"Kamu yakin dia orangnya?"Alfie mengamati foto seorang lelaki yang baru saja keluar dari sebuah rumah. Lelaki itu memakai hoodie hitam yang menutup sampai kepala hingga wajahnya tidak terlihat.Pun begitu, ini adalah kemajuan besar yang diperoleh oleh orang-orang kepercayaan Alfie yang sedang memburu orang yang menyabotase mobil Yuanita."Yakin, Tuan." Orang kepercayaan Alfie mengangguk, lalu menunjukkan satu foto lain di mana tersangka mereka tinggal."Ini adalah rumah yang diduga menjadi tempat tinggalnya. Selama berbulan-bulan ini dia pindah ke beberapa kota sampai akhirnya kembali ke kota itu."Alfie mengangguk-angguk selagi orang kepercayaannya terus menjabarkan hasil penyelidikan mereka. Hanya butuh sedikit tambahan waktu untuk mendapatkan orang yang mereka cari selama kurang lebih tiga bulan."Bagus." Alfie menggumam. "Lalu bagaimana dengan Tirta atau Viona?""Lokasi rumah sakit yang merawat Tirta juga sudah ditemukan, begitu juga dengan orang tuanya. Dan kami berhasil menemuk
Viona meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, lalu mengembuskan napas panjang. Bu Retno benar, menjadi kasir ternyata sangat melelahkan.Sudah lebih dari tujuh jam dia berdiri hingga betisnya terasa kencang. Wajahnya juga terasa pegal karena sepanjang hari dia terus mengulas senyum pada pembeli yang datang ke minimarket ini.Hari ini Viona memang langsung bekerja setelah Khadafı mengatakan dia diterima di minimarket yang buka 24 jam ini. Viona langsung mengabari Bu Retno agar perempuan itu tidak harap-harap cemas menunggunya.Beruntung tidak ada hambatan yang berarti di hari pertamanya bekerja. Rekan-rekan kerjanya yang baru juga cukup ramah dan banyak membantu Viona.Rasanya sangat jauh berbeda dengan pegawai The Union yang sering membicarakannya di belakang sambil melempar tatapan sinis dan mencemooh.Viona merasa dia harus terus menyembunyikan fakta pernikahannya demi mempertahankan suasana kerja yang nyaman seperti ini."Mas Angga, aku pulang dulu, ya," pamit Viona pada supervisor
Cuaca yang semula cerah, dengan cepat berubah mendung ketika Viona melintasi lobi. Lalu saat dia tiba di depan kamar Tirta, hujan deras turun mengguyur bumi.Viona mejauh sebentar dari pintu kamar Tirta dan merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Dia berniat menelepon Bu Retno untuk memastikan kondisi mereka.Sayangnya, baterai ponselnya habis. Viona lupa untuk tidak mengisi ulang semalam. Perempuan itu menepuk dahinya gemas dan menggerutu, "Bisa-bisanya aku lupa charge Hp."Teringat dia bisa mengisi ulang baterai ponselnya di kamar Tirta dengan meminjam charger milik ibunya, dia pun bergegas masuk setelah mengetuk pintu lebih dulu."Nduk, kamu sudah datang?" sapa Ibu Tirta seraya bangkit dari posisi rebahnya di sofa.Viona mendekat lalu mengambil punggung tangan kanan Ibu Tirta dan mengecupnya. "Iya. Ibu sudah makan?""Sudah, tadi Ibu makan di kantin.""Bapak belum datang?" tanya Viona lagi setelah mengedarkan pandangan dan tidak menemukan ayah Tirta."Bapak masih nanti malam datangny
Dengan langkah tergesa, Viona keluar dari kamar Tirta dan menyusuri lorong menuju lift. Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang hingga tidak tahu ada seorang lelaki yang mengikutinya dalam jarak aman.Sesampainya di lift, lelaki itu tidak ikut masuk tetapi turun lewat tangga. Kaki panjangnya dengan cepat menuruni anak tangga dan sampai di lobi di waktu yang sama dengan Viona.Viona sendiri langsung memesan taksi online karena kendaraan umum sudah jarang di waktu seperti ini. Lagipula dia harus cepat sampai di rumah untuk berkemas.Di saat Viona menunggu taksi online-nya tiba, sebuah panggilan masuk dari Khadafi. Lelaki itu menanyakan posisi Viona karena dia sendiri sempat ada urusan dengan pemasok minimarket."Aku baru keluar dari rumah sakit, Mas. Ini masih nunggu taksi.""Batalkan taksi kamu, Viona. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Bahaya kalau naik taksi sendirian malam-malam seperti ini.""Nggak usah, Mas. Aku-"Panggilan diputuskan begitu saja sebelum Viona menye
