Smith masih bisa tersenyum pada seluruh karyawan ketika berjalan masuk ke dalam ruangannya. Orang-orang di dalam butik pun tersenyum lebar, turut senang karena Smith telah memberikan pelajaran telak pada ibu sambungnya yang terlihat sangat kejam itu.
Tapi Smith tetaplah gadis biasa, yang memerlukan dekapan dari orang tersayang untuk membantu membuat batinnya tenang kembali.
Smith terlihat sangat tegar dan kuat untuk segalanya di hadapan semua orang. Namun, setelah ia masuk ke dalam ruangannya dan pintu telah terkunci, gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya.
Smith merebahkan tubuhnya yang bergetar di atas sofa. Ia meringkuk sambil memeluk erat sebuah bantal berbentuk bunga.
Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Lekas-lekas diikuti rembesan air hangat dari kedua matanya. Smith menangis tanpa bersuara. Ia tidak menger
Pak Jono menelan ludah. Lidahnya seperti kaku hingga sulit untuk dipakai berbicara."Haaah, apa ini acara yang diadakan Lisa? Untuk apa dia mengadakan acara di rumah saat sedang sakit begitu? Melihat rumah ini, benar-benar membuatku semakin lelah," ujar Hendry yang terus mengoceh karena dongkol. Ia yang sudah sangat letih mengurus perusahaan, masih harus repot dengan masalah rumah tangga yang menurutnya sangat konyol."Tuan, apa Tuan belum tahu apa yang terjadi?" tanya Pak Jono kemudian dengan suara ragu-ragu. Wajah lelaki itu sampai pucat menahan takut."Katakan, apa yang terjadi? Mengapa keluargaku menjadi semakin aneh? Aku tidak habis pikir atas tingkah istri dan anakku. Belum juga seminggu aku tidak pulang, semuanya menjadi sangat berbeda. Bagaimana jika aku pergi selamanya? Aku benar-benar bisa gila," tukas Hendry sembari mengusap dahinya."Tuan, jangan bicara begitu. Kasihan Nona Smith jika Tua
Smith baru keluar dari dalam ruangannya setelah melihat merah di hidung dan matanya telah menghilang. Ia juga berdeham beberapa kali untuk menghilangkan serak dari tenggorokan."Siapa yang datang?" tanya Smith tanpa melihat wajah orang yang ia ajak bicara, khawatir kalau-kalau masih tersisa kesedihan di wajahnya."Tidak tahu, Nona. Dia belum pernah kemari sebelumnya. Saya pikir, dia datang secara khusus untuk mengunjungi Nona," ujar salah seorang karyawan sambil tersenyum-senyum. Smith juga melihat para karyawan lainnya memandang dirinya dengan senyum yang tidak biasa.Hal itu membuat Smith bertanya-tanya, mengapa seorang tamu sampai membuat karyawannya menjadi demikian? Aneh!Ini bukan kali pertama ia mendapat tamu. Orang-orang sering datang menemuinya untuk memesan baju dengan desain khusus. Smith memiliki dua perancang busana yang andal di butiknya, yang bisa memuaskan para pelanggan dengan desain yang dibuat.
Sinta membanting tas mahalnya di sofa. Diikuti tubuhnya yang membuat sofa empuk premium itu bergoyang-goyang.Wajahnya yang kesal membuat Hendry bertanya pada putrinya tentang apa yang terjadi menggunakan bahasa isyarat. Dan Sisil hanya menggeleng karena memang tidak tahu apa yang dialami mamanya di luar sana, hingga pulang dengan wajah masam."Ada apa mama? Bukankah mama tadi keluar untuk berbelanja? Biasanya mama selalu senang setelah pulang dari belanja," tegur Sisil."Haaah, semua ini gara-gara Smith. Aku tidak mendapatkan baju yang aku inginkan, malah dipermalukan di depan orang-orang. Dia benar-benar sudah kelewatan," jawab Sinta masih dengar tubuh lemas menahan kesal."Smith? Kau dari butik Lisa? Mengapa tidak bilang? Aku bisa mengantarmu ke sana. Sudah lama aku tidak mengunjungi butik Lisa," tanya Hendry bersemangat."Haaah, setidaknya tanyakan dulu kenapa aku bisa kesal. Kau ini hanya memikirkan putrimu saja."Sinta mendengus. Ia semakin
