Hening sempat menyekat kelas sebelum akhirnya menjadi begitu bergemuruh. Apa yang diucapkan Smith tidak pernah terduga sebelumnya. Hal itu secara otomatis memperluas pemahaman teman-temannya tentang apa yang diterangkan Pak Jack.
“Bagus Smith. Sepertinya kau telah memperhatikan Janu jauh sebelum Bapak memintanya. Hehehe.”
Suara tawa Pak Jack lekas diikuti oleh gelak tawa teman-teman Smith satu kelas. Tapi suara tawa itu segera terhenti saat Smith mengangkat wajahnya dan memandang temannya satu per satu dengan tatapan khas singa jantan.
Tapi hal berbeda terlihat di wajah Janu. Pemuda itu masih terpaku tak jelas, entah memandang apa, dengan kedua alis yang hampir menyatu.
“Janu, sekarang giliranmu,” suara Pak Jack mengejutkan Janu.
Pemuda itu menarik napas panjang. Lalu membuangnya secara perlahan sambil memejamkan mata, seolah tidak hanya melepaskan sisa udara dari dalam paru-parunya tetapi juga membuang hal yang menganggu pikirannya.
“Tangan. Aku melihat sendiri bagaimana jari-jari lentik itu menjabat tangan orang lain. Menguatkan dan menunjukkan kepedulian. Tidak banyak, oh tidak, tidak. Tidak ada orang yang tahu atau mengira, tangan itu bisa menjadi demikian manis. Itu adalah tangan yang sangat menawan. Tangan seorang dewi kasih sayang yang hanya akan tampak saat orang-orang tidak sedang melihat,” kata Janu dengan tatapan lurus ke depan.
Apa yang diucapkan Janu berhasil membuat kepala Smith menoleh. Jantung gadis itu berdegup kencang lantaran ada kecurigaan yang menyelimuti batinnya.
Entah mengapa, Smith merasa cemas kalau-kalau apa yang ia lakukan pada Pak Hadi diketahui oleh orang lain.
Ketika itu ia sempat melihat keadaan sekitar. Sangat sepi dan tidak terlihat ada orang lain di sekeliling mereka.
Atau rasa bahagia yang berlebihan melihat Pak Hadi telah kembali bertugas membuatnya menjadi kurang waspada?
***
“Smith!” panggil Janu yang berada dua meter di belakang Smith.
Tapi Smith yang telah mengenal suara itu, bukannya berhenti malah mempercepat langkahnya. Ia berjalan sangat cepat menuju pos satpam lain, bukan pos tempat Pak Hadi berada.
Pikirnya, jika memang Janu mengetahui apa yang terjadi di dekat pos satpam fakultas, tentulah pemuda itu memarkir motornya di sana.
Maka, Smith sengaja memilih jalan lain untuk keluar kampus supaya Janu tidak mengikutinya lagi.
Tapi gadis itu keliru, meski Janu sempat berpikir untuk mengambil motornya, nyatanya yang ia lakukan justru sebaliknya. Janu terus berjalan mengikuti Smith sambil berulang-ulang memanggil gadis itu.
“Sas! Berhentilah!” panggil Janu setengah berteriak.
Smith menghentikan langkah kakinya. Tanpa membalikkan badan. Ia sudah jengah menghindar. Terlebih setelah Janu memanggilnya dengan panggilan yang berbeda dari yang ia inginkan.
Melihat itu, Janu langsung bersicepat mendekat. Ia berdiri di depan Smith.
Beberapa orang yang kebetulan sedang lewat di jalan sempit itu, melihat Smith dan Janu yang saling menatap dengan wajah serius itu.
Rata-rata mereka mengira Smith dan Janu adalah sepasang kekasih yang sedang ribut.
“Apa maksud dari ucapanmu tadi?” tanya Janu setelah beberapa saat hanya diam memandang wajah keras Smith.
“Ucapan yang mana?” tanya Smith pura-pura tidak mengerti.
