Perpaduan antara hormon kehamilan ditambah dengan perasaan terhina, membuatnya tak peduli apa yang akan terjadi setelah ini.
Peduli setan jika Padma akan membunuhnya karena sudah membuka rahasia ini. Dia tidak terima jika nama Yuanita yang sudah tenang di alam sana, dihina seperti ini.
"Setelah itu dia menikahi saya hanya untuk membalas dendam atas kematian Kak Yuanita yang saya sendiri juga masih merasa kehilangan. Padahal saya sudah punya kekasih.
"Tidak cukup sampai di sana, dia juga membuat kekasih saya koma, lalu menjadikan pernikahan kami seperti neraka dunia."
Mulut Ghina menganga lebar mendengar pengakuan Viona yang berapi-api.
"Tidak ada satu hari pun yang tidak saya lewati dalam ketakutan karena saya tidak tahu apa yang akan dia lakukan pada saya." Dada Viona naik turun menahan gejolak emosi di dalam dadanya.
"Apa Mama pikir uang bisa mengembalikan semuanya seperti semula? Bisa membangunkan kekasih saya yang sedang koma? Mengembali
Mandala menatap Padma yang sedang membaca proposal yang dia susun bersama timnya.Sudah lima belas menit berlalu, tetapi belum ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut lelaki tampan itu.Dan Mandala benar-benar tak bisa menahan rasa penasaran apakah yang duduk di hadapannya ini adalah Padma atau Alfie."Bagaimana?" Akhirnya Mandala bertanya lebih dulu."Hm, masih ada bagian yang perlu diperbaiki. Tidak banyak, tetapi sangat krusial."Mandala mendesah lega. Dari suaranya yang ramah, dia tahu itu adalah Padma. Suara Alfie selalu dingin dan membuat siapa pun yang mendengarnya merasa tidak nyaman.Alfie seolah menguarkan aura kelam yang membuat orang menjadi waspada, takut, atau ingin segera menyingkir dari hadapannya."Coba kamu baca yang ini."Mandala bangkit lalu memutari meja untuk berdiri di samping Padma. Dia mendengarkan arahan Padma dengan saksama dan sesekali mengangguk-angguk tanda mengerti.Lima belas menit
Beberapa jam sebelumnya."Selamat, Viona. Perjuangan kamu selama empat tahun tidak berakhir dengan sia-sia."Viona menyunggingkan senyum lebar saat menjabat uluran tangan Biru selaku dosen pembimbingnya. "Terima kasih, Pak."Tiga puluh menit yang lalu, Viona berhasil mempertanggungjawaban skripsinya di hadapan tim dosen penguji. Dan lima menit yang lalu, dia dinyatakan lulus dengan nilai A.Sebuah pencapaian yang membuat Viona luar biasa lega. Empat tahun penuh kerja keras akhirnya akan benar-benar tuntas dalam waktu kurang dari satu bulan meski tanpa kehadiran Yuanita atau Tirta di sampingnya.Tidak apa. Yang terpenting dia sudah menunaikan janjinya pada Yuanita untuk lulus kuliah tepat waktu. Tidak ada uang dan waktu yang terbuang percuma."Bagaimana dengan tawaran beasiswa S2 yang saya infokan kemarin?" Suara Biru memutus lamunan Viona.Viona mengulas senyum canggung. "Sepertinya saya tidak bisa ikut melamar untuk beasiswa yang say
Sedikit rasa iba menelusup ke dalam relung hati Viona. Dia sendiri terlahir dari keluarga yang begitu harmonis. Kedua orang tuanya sangat menyayangi dirinya dan Yuanita.Walau hidup dalam ekonomi yang pas-pasan, tetapi dia dan Yuanita tidak pernah kekurangan kasih sayang. Bahkan sampai kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat pun, Viona tak pernah merasa ada yang kurang dalam hidupnya."Saran saya, ajak Mas Padma ke psikolog untuk konseling," ujar Biru lagi. "DID butuh penanganan lebih lanjut dari psikiater dan psikolog agar penderitanya bisa menjalani hidup dengan normal."Viona ragu dia bisa melakukan itu. Memang hubungan mereka sedekat apa sampai dia berani mengusulkan pada Padma untuk ke psikolog?."Atau kamu bisa bicara dengan seorang teman saya yang menjadi dosen psikologi. Kamu mau nomornya? Kamu bisa bertanya lebih banyak pada beliau.""Itu ide yang bagus, Pak. Saya harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin."Biru m