Rasa marahnya pada Viona tersapu habis dan tergantikan oleh perasaan lain yang tidak dia bisa dia jabarkan secara pasti karena tidak pernah merasakannya selama ini.Ini aneh. Seharusnya dia marah lalu menghukum Viona seperti biasanya, kan? Lalu ke mana amarah dalam dadanya?"Maaf, baju kamu basah." Mendadak suara Viona terdengar saat dia menarik dirinya dari pelukan Alfie dengan kikuk.Alfie merasa ada yang hilang saat Viona menjauhkan diri.Perempuan itu lalu mengusap wajahnya sambil menunduk. Alfie hanya terpaku. Apa yang harus dia lakukan sekarang?"Siapa orang itu?" Lagi-lagi Viona yang lebih dulu buka suara begitu menyadari mulut Alfie masih terkatup rapat.Alih-alih menjawab, Alfie mengeluarkan sebotol air mineral dari kantung plastik. Dia membuka tutup botol lalu mengulurkannya pada Viona."Eh, ini buat aku?" Viona tampak bingung. Yang ada di sampingnya ini Alfie, kan? Perasaannya mengatakan begitu. Tetapi kenapa dia melakukan hal-hal seperti ini?"lya," jawab Alfie singkat.Vi
Dada Viona berdesir mendengar Alfie menyebutnya sebagai istri. Sebuah pengakuan yang selama ini tidak pernah dengar sekali pun sejak mereka menikah.Viona merasa sikap Alfie malam ini memang berbeda. Lelaki itu bahkan tidak marah saat dia menangis dalam pelukannya dan membasahi kemejanya.Apa Mandala benar bahwa Alfie hanya membutuhkan sentuhan kasih sayang, kesabaran dan cinta untuk menyembuhkan luka batinnya?"Saat kamu pergi, aku mendapat kabar pembunuh itu ada di kota yang sama denganmu. Dan aku punya kecurigaan dia juga sedang mengincar kamu." Suara Alfie memutuskan lamunan Viona."Tapi kenapa dia mengincarku juga?"Alfie menggeleng. "Aku juga belum tahu apa alasannya."Hening lagi."Itu sebabnya kamu menyusul ke sini dan menyelamatkanmu dari pembunuh itu?" Viona bertanya dengan nada hati-hati.Alfie menoleh dan menatap Viona lekat. "Tadinya aku ingin membiarkan pembunuh itu melakukan tugasnya agar aku bisa melihatmu mati di depan mataku."Tengkuk Viona terasa dingin saat Alfie m
Tidak ada satu pun orang yang berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan Alfie.Kehadiran lelaki itu mengubah atmosfer di ruang tamu menjadi ganjil. Padahal Mandala dan Khadafi tadinya sangat panik saat tiba di rumah Viona.Namun, mereka langsung mengatupkan mulut rapat-rapat begitu melihat Alfie. Bahkan Khadafi yang belum pernah bertemu Alfie sekali pun, memilih untuk menahan diri.Dua orang itu datang di saat yang hampir bersamaan. Mandala datang untuk menjemput Viona, sedangkan Khadafi mengecek apakah Viona sudah sampai rumah atau belum.Ketika Bu Retno mengatakan Viona belum sampai dan tidak menjawab panggilannya, kedua orang itu berniat ke rumah sakit untuk mencari Viona.Sampai akhirnya Viona muncul di ruang tamu bersama Alfie."Tuan mau mandi? Biar saya siapkan air hangatnya. Di sini aimya dingin kalau malam." Bu Retno adalah orang pertama yang memecahkan keheningan di rumah tamu meski dia sendiri sangat takut melihat aura kelam majikannya."Tidak perlu," jawab Alfie dingin. "B
Viona merasa perutnya mulas.Ditatap setajam itu dari jarak dekat membuat nyalinya menciut. Padahal satu minggu yang lalu dia sangat berani mengatai Alfie dengan kata-kata kasar-yang sekarang sangat dia sesali."Aku minta maaf, bisik Viona susah payah karena lidahnya terasa kelu. "Aku takut kamu akan mengurungku di kamar putih itu lagi, atau melakukan hal lain yang bisa menyakitiku.""Itu karena kamu memang pantas mendapatkan hukuman.""Apa kali ini kamu akan menghukumku lagi?" gumam Viona takut-takut.Dia pasrah jika Alfie ingin menghukumnya malam ini. Yang penting Mandala bisa kembali dengan selamat dan Alfie tidak menyakiti Bu Retno yang ikut kabur bersamanya.Sudut bibir Alfie melengkungkan senyum dingin. Dia beringsut lebih dekat lalu mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Viona yang lembut."Tentu saja. Kamu anak nakal yang harus dihukum karena menyembunyikan statusmu pada orang lain. Kamu tidak ingin orang tahu kamu sudah menikah agar bisa memikat lelaki di luar sana, hm?”"B
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g