Beberapa jam sebelumnya.
"Selamat, Viona. Perjuangan kamu selama empat tahun tidak berakhir dengan sia-sia."
Viona menyunggingkan senyum lebar saat menjabat uluran tangan Biru selaku dosen pembimbingnya. "Terima kasih, Pak."
Tiga puluh menit yang lalu, Viona berhasil mempertanggungjawaban skripsinya di hadapan tim dosen penguji. Dan lima menit yang lalu, dia dinyatakan lulus dengan nilai A.
Sebuah pencapaian yang membuat Viona luar biasa lega. Empat tahun penuh kerja keras akhirnya akan benar-benar tuntas dalam waktu kurang dari satu bulan meski tanpa kehadiran Yuanita atau Tirta di sampingnya.
Tidak apa. Yang terpenting dia sudah menunaikan janjinya pada Yuanita untuk lulus kuliah tepat waktu. Tidak ada uang dan waktu yang terbuang percuma.
"Bagaimana dengan tawaran beasiswa S2 yang saya infokan kemarin?" Suara Biru memutus lamunan Viona.
Viona mengulas senyum canggung. "Sepertinya saya tidak bisa ikut melamar untuk beasiswa yang say
Sedikit rasa iba menelusup ke dalam relung hati Viona. Dia sendiri terlahir dari keluarga yang begitu harmonis. Kedua orang tuanya sangat menyayangi dirinya dan Yuanita.Walau hidup dalam ekonomi yang pas-pasan, tetapi dia dan Yuanita tidak pernah kekurangan kasih sayang. Bahkan sampai kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat pun, Viona tak pernah merasa ada yang kurang dalam hidupnya."Saran saya, ajak Mas Padma ke psikolog untuk konseling," ujar Biru lagi. "DID butuh penanganan lebih lanjut dari psikiater dan psikolog agar penderitanya bisa menjalani hidup dengan normal."Viona ragu dia bisa melakukan itu. Memang hubungan mereka sedekat apa sampai dia berani mengusulkan pada Padma untuk ke psikolog?."Atau kamu bisa bicara dengan seorang teman saya yang menjadi dosen psikologi. Kamu mau nomornya? Kamu bisa bertanya lebih banyak pada beliau.""Itu ide yang bagus, Pak. Saya harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin."Biru m
“Jadi selain Tirta, kamu juga punya kekasih lain di kampus? Cih! Murahan sekali!"Viona meremas tali ranselnya dengan kuat untuk meredam nyeri yang menghunjam dadanya karena hinaan yang dilontarkan Padma. Tetapi sebisa mungkin dia mengedepankan akal sehatnya dengan tidak membalas.Mereka masih ada di mobil dan Padma jelas terlihat murka karena sejak tadi dia mengemudi seperti orang kesetanan. Viona masih ingin sampai di rumah dengan selamat daripada mampir dulu ke rumah sakit."Dia bukan kekasihku, Mas," balas Viona dengan nada senormal mungkin."Pembohong!" desis Padma-alias Alfie-sambil mencengkeram kemudi hingga buku-buku jarinya memutih. Giginya menggeletuk menahan gejolak emosi di dalam dadanya. "Semua perempuan memang pembohong. Kalian semua tidak bisa dipercaya!"Viona meneguk ludah dan memilih mengatupkan mulutnya rapat-rapat mendengar balasan Padma yang penuh dengan kemarahan dan kesinisan yang kental.Sejak Biru menjelaskan sekilas tentang gangguan mental bernama DID atau ke
Viona terkesiap.Tadinya dia mengira Padma akan menghukumnya dengan mengurung atau melecehkannya sekali lagi. Siapa sangka lelaki kejam itu justru membawanya ke toko perhiasan dan membelikannya cincin pernikahan.Jika sosok kejam dalam diri Padma bisa melunak seperti ini, apa Padma benar-benar mengidap DID?Terlepas dari kebingungannya tentang hal itu, sepertinya eksperimen Viona berhasil. Terbukti Padma-atau mungkin alter egonya, Viona belum bisa memastikan-tidak mengamuk padanya.Sedikit mengalah dan menurunkan tensi bicara pada Padma bisa menyelamatkannya di masa depan. Dia harus mengingat itu dengan baik."Pakai sendiri! Jangan harap aku akan memakaikannya di jarimu."Lamunan Viona buyar saat melihat cincin di dalam kotak beludru yang sudah ada di hadapannya. Cincin itu cantik sekali, persis seperti yang ada di dalam bayangannya saat Tirta melamar.Desainnya simpel, sederhana, tetapi tidak mengurangi keeleganannya dengan satu mata berlian di tengah, Viona tahu cincin model solitai