“Jadi selain Tirta, kamu juga punya kekasih lain di kampus? Cih! Murahan sekali!"Viona meremas tali ranselnya dengan kuat untuk meredam nyeri yang menghunjam dadanya karena hinaan yang dilontarkan Padma. Tetapi sebisa mungkin dia mengedepankan akal sehatnya dengan tidak membalas.Mereka masih ada di mobil dan Padma jelas terlihat murka karena sejak tadi dia mengemudi seperti orang kesetanan. Viona masih ingin sampai di rumah dengan selamat daripada mampir dulu ke rumah sakit."Dia bukan kekasihku, Mas," balas Viona dengan nada senormal mungkin."Pembohong!" desis Padma-alias Alfie-sambil mencengkeram kemudi hingga buku-buku jarinya memutih. Giginya menggeletuk menahan gejolak emosi di dalam dadanya. "Semua perempuan memang pembohong. Kalian semua tidak bisa dipercaya!"Viona meneguk ludah dan memilih mengatupkan mulutnya rapat-rapat mendengar balasan Padma yang penuh dengan kemarahan dan kesinisan yang kental.Sejak Biru menjelaskan sekilas tentang gangguan mental bernama DID atau ke
Viona terkesiap.Tadinya dia mengira Padma akan menghukumnya dengan mengurung atau melecehkannya sekali lagi. Siapa sangka lelaki kejam itu justru membawanya ke toko perhiasan dan membelikannya cincin pernikahan.Jika sosok kejam dalam diri Padma bisa melunak seperti ini, apa Padma benar-benar mengidap DID?Terlepas dari kebingungannya tentang hal itu, sepertinya eksperimen Viona berhasil. Terbukti Padma-atau mungkin alter egonya, Viona belum bisa memastikan-tidak mengamuk padanya.Sedikit mengalah dan menurunkan tensi bicara pada Padma bisa menyelamatkannya di masa depan. Dia harus mengingat itu dengan baik."Pakai sendiri! Jangan harap aku akan memakaikannya di jarimu."Lamunan Viona buyar saat melihat cincin di dalam kotak beludru yang sudah ada di hadapannya. Cincin itu cantik sekali, persis seperti yang ada di dalam bayangannya saat Tirta melamar.Desainnya simpel, sederhana, tetapi tidak mengurangi keeleganannya dengan satu mata berlian di tengah, Viona tahu cincin model solitai
Firdaus menyesap piccolo pesanannya yang baru saja diantarkan oleh pramusaji sebelum menjawab pertanyaan Viona."Jadi begini, semua orang pasti pernah mengalami gangguan disosiatif ringan, seperti melamun atau berharap ingin menjadi orang lain karena lelah atau jenuh dengan kehidupan kita."Itu adalah mekanisme pertahanan dalam tubuh kita untuk melepaskan diri dari masalah yang sedang kita hadapi. Semua orang pasti pernah melakukan ini. Kamu pasti pernah juga, kan?"Viona mengangguk pelan. Terkadang dia berharap menjadi Yuanita yang cantik, ramping, tinggi dan bisa mengerjakan apa saja-termasuk memasak.Terkadang dia juga mengkhayal menjadi seorang miliarder yang bisa liburan ke mana saja tanpa harus memikirkan uang, di saat dia sedang penat dengan kehidupannya sendiri.Ya, melamun dan mengkhayal memang mekanisme pertahanan paling mudah dan murah yang bisa dilakukan siapa saja yang sedang jenuh atau stres."Tapi pada penderita kepribadian ganda, mekanisme pertahanan diri mereka sangat