Hendry diam. Ia tidak bertanya atau berkomentar. Lelaki itu merenungkan apa yang dikatakan Sinta. Hendry berpikir bahwa perkataan istrinya itu ada benarnya juga.Hendry sangat tahu bahwa hubungan Lisa dan Sheira begitu dekat. Mereka sudah seperti saudara kandung saja.Hendry selalu ingat bahwa Sheira adalah orang yang pertama kali melabrak dirinya ketika ketahuan menghianati Lisa. Di saat Lisa lebih memilih untuk diam dan menangis, Sheira datang ke kantornya dan memaki-maki Hendry di depan banyak orang. Bahkan juga menghadiahkan sebuah gamparan keras di pipi.Tapi sebenarnya Hendry juga tidak begitu yakin kalau Sheira memiliki perasaan padanya. Sebaliknya, selama ini Hendry justru merasa kalau perempuan dengan dua anak itu sangat membencinya jauh sebelum dirinya sukses. Jadi semua omongan Sinta, bisa jadi salah juga."Sisil, tolong ambilkan obat sakit kepala ayah. Tiba-tiba kepala ayah terasa pening sekali," u
Hendry memutuskan untuk menemui Sheira di rumahnya. Sebenarnya ia ragu untuk melakukan apa yang disarankan oleh istrinya. Tapi Hendry ingin mencoba segala cara agar putrinya bisa kembali manis seperti dulu lagi."Silakan."Sheira duduk di kursi kayu setelah meletakkan secangkir kopi pahit di atas meja, di depan Hendry tanpa menyuguhkan senyum."Terima kasih. Seharusnya kau tidak perlu repot seperti ini," kata Hendry memaksa untuk tersenyum.Hendry mengambil cangkir putih itu. Dan matanya terbelalak ketika ia mulai menyeruputnya.Hendry tidak pernah lupa dengan rasa itu. Kopi spesial buatan almarhum istrinya, Lisa. Kopi terbaik dengan takaran yang sangat pas sesuai seleranya.Dan ia juga selalu ingat betapa kasar sikapnya saat memaki Lisa hanya karena secangkir kopi. Padahal itu adalah kopi yang sempurna.Entah mengapa dulu Hendry selalu berusaha mencari-cari kesalahan istrinya itu. Batinnya baru akan puas setelah membentak, menca
Sheira baru bisa keluar rumah setelah ibu dan anak-anaknya tidur. Ia meminta asisten rumah tangganya untuk menjaga mereka selama ia pergi, dan lekas menelpon jika terjadi sesuatu.Sheira menyetir mobil merahnya keluar rumah masih dengan rasa kesal bercampur jijik pada Sinta. Ia bertekad untuk menuntaskan semuanya malam ini."Halo....""Eh, bangs*t, aku tunggu kau di kafe Hawla sekarang! Datang atau aku akan menghancurkan rumahnya!"Sinta yang sebelumnya mengangkat telpon sambil membuka-buka majalah fashion, kini mulai mengangkat pandangannya dan berpikir dengan dahi berkerut.Sinta sangat mengenal suara itu. Suara perempuan yang telah menampar suaminya. Perempuan paling kasar dengan cara bicara yang sangat buruk."Hei, si*lan! Apa kau mendengarku?" bentak Sheira dengan mulut terbuka lebar seperti hendak menelan ponselnya.Tut... Tut... Tut....Sambu
"Apa rencanamu sebenarnya? Apa kau ingin menguasai butik Lisa? Apa merebut Hendry darinya masih belum cukup? Kau memang kurang aj*r!" ujar Sheira yang menahan tangan Sinta yang hendak meminum kopi pesanannya.Sinta tersenyum lebar dan meletakkan cangkirnya. Ia bisa merasakan kemarahan Sheira yang sangat besar padanya melalui genggaman yang kuat."Aku akui, kau memang sangat cerdas. Tapi cerdas saja tidak cukup untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau harus sedikit licik hahaha," kata Sinta yang mendekatkan wajahnya ke wajah Sheira."Kau akan menerima akibat dari perbuatanmu. Lihat saja, cepat atau lambat, kau akan menerima karma dari kejahatanmu. Tuhan itu Maha Tahu."Sheira berbicara seperti ingin memakan Sinta. Tulang rahangnya terlihat lebih menonjol dengan gigi-gigi atas dan bawah yang merapat saat berucap."Ayolah, Sheira. Aku sudah terlahir licik. Dan tidak ada karma sampai hari ini.
Smith berada di bangku belakang bersama Hendry. Ia mengusap dahi sang ayah yang berada dalam pangkuannya dengan tangan bergetar. Darah dari pelipis Hendry yang bocor menempel pada pakaian Smith.Sementara itu, Pak Jono menyetir mobil dengan perasaan was-was. Bibi Ipah yang juga duduk di bangku depan, berulangkali menoleh ke belakang melihat keadaan sang majikan yang masih pingsan. Dalam batinnya Bi Ipah tidak berhenti berdoa untuk keselamatan Hendry.Ring... Ring....Ponsel berdering. Smith sedikit terjingkat karena kaget. Ponsel di kantong celananya bergetar dan berbunyi karena ada panggilan masuk.Tapi Smith tidak menjawab. Ia bahkan tidak mengeluarkan ponsel itu dan berlagak seolah tidak mendengar apa-apa."Non, ada telepon," kata Bibi Ipah mengingatkan."O, iya. Biarlah Bi. Aku tidak ingin menerima telepon dari siapapun.""Mengapa, Non? Coba Non angkat saja, bar
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j