Firdaus menyesap piccolo pesanannya yang baru saja diantarkan oleh pramusaji sebelum menjawab pertanyaan Viona."Jadi begini, semua orang pasti pernah mengalami gangguan disosiatif ringan, seperti melamun atau berharap ingin menjadi orang lain karena lelah atau jenuh dengan kehidupan kita."Itu adalah mekanisme pertahanan dalam tubuh kita untuk melepaskan diri dari masalah yang sedang kita hadapi. Semua orang pasti pernah melakukan ini. Kamu pasti pernah juga, kan?"Viona mengangguk pelan. Terkadang dia berharap menjadi Yuanita yang cantik, ramping, tinggi dan bisa mengerjakan apa saja-termasuk memasak.Terkadang dia juga mengkhayal menjadi seorang miliarder yang bisa liburan ke mana saja tanpa harus memikirkan uang, di saat dia sedang penat dengan kehidupannya sendiri.Ya, melamun dan mengkhayal memang mekanisme pertahanan paling mudah dan murah yang bisa dilakukan siapa saja yang sedang jenuh atau stres."Tapi pada penderita kepribadian ganda, mekanisme pertahanan diri mereka sangat
Kenangan masa kecil Padma menyeruak dalam benak Alfie begitu melihat dua orang di hadapannya sibuk menutupi tubuh bugil mereka dengan selimut.Kenangan itu disimpan seorang diri oleh Padma dan dipendam selama bertahun-tahun sampai akhirnya karakter Alfie lahir.Setiap kali mendengar berita kebejatan ibunya, Padma selalu menghadirkan Alfie karena dia sendiri tak bisa mengungkapkan kemarahan dan rasa kecewanya pada sang ibu.Waktu itu Padma masih berusia lima tahun sementara Ghina dua puluh enam tahun. Perempuan itu memang menikah muda dengan pemilik SMA tempat dia bersekolah dulu.Dua bulan menikah dengan lelaki yang lebih tua sepuluh tahun, Ghina pun hamil. Perempuan itu sempat menyalahkan Arya karena tidak memakai pengaman, sementara dia masih belum ingin memiliki anak.Namun, karena Arya sudah menginginkan anak, Ghina terpaksa meneruskan kehamilannya meski dengan hati tidak rela. Padma terlahir sembilan bulan kemudian dan Ghina kembali melanjutkan kesenangannya.Karena alasan itu ju
Kalau Arya bisa bersenang-senang dengan perempuan lain, maka Ghina juga bisa melalukan hal yang sama.Ghina menyeret Padma ke kamar mandi dan membawanya ke bawah pancuran dan menghidupkan benda itu.Tanpa ampun, Ghina memukuli Padma di bawah pancuran yang menyala. Mulai dari pantat, paha, betis sampai lengan bocah kecil itu, disertai sumpah serapah yang membuat panas telinga."Anak tidak berguna! Tidak tahu sopan santun!""Mama menyesal melahirkan kamu. Seharusnya kamu mati sejak dulu biar tidak membuat hidup Mama terkekang.""Sejak kapan kamu berani masuk ke kamar orang tua tanpa mengetuk pintu, hah?""Apa guru di sekolah kamu tidak mengajari sopan santun?"Padma kecil hanya diam dengan tubuh gemetar. Seperti biasa, mulutnya selalu terkunci rapat setiap kali orang tuanya melakukan kekerasan padanya.Siksaan itu baru berakhir tiga puluh menit kemudian, saat Ghina mulai kehabisan tenaga. Dengan tersengal-sengal dia menatap Padma yang meringkuk di sudut kamar mandi."Mama nggak akan seg