“Kau tidak terlalu banyak bicara di depan orang-orang. Aku tahu, kau tahu apa yang aku maksud,” tukas Janu dengan hati sedikit memanas. Entah mengapa ia merasa sangat kesal pada petikan prosa yang disampaikan Smith di depan kelas. Ia tidak terima dan sangat tidak suka.
“Apa ini soal prosa itu? Heh! Lelaki konyol. Apa kau tahu arti dari prosa? KARANGAN BEBAS! Jadi terserah aku mau membuatnya menjadi seperti apa. Sekarang menyingkirlah dari hadapanku! Wajahmu membuatku muak.”
Biuh, biuh, biuh. Smith meluapkan kekesalannya. Ia berbicara dengan sangat lantang di depan wajah Janu.
“Tapi, kau menggunakan mataku sebagai inspirasinya. Mengapa mataku membuatmu ingin mati?” tanya Janu dengan suara lirih saja, dengan perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya.
Smith yang sempat berjalan beberapa langkah meninggalkan Janu, kini menghentikan kakinya. Lalu membalikkan badan dan kembali menghampiri Janu.
“Apa kau pikir jika aku menjadikan matamu sebagai inspirasi itu artinya yang aku katakan tadi tentang matamu? Sial! Mengapa aku harus memiliki teman satu kelas sepertimu? Dengar, aku tidak tahu mengapa ada orang sepertimu. Aku juga tidak punya urusan denganmu. Jadi, berhenti mengangguku atau kau akan terlibat dalam masalah,” kata Smith penuh penekanan sambil menepuk pundak Janu.
Gadis itu diam sejenak untuk melihat respons Janu. Dan ia menjadi semakin kesal lantaran bukannya takut, Janu justru tersenyum dan menawarkan pada Smith untuk mengantarnya pulang sebab hari sudah mulai gelap.
“Dasar pria aneh!” tukas Smith lagi, yang kemudian membalikkan badan dan meninggalkan Janu masih dengan dongkol yang kentara jelas di wajahnya.
Janu masih tersenyum. Ia semakin yakin kalau Smith adalah gadis unik yang sangat menarik untuk didekati.
Satu yang pasti, sebagai gadis yang dipandang sangat aneh oleh orang-orang di sekitarnya, Smith sama sekali tidak canggung saat menyebut Janu sebagai lelaki aneh. Dan itu sungguh menggelitik batin Janu hingga membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
“Kau memang lucu Smith. Entah sudah berapa kali kau membuatku tersenyum geli hari ini,” ujar Janu dalam benak.
“Ya salam... Motorku!” ujar Janu dengan mata terbelalak layaknya orang terkejut sambil menepuk dahinya pelan.
Janu teringat pada motornya yang masih berada di parkiran fakultas. Ia pun berlari kembali ke kampus. Jika masih beruntung, ia bisa dengan mudah keluar dari tempat parkir sambil menaiki motornya.
Tapi pemuda itu sudah terlanjur yakin, kalau ia harus berjuang keras supaya bisa keluar parkiran, karena biasanya palang pintu akan ditutup setelah jam terakhir perkuliahan selesai.
Entah akan melompati palang pintu itu, atau bagaimana, namun sepertinya motornyalah yang akan menaiki dirinya.
"Mereka benar, sepertinya mendekatimu akan mengantarkanku pada suatu masalah. Entah apa yang akan aku lakukan setelah ini," gumam Janu dalam batin dengan wajah ditenang-tenangkan.
