Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.
Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak.
"Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."
Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.
Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.
Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.
Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak pernah membentak, berteriak, apalagi sampai memaki ayahnya. Meski sebenarnya Smith sangat ingin melakukan itu.
Smith selalu menahan diri. Ia berusaha untuk melaksanakan pesan terakhir ibunya agar tidak berkata buruk pada ayahnya walau apapun yang terjadi. Hal itu pula yang kemudian membuat Smith berusaha menghindari Hendry. Sebab segala amarahnya selalu ingin keluar begitu ada sang ayah di sekitarnya.
"Jika sudah tidak ada hal penting yang ayah lakukan di sini, pulanglah," ucap Smith lirih saja.
"Tapi ayah sudah pulang, nak. Kau meminta ayah pulang kemana lagi?" tanya Hendry dengan dada sesak. Sebagai seorang pengusaha sukses, ia tidak mengerti cara untuk membuat putrinya berhenti bersikap dingin padanya.
"Pergilah ke rumah istri ayah. Setidaknya ada dua orang yang menunggu kedatangan ayah di sana. Kalau di sini, tidak ada siapapun yang mengharapkan kehadiran ayah di sini."
Smith berbicara tanpa melihat ke arah Hendry. Lalu kembali menggerakkan kakinya menaiki tangga.
"Sas, kau tidak mengerti. Ayah sangat..."
"Tidak, ayah!" ujar Smith yang membalikkan badan dan tersenyum kecut. Ia memandang wajah ayahnya lekat-lekat dengan bola mata berkaca-kaca.
"Aku mengerti segalanya. Sangat mengerti. Aku tahu bagaimana cemasnya menunggu kedatangan seorang ayah. Aku tahu bagaimana kecewanya seorang anak karena ayahnya tidak kunjung pulang. Jadi, pulanglah, ayah. Aku tidak ingin mereka merasakan apa yang ibu dan aku rasakan. Itu sangat sakit."
Smith berhasil membuat Hendry menelan ludah kegetiran akibat perbuatannya dulu. Gadis itu lantas berjalan cepat menuju kamarnya sambil mengelap kasar pipinya yang basah. Meninggalkan Hendry yang kembali terduduk lesu di sofa ruang tamu.
***
Janu belum bisa memejamkan matanya. Ia tidak bisa lupa pada senyum manis Smith yang ia lihat di dekat pos satpam fakultas waktu itu. Lantas pikirannya kembali pada semua ekspresi menakutkan yang kerap dipasang Smith pada wajahnya. Keduanya sungguh berlainan dan berhasil membuat kepala Janu menjadi pening memikirkannya.
Meski gadis Singa Jantan itu cukup tenar di jurusannya, tidak ada satu pun orang yang benar-benar mengenal Smith dengan baik. Bagaimana karakter asli gadis itu, mengapa ia selalu terlihat curiga dan bahkan marah kepada semua orang, dan sebagainya. Tapi di sisi lain, gadis itu juga kelewat baik pada Pak Hadi yang menjadi satpam fakultas.
"Wajahnya juga selalu terlihat penuh beban. Tidak, aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku bisa gila jika hanya menebak-nebak hal yang tidak aku ketahui sama sekali. Jika memang dia sedang dalam masalah, aku harus membantunya," kata Janu pada dirinya sendiri.
Pikir Janu, mungkin akan cukup membantu jika Smith memiliki seorang sahabat. Sehingga Smith bisa menceritakan apa yang selama ini dirasakan dan dialami. Setidak-tidaknya itu akan sedikit mengurangi beban yang dirasakan.
Tapi masalahnya, di kampus, bahkan mungkin juga di tempat lainnya, Smith tidak dekat dengan siapapun. Sepertinya gadis itu tidak memiliki teman yang akrab dengannya. Ia bahkan seperti menutup dirinya dari orang lain.
"Baiklah, kalau begitu, aku akan mencoba untuk menjadi temanmu Nona Smith."
Janu tersenyum dan berusaha menutup kedua matanya. Ia berharap akan melihat senyum manis Smith lagi besok.
Lelaki tersebut sama sekali tidak takut pada ancaman Smith di jalan kecil itu. Dalam batinnya ia tertawa kecil menebak-nebak memangnya masalah apa yang akan Smith ciptakan untuknya.
Janu tidak peduli. Yang pemuda itu yakini sekarang, Smith tidak seburuk apa yang dikatakan orang-orang di kampus. Sebaliknya, ada sisi lain Smith yang tidak diketahui oleh orang-orang. Sisi yang memang sengaja tidak ditunjukkan kepada mereka, dengan alasan entah.
Tapi sikap Smith yang tidak ingin terlihat baik di hadapan orang lain itu, justru membuat Janu menjadi begitu tertarik pada gadis itu.
***
Seperti biasa, Smith duduk sendiri di beranda lantai dua gedung jurusannya. Di tangan kirinya ada buku tulis polos ukuran A5, dan di tangan lainnya tergenggam sebuah pena biru.
Smith terlihat menulis sesuatu. Ia fokus pada bukunya, sambil sesekali melihat ke arah bawah, mengamati orang-orang yang sibuk dengan segala urusan mereka.