Ghani mengerjap.Kilat kemarahan di mata sang anak benar-benar tak pernah dia lihat sebelumnya. Dan mengapa sejak tadi Padma bicara tentang dirinya seorang dia adalah orang lain? Apa maksudnya?Lelaki berjas hitam itu adalah anak sulungnya, kan?"Dan kamu- Alfie beralih memandang lelaki yang lebih muda enam tahun darinya itu, "-sama menjijikkannya dengan perempuan di ujung sana." Alfie menunjuk Ghina."Tolong maafkan saya, Mas Padma." Lelaki muda itu menangkupkan kedua tangannya di depan mata sambil membungkukkan tubuhnya yang gemetar ketakutan."Ibu Ghina terus membujuk dan merayu saya. Dia juga berjanji akan membantu biaya kuliah adik saya. Tolong ampuni saya.""Fero!" Ghina melotot. "Apa-apaan ini? Jangan katakan apa-apa pada Padma!" serunya panik.Seringai kejam terbit di wajah Alfie. Dia tahu lelaki di hadapannya ini sedang berbohong. Sehari yang lalu, dia sempat menyelidiki latar belakang asisten pribadi ibunya.Sama seperti yang dia katakan, asisten baru ibunya itu tak lebih da
Viona meminta Bu Retno membawa Sabda ke kamarnya sendiri, sementara dia pergi mengecek suara pecahan kaca yang berasal dari ruang makan.Penerangan di ruang tengah sudah berubah remang-remang saat keluar dari kamar. Mungkin Bik Sari yang mematikan lampu sekaligus mengunci pintu depan.Mendadak terdengar suara tawa ganjil dari ruang makan, yang membuat tengkuk Viona meremang. Meski takut tetapi rasa penasarannya lebih dominan.Detak jantung Viona mulai berkejaran saat kakinya melangkah menuju ruang makan. Dilihatnya sesosok tubuh tertelungkup di meja makan sambil meracau tidak jelas.Didekatinya sosok itu sambil menelan ludah gugup. Dia berjaga-jaga akan kabur jika sosok itu adalah makhluk astral yang bisa saja sudah gentayangan di jam seperti ini dan menyaru menjadi manusia.Viona menghela napas lega setelah memastikan sosok yang menelungkup di meja adalah Padma. Lelaki itu terlihat kacau dengan rambut berantakan dan lengan kemeja yang digulung sampai ke siku. Sementara jasnya entah k
Air mata langsung bergulir di wajah Rosma. "Maaf, Mbak. Rasanya aku nggak mau hidup lagi setelah membuat Mbak Viona kecewa," ujarnya parau."Ya Tuhan!" seru Viona tertahan. "Bukankah kita sudah sepakat untuk menganggap semuanya selesai? Apa kamu tidak memikirkan perasaan ibu dan adik-adikmu?"Viona benar-benar tidak mengerti mengapa Rosma senekat ini. Padahal setelah keluar dari rumah, dia masih berkomunikasi secara rutin dengan Rosma.Viona kira Rosma baik-baik saja dan mulai melanjutkan hidup karena gadis itu selalu terdengar ceria jika dia menelepon.Isak tangis Rosma masih terdengar. Viona menghela napas keras lalu beranjak mendekat dan mengusap kepala gadis itu."Bagi sebagian orang yang depresi dan punya masalah yang begitu berat, bunuh diri jadi jalan keluar agar terbebas dari penderitaan yang mereka tanggung."Tapi kamu masih punya saya untuk diajak bicara. Kamu anggap saya apa? Tolong, Ros, jangan lakukan hal-hal seperti ini lagi. Keluargamu di Medan sangat membutuhkan kamu.
Viona baru sadar kalau Alfie dan Padma seperti dua orang yang terjebak dalam satu tubuh. Keduanya memiliki kepribadian yang benar-benar bertolak belakang.Bahkan sejak Alfie masih menaruh dendam di awal pernikahan mereka yang pertema, lelaki itu sudah menunjukkan sikap posesifnya dengan mengatakan, "Aku tidak suka berbagi istri".Wajar jika sekarang dia juga melakukan hal yang sama, apakagi lelaki itu terang-terangan sudah menyatakan cintanya.[Cemburunya pada Padma sama seperti dia cemburu pada lelaki lain yang mendekati kamu. Dan itu mungkin terjadi karena dia menempatkan Padma sebagai orang lain yang bisa 'merebut' kamu dari dia.[Atau kemungkinan lain, dia bisa saja merasa tidak cukup layak untuk kamu jika dibanding Padma yang lebih 'manusiawi'. Sebenarnya ini bisa kamu ketahui kalau kalian mau deep talk. Saya sendiri sudah bicara pada Alfie, tetapi belum berhasil.]Pesan terakhir dari sang terapis-lah membuat Viona dilanda kegamangan selama berhari-hari, bahkan hingga detik ini.