Ketika Smith turun dari ojek yang mengantarnya pulang, ada sebuah mobil mewah yang juga berhenti di depan gerbang rumahnya.Smith sangat mengenal mobil itu. Maka, ia yang baru saja merogoh saku bajunya untuk membayar jasa tukang ojek, dengan terburu-buru kembali mengambil helm yang diletakkan di atas kaca spion. Smith memakai helm itu lagi sembari duduk di belakang tukang ojek yang masih berada di atas motor bebek."Berhenti atau saya laporkan Anda ke polisi!" teriak seorang lelaki paruh baya yang baru keluar dari dalam mobil. Membuat tukang ojek yang telah menyalakan mesin motornya menjadi gugup dan menelan ludahnya.Lelaki itu tampak gagah dengan setelan jas bermerk berwarna hitam. Ia juga mengenakan sepatu hitam yang tersemir sempurna tanpa terlihat sedikitpun debu."Siapa Nona sebenarnya? Apa Nona ini pencuri, kriminal, pesakitan, atau apa?" tanya tukang ojek berbisik-bisik sambil sedikit menoleh ke belakang. Ke
Smith kecil tidak tahu harus berbuat apa. Ia jelas tidak tega melihat ibunya diperlakukan dengan begitu buruk. Tapi, ia juga takut pada ayahnya.Smith belum pernah melihat Hendry demikian menyeramkan. Selama ini, perlakuan kasar Hendry terjadi di belakang Smith. Ketika di hadapan putrinya, Hendry selalu berusaha menahan amarahnya. Ia bersikap manis kepada sang istri.Kalaupun Hendry dan Lisa berselisih di depan putrinya, Hendry tidak sampai main tangan. Selain itu, salah satu di antara mereka biasanya akan mengambil jeda dan meminta Smith untuk lekas masuk ke dalam kamarnya.Dan dari sekian banyak kesalahan yang diperbuat Hendry, hal yang membuat Smith merasa mustahil untuk bisa memaafkan sang ayah adalah karena pengkhianatan yang dilakukan pada keluarga.Saat itu Smith menemani ibunya untuk check up ke dokter. Sang ibu yang mengidap hipertensi sudah merasa tidak
Smith-lah orang pertama yang menemukan Lisa pingsan tidak berdaya.Ketika itu Smith baru saja pulang sekolah. Seperti biasa, ia akan duduk sebentar di ruang tamu, menunggu jus segar buatan pembantunya. Ia merebahkan sejenak tubuhnya ke sofa sambil menutup mata.Smith berusaha untuk menenangkan diri dan menanggalkan segala pikiran yang mengganggunya selama di sekolah. Tentu saja soal ayahnya yang tempo hari terlihat berbahagia bersama perempuan lain di taman kota.Smith tidak mau ibunya sampai curiga pada sikapnya lagi. Ia akan berusaha untuk bersikap ceria dan energik sebagaimana biasanya, melupakan pemandangan buruk yang dipertontonkan sang ayah di tempat umum, yang mencolok kedua matanya dan menyakiti perasaannya."Bi Ipah, bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Smith sambil melepas sepatunya."Alhamdulillah Non, sepertinya Nyonya sudah lebih baik lagi. Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Bi
Sudah tiga hari Smith dan ibunya berada di rumah. Tapi Hendry tidak juga datang atau sekadar menelpon.Walau Smith tidak pernah lagi menghubungi ayahnya, tapi ia selalu bersemangat melihat ponselnya jika berdering ada panggilan masuk, ataupun berbunyi ketika sebuah pesan diterima. Dan Smith selalu kecewa karena yang ia harapkan tidak juga memberi atau menanya kabar."Sas, ibu ingin buang air kecil," ujar Lisa lirih. Tapi mengagetkan Smith yang melamun memikirkan ayahnya."Iya, Bu."Smith selalu memasang senyum semanis-manisnya. Ia akan sangat sabar dan telaten merawat sang ibu.Bagi Smith, bersama ibunya adalah kebahagiaan tidak ternilai. Mau seperti apapun lelahnya mengurusi segala keperluan dan kebutuhan sang ibu, Smith tidak pernah mengeluh atau sekadar menunjukkan wajah capai.Tapi Lisa, tentu saja ia merasa kasihan pada putrinya. Smith tidak pernah tidur nyenyak di malam hari k
"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya."Sebentar, Bi."Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum."Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu."Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya."Segera makan ya,
Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak."Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak p
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j