***Wajahnya selalu membawa teduh.
Matanya tidak pernah lelah menyinariku.
Rambutku terasa lembut saat dia mengelusnya.
Senyumku tidak pernah pudar karenanya.
Lalu apa yang bisa aku lakukan tanpanya?
Aku terlalu lemah dan cengeng untuk menatap dunia.
Mengapa Tuhan membiarkan tangan kecilku mencari jalan keluar sendiri?
Mengapa Tuhan tidak membiarkan dia terus menggenggam tanganku?
Aku sungguh merindukannya Tuhan.***
Smith mengakhiri tulisannya dengan menekankan ujung penanya ke kertas. Memunculkan tanda titik yang sangat tegas.
"Siapa dia? Apa dia kekasihmu?"
Suara yang tetiba terdengar itu jelas mengagetkan Smith yang sedang sangat kusut pikirannya.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini? Dan, dan sejak kapan kau berdiri di belakangku?" kata Smith langsung dengan nada tinggi sambil menutup rapat buku catatannya.
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b
Pukul 23.45, Hendry tiba di rumah. Ia membuka pintu menggunakan kunci cadangan dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan penghuni rumah.Bibi Ipah memang tidak pernah membiarkan kunci rumah menempel di pintu. Sengaja agar sang majikan bisa membuka kuncinya dari luar.Hendry mengendap perlahan, masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak ingin memunculkan suara-suara tertentu. Ia juga tidak menyalakan lampu yang telah dipadamkan.Tapi Smith tahu kalau ayahnya telah datang. Gadis itu selalu tahu. Sebab diam-diam, dalam batinnya, Smith juga mencemaskan sang ayah sebagaimana yang dirasakan Sisil.Smith tersenyum dan kembali memejamkan mata. Sebelumnya ia tengkurap, terlentang, miring ke kanan dan ke kiri, juga mempraktikkan posisi seperti orang tengah sujud, lantaran kantuk tidak juga mendatanginya.Apapun posisi tidurnya, yang terpenting memang ketenangan bati
Setelah kematian ibunya, Smith mulai belajar bisnis. Seorang manajer kepercayaan Lisa-lah yang dengan telaten mengajari Smith remaja tentang bisnis butik.Manajer dengan nama panggilan Sheira itu merupakan sahabat baik Lisa. Ia mengetahui semua hal buruk yang dialami Lisa dan Smith karena ulah Hendry. Itu sebabnya, Sheira selalu ada kapanpun Smith membutuhkannya.Hingga kini Sheira masih setia mendampingi Smith dalam mengelola butik peninggalan Lisa. Sebetulnya bisa saja ia berhenti menjadi manajer dan membuka butik sendiri. Sheira memiliki lebih dari cukup uang untuk itu. Tapi Sheira tidak melakukannya.Sheira sudah berjanji pada almarhum sahabatnya, akan menjaga Smith dengan sebaik-baiknya. Ia selalu ada untuk Smith.Tapi Smith memang terlalu dewasa. Gadis itu tidak pernah sedikitpun merasa perlu untuk merepotkan Sheira. Ia selalu melakukan semuanya sendiri, kecuali soal butik yang mema
Suasana sore di butik terasa sangat panas. Bahkan pendingin ruangan seperti tidak berfungsi.Ketegangan melingkupi batin para karyawan ataupun pengunjung butik. Melihat Smith bersitegang dengan ibu sambungnya.Para pengunjung yang semula tidak begitu menghiraukan keributan kecil di sana, kini mulai mengabaikan pakaian yang menyita perhatian mereka, dan turut menyimak apa yang terjadi.Ketika itu, Sheira, sang manajer butik memang sedang tidak bekerja. Ia mengambil cuti karena ibunya sedang sakit.Itu sebabnya, Smith harus mengurusi sendiri masalah ibu sambungnya yang menyebalkan itu. Biasanya Smith tidak akan keluar ruangan jika Sinta, Sisil, atau ayahnya datang berkunjung. Ia juga meminta Sheira dan para karyawan agar tidak mengatakan keberadaannya."Smith, kau tidak boleh pergi jika ibumu sedang bica
Smith masih bisa tersenyum pada seluruh karyawan ketika berjalan masuk ke dalam ruangannya. Orang-orang di dalam butik pun tersenyum lebar, turut senang karena Smith telah memberikan pelajaran telak pada ibu sambungnya yang terlihat sangat kejam itu.Tapi Smith tetaplah gadis biasa, yang memerlukan dekapan dari orang tersayang untuk membantu membuat batinnya tenang kembali.Smith terlihat sangat tegar dan kuat untuk segalanya di hadapan semua orang. Namun, setelah ia masuk ke dalam ruangannya dan pintu telah terkunci, gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya.Smith merebahkan tubuhnya yang bergetar di atas sofa. Ia meringkuk sambil memeluk erat sebuah bantal berbentuk bunga.Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Lekas-lekas diikuti rembesan air hangat dari kedua matanya. Smith menangis tanpa bersuara. Ia tidak menger
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j