"Kamu baik-baik saja?"Viona tersentak ketika merasakan tepukan di bahunya. Dia menoleh dan mendapati Mandala sedang menatapnya tajam. Rupanya dia melamun di tengah-tengah rapat yang sangat penting."Maaf, Pak," balas Viona cepat dengan raut sesal di wajahnya.Mandala menggeleng tanda tak suka lalu memberi isyarat agar mencatat Viona mencatat poin-poin penting yang sedang disampaikan Alfie. Viona mengangguk lalu buru-buru meraih notes-nya.Bukan hal yang mudah untuk memfokuskan pikirannya pada Alfie yang sedang bicara di depan, tanpa teringat pada betapa rumitnya hubungan mereka dalam lima hari terakhir.Alfie benar-benar merealisasikan ucapannya.Sejak pagi itu, dia tidak pernah pulang ke rumah. Lelaki itu hanya akan muncul di kantor pada momen tertentu, dan membiarkan Padma mengambil alih sisanya.Di rumah, jangan harap Alfie akan muncul. Hanya ada Padma di samping Viona dan Sabda. Bukannya Viona tidak senang akan kehadiran Padma, tetapi dia merasa ada yang hilang dalam dirinya seja
Saat membuka mata, rasa sakit menghantam kepala Viona hingga dia mengerang pelan. Tak hanya itu, perutnya juga bergolak hebat.Dengan tergesa Viona menyibak selimut, lalu berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya di toilet. Ini pasti karena bergelas-gelas wine yang dia minum semalam. Seharusnya dia memang tidak menyentuh minuman itu.Setelah merasa perutnya tak lagi terasa mual, Viona menekan tombol flush lalu berdiri dengan tubuh sedikit limbung.Dia membasuh wajahnya di wastafel dan terkejut saat menyadari dirinya sudah memakai sehelai kaus putih kebesaran yang bisa dipastikan bukan miliknya. Kaus kebesaran itu menjulur sampai menutupi setengah pahanya.Wajah Viona memanas.Pasti Padma yang memakaikan kaus ini setelah pergulatan mereka semalam. Dia mengigit bibir dan merasakan desiran di dadanya saat mengingat apa yang terjadi antara dirinya dan Padma.Sambil mengulum senyum, Viona keluar dari kamar mandi. Dia kembali terkejut saat melihat sesosok lelaki tampan yang suda
Viona kembali menuang wine ke dalam gelas dan menghabiskannya dalam beberapa tegukan karena cegukannya tidak kunjung berhenti.Dia lantas memicingkan mata pada Padma karena pandangannya mulai mengabur. "Kamu pasti mau mengerjaiku lagi, kan, Al? Aku tahu kamu sedang menyamar menjadi Mas Padma seperti dulu. Kali ini aku tidak akan tertipu, Al. Hik!"Ah, sial! Kenapa cegukan ini tidak mau berhenti? Dan kenapa tubuhnya terasa gerah juga? Padahal mereka sedang di rooftop dan udara malam ini cukup dingin."Aku bukan Alfie, Viona. Ini benar-benar aku." Padma meraih kedua bahu Viona agar perempuan itu percaya padanya.Viona terkekeh dengan wajah makin memerah dan tatapan yang sayu. "Kamu bohong... kamu bohong," racaunya. "Kamu pasti hanya ingin mengerjaiku, kan? Kali ini aku tidak akan tertipu, Al."Padma berdecak halus. Dia tahu Alfie memang pernah menyamar menjadi dirinya, lalu mengatakan hal yang sama persis seperti yang dia katakan tadi.Alfie bahkan mengarang cerita bahwa dia menyukai Vi
"Kita merayakan rumah baru ini. Ayo kita buat banyak kenangan baru yang indah bersama-sama." Padma mengangkat gelas dan membenturkannya ke gelas Viona pelan. "Cheers!""Cheers." Viona menyesap perlahan wine di gelasnya. Rasanya sama persis seperti yang pernah diberikan oleh Alfie malam itu."Dance with me?"Viona tersentak begitu menaruh gelasnya yang sudah kosong ke atas meja. Dia menatap bingung pada tangan Padma yang terulur padanya.Belum sempat dia bertanya, suara musik klasik sudah mengalun lembut dari ponsel Padma yang diletakkan di atas meja. Padma mengedip. "Ayolah, kamu belum pernah dansa denganku, kan?"Viona meraih uluran tangan Padma, lalu bangkit dan mengikuti lelaki itu menuju area kosong di samping meja makan. Dadanya berdebar penuh antisipasi saat Padma merengkuh pinggangnya dengan lembut.Sebenarnya apa yang Padma inginkan? Kenapa sikapnya sangat tidak biasa?Orang bilang cinta pertama tak akan pernah pudar.Viona pikir itu omong kosong karena buktinya dia bisa menci