Kenangan masa kecil Padma menyeruak dalam benak Alfie begitu melihat dua orang di hadapannya sibuk menutupi tubuh bugil mereka dengan selimut.Kenangan itu disimpan seorang diri oleh Padma dan dipendam selama bertahun-tahun sampai akhirnya karakter Alfie lahir.Setiap kali mendengar berita kebejatan ibunya, Padma selalu menghadirkan Alfie karena dia sendiri tak bisa mengungkapkan kemarahan dan rasa kecewanya pada sang ibu.Waktu itu Padma masih berusia lima tahun sementara Ghina dua puluh enam tahun. Perempuan itu memang menikah muda dengan pemilik SMA tempat dia bersekolah dulu.Dua bulan menikah dengan lelaki yang lebih tua sepuluh tahun, Ghina pun hamil. Perempuan itu sempat menyalahkan Arya karena tidak memakai pengaman, sementara dia masih belum ingin memiliki anak.Namun, karena Arya sudah menginginkan anak, Ghina terpaksa meneruskan kehamilannya meski dengan hati tidak rela. Padma terlahir sembilan bulan kemudian dan Ghina kembali melanjutkan kesenangannya.Karena alasan itu ju
Kalau Arya bisa bersenang-senang dengan perempuan lain, maka Ghina juga bisa melalukan hal yang sama.Ghina menyeret Padma ke kamar mandi dan membawanya ke bawah pancuran dan menghidupkan benda itu.Tanpa ampun, Ghina memukuli Padma di bawah pancuran yang menyala. Mulai dari pantat, paha, betis sampai lengan bocah kecil itu, disertai sumpah serapah yang membuat panas telinga."Anak tidak berguna! Tidak tahu sopan santun!""Mama menyesal melahirkan kamu. Seharusnya kamu mati sejak dulu biar tidak membuat hidup Mama terkekang.""Sejak kapan kamu berani masuk ke kamar orang tua tanpa mengetuk pintu, hah?""Apa guru di sekolah kamu tidak mengajari sopan santun?"Padma kecil hanya diam dengan tubuh gemetar. Seperti biasa, mulutnya selalu terkunci rapat setiap kali orang tuanya melakukan kekerasan padanya.Siksaan itu baru berakhir tiga puluh menit kemudian, saat Ghina mulai kehabisan tenaga. Dengan tersengal-sengal dia menatap Padma yang meringkuk di sudut kamar mandi."Mama nggak akan seg
"Bahkan selama seminggu terakhir aku tidak pernah hal-hal lain selain kamu, Viona. Dengan Darla pun, hubunganku benar-benar profesional. Meski dia mengirim sinyal, aku anggap itu sebagai rasa penasaran karena dulu aku batal menidurinya."Viona masih tidak habis pikir bagaimana bisa Alfie mengalami disfungsi ereksi, padahal beberapa menit yang lalu dia menjerit-jerit karena ulah lelaki itu?Entahlah. Tidak perlu dipikirkan juga. Malah bagus, kan? Kini hanya dia yang bisa merasakan performa Alfie yang luar biasa dan membuatnya nyaris pingsan.Mantap jaya!"Dulu teman tidurku memang selalu berganti. Tetapi setelah bertemu kamu, semuanya berubah total. Tidak ada lagi yang menarik selain kamu, karena kamu adalah candu untukku, ma cherie.""Maaf," Viona menggumam dengan kepala tertunduk. "Aku sudah mengamuk tanpa bertanya lebih dulu.""Tidak masalah," balas Alfie lalu terkekeh pelan. "Lagipula tinjumu sama sekali tidak terasa. Aku bahkan merasa seperti digelitiki."Untuk pertama kalinya set
Alfie tertawa sebentar sebelum bergerak pelan. Tetapi itu tidak bertahan lama.Alfie mulai kehilangan kendali saat merasakan milik Viona mencengkeramnya dengan kuat. Dia mengentak dengan keras dan kasar. Memuaskan rasa laparnya pada Viona yang seakan tak pernah berakhir.Meja yang menjadi tempat duduk Viona bahkan sampai berderit karena goncangan yang begitu cepat dan kasar di atasnya. Viona sendiri hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Alfie dan susah payah bernapas untuk menerima dorongan keras dari Alfie.Alfie berkali-kali mengumpat. Rasanya terlalu hebat untuk bisa dia jabarkan hingga dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Sisi liarnya mengemuka ke permukaan, seolah Viona-lah yang menekan tombol on dalam dirinya.Alfie mendorong dengan keras dan sejauh-jauhnya hingga tubuh Viona berguncang hebat dalam pelukannya. Perempuan itu berteriak kecil dengan napas terengah, yang terdengar seperti melodi yang merdu di telinga Alfie.Tangan Viona mencakar punggung Alfie yang dipenuhi
