Sekarang Viona bisa melihat sepenuhnya sisi rapuh dalam alter ego Padma ini. Sisi lain yang mungkin tak akan pernah ditunjukkan pada orang lain.Lalu entah dari mana datangnya keberanian itu, Viona berjinjit lalu mengecup rahang Alfie. "Kamu tidak mungkin menjatuhkan Sabda. Kamu menyayangi anakmu, Al.""See, kamu bisa melakukannya, Al. You did a great job."Alfie tersenyum hambar mendengar pujian Padma dalam benaknya. "You think I did a great job?""Tentu. Kamu bahkan sangat natural.""Sekarang kamu terdengar seperti terapismu," ejek Alfie. Padma tertawa renyah.Percakapan yang hanya ada di benak Alfie itu sama sekali tidak terdengar oleh Viona yang kini sedang terlelap sambil memeluk Sabda di sampingnya.Butuh waktu dua puluh menit bagi Alfie untuk melepaskan Sabda. Bayi tampan yang lincah itu melekat dan mencengkeram kemeja Alfie dengan begitu kuat hingga tidak mudah menaruhnya di atas tempat tidur.Dan sekarang, begitu menatap Viona dan Sabda terlelap, perasaan asing yang janggal i
Sekali lagi helaan napas berat terdengar dari mulut Padma. Dia tahu Alfie sudah mengatakan semuanya pada Viona.Bahwa dia hanya menyayangi Yuanita. Bahwa selama ini dia melindungi Viona karena dorongan rasa sayang sebagai kakak pada adiknya.Namun Padma tidak bisa melepas Viona begitu saja. Perempuan itu sudah masuk terlalu jauh dalam hidupnya hingga tidak akan bisa digantikan oleh orang lain."Aku senang melihat kamu merawat Sabda dengan tulus. Sabda tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan bahagia," lanjut Padma."Kalau kamu pergi, siapa yang akan merawat Sabda? Aku tidak ingin melihatnya tumbuh tanpa sosok ibu."Wajah Padma terlihat kian muram di bawah penerangan dapur. "Aku tidak ingin Sabda mengalami nasib seperti aku, yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu."Hati Viona seperti tercubit mendengar alasan Padma. "Lalu bagaimana dengan Alfie? Dia sangat membenciku, Mas. Dia selalu bilang ingin membuatku menderita sampai aku memohon agar dia menghabisi nyawaku.""Aku
Setelah kembali ke kamar, Viona langsung merebahkan diri di samping Sabda. Pandangannya tertuju pada langit-langit ruangan sementara benaknya kembali memutar kata-kata Padma.Dia pikir lelaki itu akan menyusul karena hanya ada dua kamar di rumah ini. Satu kamar dia tempati sementara kamar lain dipakai Bu Retno.Setahunya Padma belum tidur sama sekali. Tetapi sampai satu jamViona menunggu, Padma tak kunjung masuk. Viona menyerah lalu perlahan memejamkan mata saat kantuk datang menjemput.Antara sadar dan tidak sadar, Viona mendengar pintu kamar dibuka dari luar. Sayangnya, dia terlalu mengantuk untuk melihat siapa yang masuk lalu menyelimutinya sampai ke bahu.Dan sebuah kecupan lembut di pelipis mengantarkan Viona ke alam mimpi. Entah siapa yang mengecupnya.Namun Viona masih bisa mendengar seseorang itu berbisik lembut di telinganya. "Sleep well, Viona."Padma masih sibuk mengaduk telur orak-arik di atas wajan saat mendengar seruan bermada cemas di belakangnya."Ya ampun, Tuan! Biar
Sementara tangannya bergerak cepat melucuti kaus dan semua kain yang melekat di tubuh. Begitu kulit bertemu kulit, Alfie menggeram keras.Akhirnya dia bisa merasakan kembali kelembutan kulit Viona, Ditambah dengan aroma segar yang datang dari sabun mandi Viona, Alfie tak tahan lagi.Tanpa melepaskan tautan bibirnya, dia menyatukan tubuh mereka dalam satu dorongan lembut. Viona refleks meremas bahu Alfie. Tubuhnya menegang saat rasa takut kembali menyergapnya.Bayangan kejadian pagi itu kembali melintas. Tetapi kali ini Alfie berusaha menenangkannya. Lelaki itu bergerak lembut dan sabar sementara tangan dan bibirnya ikut bekerja.Pelan tapi pasti, Viona mulai larut dan menikmati setiap sentuhan Alfie. Dia bahkan tidak ingat mereka bercinta sambil berdiri, tepat di depan kamar mandi.Aroma Alfie yang penuh dengan feromon membuat perasaan Viona mulai rileks. Entah karena hormon kehamilan atau pandangannya yang sudah mulai berubah pada lelaki itu, pagi ini Viona menjalankan kewajibannya d