Suara itu berbeda. Bukan Alfie, tetapi Padma Bahu Viona sedikit terkulai meski senyum masih bertahan di wajahnya."Hai, Mas. Maaf, aku ketiduran." Viona merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena tanpa sadar dia tertidur di sofa ruang tamu saat menunggu Alfie pulang."It's okay. Kamu pasti capek. Maaf ya, aku nggak bantu kamu." Padma mengusap kepala Viona lembut lalu duduk di sampingnya.Viona mengerjap lalu tersenyum kikuk. "Mas Padma kan kerja. Lagipula, petugas jasa pindahannya juga cekatan. Jadi aku nggak merasa capek sama sekali."Rasanya sangat aneh berhadapan dengan Padma yang hangat, setelah sekian lama dia menghadapi Alfie, yang sikapnya jauh berbeda."Mas Padma udah pulang dari tadi?" Viona mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba merasukinya. Entah kenapa dia merasa sorot mata Padma sedikit berbeda dari biasanya."Lumayan.""Kenapa nggak membangunkan aku?"Padma kembali tersenyum. Alih-alih menjawab pertanyaan Viona, dia justru mengamati perempuan itu dengan lekat hing
Mengingat Padma adalah lelaki yang sangat supel dan punya banyak teman. Berbeda jauh dengan Alfie yang eksklusif dan nyaris tidak punya teman selain Mandala."Bibik kurang tahu, Mbak. Mbak Viola juga nggak pernah ke rumah ini lagi. Mbak Viona pernah ketemu lagi?"Viona menggeleng. Terakhir kali dia bertemu Viola adalah di pesta itu. Padma juga tidak pernah mengatakan apa-apa, selain minta maaf atas kelakuan sepupu jauhnya itu.Pantas saja Viola tampak begitu marah saat bertemu dengannya hingga menyiramnya dengan air got dan menuduhnya yang tidak-tidak.Lalu apa yang akan terjadi jika keluarga Padma tahu tentang pernikahan ini? Viona tidak berani membayangkannya meski cepat atau lambat mereka semua pasti akan tahu.Semoga saja Viola sudah melupakan apa yang terjadi di masa lalu hingga tidak perlu ada drama lagi saat mereka bertemu nanti. Siapa yang bisa menyangka keluarga Padma ternyata sangat rumit?"Sejak kapan Bik Sari tahu Rosma suka Mas Padma?" Viona kembali bertanya berhubung dia
Pagi ini Viona terbangun tanpa Alfie di sampingnya.Setelah semalam membuatnya merana, Alfie menghilang lagi entah ke mana. Dia baru kembali satu jam kemudian, lalu tidur di sampingnya dan memeluknya seolah tidak terjadi apa-apa.Dan pagi ini sepertinya lelaki itu berangkat ke Bandung lebih awal tanpa membangunkannya lebih dahulu. Meninggalkan perasaan yang sangat tidak nyaman saat Viona terbangun pagi ini.Dengan hati masygul dan kepala berat karena hasratnya yang tidak tuntas, Viona bangkit dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi. Hari ini ada banyak hal yang harus dikerjakan karena mereka pindahan.20 menit kemudian, dia turun ke lantai satu dan langsung menuju kamar Sabda. Ternyata bayi itu masih tidur pulas sambil memeluk guling ulatnya.Viona memutuskan ke dapur dan menyiapkan makanan untuk Sabda agar bayi itu bisa langsung makan setelah bangun tidur nanti.Bik Sari yang sedang mengemas beberapa barang di dapur berkali-kali mencuri pandang pada Viona yang tampak murung. Jiwa '