Masih dengan bara kemarahan yang menguasai dirinya, Viona menatap Alfie nyalang. "Darlal Kamu main gila dengan dia, kan? Tadi aku bertemu Darla di lobi hotel dan dia bilang baru kembali dari kamarmu, Kalian juga makan malam—"Mendadak telinga Alfie terasa tuli. Aroma vanilla yang sedari tadi menyerang penciuman membuatnya tak bisa menahan diri lagi.Dengan satu tangannya yang bebas, dia meraih dagu Viona dan menyambar bibirnya sebelum perempuan itu memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.Alfie menggeram kasar begitu bibirnya kembali merasakan kelembutan bibir Viona yang manis dan hangat setelah seminggu lebih dia hanya bisa membayangkannya dalam angan-angan.Alfie masih bisa merasakan Viona yang berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari dari pagutannya.Namun akhirnya Viona tidak berkutik saat satu tangan Alfie bergeser ke belakang tengkuk dan menahannya dengan keras.Digigitnya bibir tipis itu, diisapnya dengan keras seb
Mandala susah payah menahan tawa karena rasanya tidak etis menertawakan orang yang sedang menahan tangis karena terlalu marah.Viona sama saja seperti Savannah, yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya.Padahal apa susahnya bertanya? Toh bertanya itu tidak dilarang."Masalah nggak akan selesai kalau kamu terus mengedepankan asumsi dibanding fakta. Pastikan dulu kebenarannya pada Alfie, atau kamu akan menyesal karena mengambil kesimpulan yang salah"Aku nggak mau ketemu dia." Viona menggeleng sambil mengusap bulir bening yang membasahi pipinya."Jangan buat perjalanan jauh kamu ke sini jadi sia-sia, Viona. Kita tidak tahu mengapa Darla ada di sini. Kita juga tidak tahu apa dia benar-benar makan malam berdua dengan Alfie di sini, sedangkan Mindi juga menginap di hotel ini."Kita bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ke kamar Alfie berdua saja, atau itu hanya karangan Darla. Ada banyak hal yang belum kita ketahui dengan pasti sekarang," ujar Mandala sab
Viona meremas tangannya dengan gugup.Dalam beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan Alfie, tetapi jantungnya sudah bertalu-talu kencang sejak pesawat yang dia tumpangi mendarat di bandara.Kira-kira bagaimana reaksi Alfie saat melihatnya? Apa Alfie akan marah karena dia tiba-tiba ada di sini tanpa pemberitahuan? Apa Alfie akan menyuruhnya pergi seperti kemarin-kemarin?"Rileks, Vi." Mandala seolah mengerti kegelisahan Viona karena sejak tadi perempuan itu terlihat gugup. "Bertemu dengan Alfie tidak semengerikan itu."Aku khawatir Alfie marah, Sikap dia, kan, nggak bisa diprediksi "Viona berterus terang. Dia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan kepanikan yang kian bergejolak dalam dirinya.Saat tiba di bandara tadi, dia sempat merias wajahnya sebentar di kamar mandi agar terlihat lebih cantik-harapannya, sih, begitu- ketika bertemu Alfie.Dia bahkan merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi akan bertemu Alfie setelah seminggu lebih menjalani perang dingin yang membuat dada
