup."Good." Mandala mengangguk puas lalu mengajak Mindi keluar dari restoran untuk menyusul Alfie sebelum lelaki itu marah lagi.Mereka langsung meluncur menuju kantor Guzman yang ada di sebuah bangunan bersejarah yang bertebaran di Paris. Lelaki itu mengucapkan selamat datang dan langsung mengajak mereka ke ruang rapatSelagi Mindi asyik mengamati detail arsitektur di dalam gedung itu, Alfie dan Mandala memulai pembicaraan serius tentang rencana Guzman yang ingin membuka The Union di kota ini.Mindi sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena seluruh pembicaraan itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Prancis yang tidak die pahami.Mindi justru lebih tertarik mengamati Darla-asisten pribadi Guzman-yang tak kalah cantiknya dengan Savannah, keponakan Mandala. Darla bukan hanya cantik, tetapi juga sangat fashionable.Diam-diam Mindi melihat dirinya yang terbalut dalam setelan blazer abu-
Mindi mengusap tengkuknya seraya meringis canggung. "Iya. Saya baru tahu Pak Mandala punya keponakan bule."Terkadang dia merasa ngeri pada Alfie. Bosnya itu sering kali bisa membaca pikirannya dengan tepat. Apa dia punya kemampuan seperti cenayang?Dengan menggunakan mobil milik Savannah, mereka meluncur menuju Ritz Carlton yang akan menjadi tempat menginap Mandala, Alfie dan Mindi selama mereka ada di ParisSepanjang perjalanan, Savannah yang mengemudikan mobil sibuk menjelaskan café atau restoran yang hype di Paris, event pagelaran fashion pria dan haute couture yang akan digelar, dan hal-hal menarik lainnya.Savannah baru berhenti bicara saat Mandala berdeham keras, "Savie, kepala Om pusing mendengar kamu mengoceh tanpa henti."Savannah mengerucutkan bibir lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar orang tua!"Setibanya di hotel, mereka berpisah di depan kamar masing-masing dan akan bertemu lagi saat makan malam di restoran. Sementara Savannah ikut masuk ke kamar Man
Viona juga bingung. Kalau Paris yang dituju Mandala adalah Pantai Parangtritis Yogyakarta yang sering disingkat 'Paris', dia tentu tidak akan bingung sebab bisa langsung berangkat untuk mengantar titipan Utami.Sayangnya, Paris yang dituju Mandala adalah ibukota negara Prancis yang berjarak belasan ribu kilometer dari Jakarta, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara."Bagaimana kalau kamu antar saja ke Paris, Dit? Tante yang akan membiayai akomodasinya. Kan sekalian bisa antar berkas untuk Mandala juga. Daripada nanti dia bingung?"Viona melongo. Dia kira Utami bercanda. Tetapi perempuan paruh baya itu langsung mengakhiri panggilan setelah memintanya datang ke rumah untuk mengambil apa saja yang harus diantar pada Mandala."Mbak, kita sudah sampai,” tegur sopir begitu melihat Viona justru termangu di kursi belakang."Eh, itu... tolong antar saya ke rumah orang tuanya Pak Mandala, Pak Aris." Viona menyebut alamat kediaman Utami. Beruntung dia masih ingat dengan jelas segala det
Untuk pertama kalinya sejak satu minggu terakhir, Bik Sari melihat wajah Viona yang berseri-seri. Dan tak urung rasa ‘keponya' mencuat karena pagi ini Padma justru berangkat ke Paris."Mbak Viona nggak sedih ditinggal ke Paris selama satu minggu?" celetuk Bik Sari dengan nada sambil lalu agar tidak terkesan 'kepo'.Padahal dia memang 'kepo' akut.Biasanya kan pengantin baru akan terlihat sedih jika ditinggal pasangannya bekerja ke luar kota atau luar negeri. Tetapi Viona terlihat santai meski tidak ikut mengantar ke bandara karena Padma melarangnya."Nggak, Bik. Kan Mas Padma juga kerja di sana," jawab Viona sambil menyuapi Sabda.Sejak dia mulai bekerja lagi, bayi itu bangun lebih awal hingga dia bisa mengajaknya bermain dulu dan menyuapinya sebelum berangkat."Kirain Bibik, Mbak Viona ikut ke Paris juga. Sekalian hanimun gitu, Mbak. Siapa tahu pulang dari sana Sabda punya adik."Viona hanya tertawa lepas. Tawa yang akhirnya bisa keluar setelah seminggu terkungkung dalam perasaan mur