"I'm so sorry, okay! Tapi selama seminggu lebih aku berada di sini, aku belum memutuskan apa pun.” Kali ini Viona menurunkan nada bicaranya saat menangkap kilat kecewa di mata Alfie."Lalu kenapa kamu masih mengunjungi kekasihmu itu? Kamu tahu aku tidak suka berbagi suami, Viona!" desis Alfie."Hanya karena aku memperlakukanmu dengan buruk, apa itu artinya kamu boleh melemparkan dirimu pada lelaki lain?""Apa maksud-""Kamu bahkan dekat dengan Khadafi-Khadafi itu," sela Alfie gusar. "Kamu juga meminta tolong pada Mandala. Apa kamu sengaja ingin mencari perhatian pada lelaki lain? Kamu menikmati parhatian dari mereka?"Bahu Viona terkulai.Memulai pagi dengan pembicaraan yang berat dan menguras emosi seperti ini membuatnya lelah. Padahal dia harus melayani pembeli untuk beberapa jam sambil memasang raut ramah dan penuh senyum.Dia memang masih bingung akan dibawa ke mana pernikahan ini. Alfie membencinya, tetapi di sisi lain Padma memintanya untuk tinggal dan bersabar sedikit lagi.Nam
"Saya kira Bapak datang terlambat," sambut Fira kenes dengan senyum yang dibuat-buat. "Dari tadi saya sudah menelepon Bapak berkali-kali.""Apa investor kita sudah datang?" Alfie mengalihkan pembicaraan sambil menepis tangan Fira yang mencoba membenahi dasinya."Sudah, Pak. Lima belas menit yang lalu."Alfie menyambar map dari tangan Fira lalu berjalan menuju ruang pertemuan. Di sana, dia melihat Khadafi yang langsung berdiri dan tersenyum padanya.Alfie berdecak pelan.Dalam hati dia berniat akan menghajar Mandala karena tidak mengatakan informasi sepenting ini padanya. Siapa yang bisa menyangka calon investornya kali ini adalah bos sekaligus tetangga Viona?Triple sial!"Saya rasa, saya tidak perlu mengenalkan diri lagi, bukan?"Alfie mengulas senyum tipis lalu menyambut uluran tangan Khadafi dan menjabatnya dengan kuat. Suara Khadafi pagi ini terdengar penuh percaya diri. Sangat berbeda dengan tadi malam."Tidak perlu. Saya sudah tahu semuanya tentang Anda," balas Alfie tenang samb
"Viona. Kamu nggak apa-apa?"Viona yang baru saja melayani seorang pembeli sontak menoleh pada sebuah suara yang baru saja bertanya padanya. "Nggak apa-apa, Mas."Angga, supervisor Viona, yang sejak tadi mengamati Viona tampak khawatir. Perempuan itu terlihat sangat pucat dan beberapa kali kedapatan memegang perutnya."Beneran nggak apa-apa? Kamu lagi dapat?"Viona memberikan gelengan pada Angga. Perutnya memang terasa sedikit kram seperti nyeri haid. Tetapi jelas dia tidak haid karena dia sedang hamil."Kalau sakit, izin aja, Viona," ujar Angga lagi. Kali ini dia berjalan mendekati Viona yang sedang mengusap keringat dingin yang menitik di dahinya."Enak, ya. Baru kerja langsung dikasih izin. Pegawai lama aja harus mohon-mohon kalau mau izin."Sindiran bernada sinis itu datang dari seorang perempuan yang berdiri di meja kasir sebelah Viona. Sejak awal perempuan bernama Meta itu memang memasang jarak dengan Viona."Kam kenapa sih, Met? Sinis begitu," tegur Angga tidak suka. "Kalau ben
"Dia tidak bersalah, Dafi." Devita mulai menangis. "Tolong, jangan teruskan segala niat buruk kamu. Mama mohon. Jangan sampai ada korban lagi.""Bukan sebuah kebetulan aku bertemu dengannya di Kota Solo, Ma Bukan kebetulan juga aku bertetangga dengan istrinya. Ini semua pasti ada campur tangan Tuhan di dalamnya."Mama tenang saja." Kilat mengerikan berkelebat di mata Khadafi. "Aku akan membuat mereka membayar semuanya."Khadafi memutuskan panggilan Devita sebelum perempuan paruh baya itu sempat mengatakan sesuatu. Dia lalu beralih pada ponsel Viona yang masih ada dalam genggamannya.Sebuah pesan singkat masuk. Tanpa perlu membuka pesan pun, Khadafi tahu pesan itu datang dari Padma.[Aku akan menjemputmu satu jam lagi. Jangan pulang dulu!]Khadafi menyeringai sinis lalu memilih menghapus pesan itu. Selanjutnya dia mencari-cari hal penting dalam ponsel Viona yang mungkin bisa berguna baginya.Tepat ketika dia mengembalikan ponsel itu ke dalam tas Viona, seorang perawat keluar dari ruang
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g