Semoga saja otaknya menemukan alasan yang cemerlang agar Alfie tidak menelannya hidup-hidup."Good." Mandala mengangguk puas lalu mengajak Mindi keluar dari restoran untuk menyusul Alfie sebelum lelaki itu marah lagi.Mereka langsung meluncur menuju kantor Guzman yang ada di sebuah bangunan bersejarah yang bertebaran di Paris. Lelaki itu mengucapkan selamat datang dan langsung mengajak mereka ke ruang rapatSelagi Mindi asyik mengamati detail arsitektur di dalam gedung itu, Alfie dan Mandala memulai pembicaraan serius tentang rencana Guzman yang ingin membuka The Union di kota ini.Mindi sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena seluruh pembicaraan itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Prancis yang tidak die pahami.Mindi justru lebih tertarik mengamati Darla-asisten pribadi Guzman-yang tak kalah cantiknya dengan Savannah, keponakan Mandala. Darla bukan hanya cantik, tetapi juga sangat fashionable.Diam-diam Mindi melihat dirinya yang terbalut dalam setelan blazer abu-
Mindi mengusap tengkuknya seraya meringis canggung. "Iya. Saya baru tahu Pak Mandala punya keponakan bule."Terkadang dia merasa ngeri pada Alfie. Bosnya itu sering kali bisa membaca pikirannya dengan tepat. Apa dia punya kemampuan seperti cenayang?Dengan menggunakan mobil milik Savannah, mereka meluncur menuju Ritz Carlton yang akan menjadi tempat menginap Mandala, Alfie dan Mindi selama mereka ada di ParisSepanjang perjalanan, Savannah yang mengemudikan mobil sibuk menjelaskan café atau restoran yang hype di Paris, event pagelaran fashion pria dan haute couture yang akan digelar, dan hal-hal menarik lainnya.Savannah baru berhenti bicara saat Mandala berdeham keras, "Savie, kepala Om pusing mendengar kamu mengoceh tanpa henti."Savannah mengerucutkan bibir lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar orang tua!"Setibanya di hotel, mereka berpisah di depan kamar masing-masing dan akan bertemu lagi saat makan malam di restoran. Sementara Savannah ikut masuk ke kamar Man
Viona juga bingung. Kalau Paris yang dituju Mandala adalah Pantai Parangtritis Yogyakarta yang sering disingkat 'Paris', dia tentu tidak akan bingung sebab bisa langsung berangkat untuk mengantar titipan Utami.Sayangnya, Paris yang dituju Mandala adalah ibukota negara Prancis yang berjarak belasan ribu kilometer dari Jakarta, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara."Bagaimana kalau kamu antar saja ke Paris, Dit? Tante yang akan membiayai akomodasinya. Kan sekalian bisa antar berkas untuk Mandala juga. Daripada nanti dia bingung?"Viona melongo. Dia kira Utami bercanda. Tetapi perempuan paruh baya itu langsung mengakhiri panggilan setelah memintanya datang ke rumah untuk mengambil apa saja yang harus diantar pada Mandala."Mbak, kita sudah sampai,” tegur sopir begitu melihat Viona justru termangu di kursi belakang."Eh, itu... tolong antar saya ke rumah orang tuanya Pak Mandala, Pak Aris." Viona menyebut alamat kediaman Utami. Beruntung dia masih ingat dengan jelas segala det
Untuk pertama kalinya sejak satu minggu terakhir, Bik Sari melihat wajah Viona yang berseri-seri. Dan tak urung rasa ‘keponya' mencuat karena pagi ini Padma justru berangkat ke Paris."Mbak Viona nggak sedih ditinggal ke Paris selama satu minggu?" celetuk Bik Sari dengan nada sambil lalu agar tidak terkesan 'kepo'.Padahal dia memang 'kepo' akut.Biasanya kan pengantin baru akan terlihat sedih jika ditinggal pasangannya bekerja ke luar kota atau luar negeri. Tetapi Viona terlihat santai meski tidak ikut mengantar ke bandara karena Padma melarangnya."Nggak, Bik. Kan Mas Padma juga kerja di sana," jawab Viona sambil menyuapi Sabda.Sejak dia mulai bekerja lagi, bayi itu bangun lebih awal hingga dia bisa mengajaknya bermain dulu dan menyuapinya sebelum berangkat."Kirain Bibik, Mbak Viona ikut ke Paris juga. Sekalian hanimun gitu, Mbak. Siapa tahu pulang dari sana Sabda punya adik."Viona hanya tertawa lepas. Tawa yang akhirnya bisa keluar setelah seminggu terkungkung dalam perasaan mur