Smith berada di bangku belakang bersama Hendry. Ia mengusap dahi sang ayah yang berada dalam pangkuannya dengan tangan bergetar. Darah dari pelipis Hendry yang bocor menempel pada pakaian Smith.
Sementara itu, Pak Jono menyetir mobil dengan perasaan was-was. Bibi Ipah yang juga duduk di bangku depan, berulangkali menoleh ke belakang melihat keadaan sang majikan yang masih pingsan. Dalam batinnya Bi Ipah tidak berhenti berdoa untuk keselamatan Hendry.
Ring... Ring....
Ponsel berdering. Smith sedikit terjingkat karena kaget. Ponsel di kantong celananya bergetar dan berbunyi karena ada panggilan masuk.
Tapi Smith tidak menjawab. Ia bahkan tidak mengeluarkan ponsel itu dan berlagak seolah tidak mendengar apa-apa.
"Non, ada telepon," kata Bibi Ipah mengingatkan.
"O, iya. Biarlah Bi. Aku tidak ingin menerima telepon dari siapapun."
"Mengapa, Non? Coba Non angkat saja, bar
"Ma, hati-hati. Mama harus tenang. Ayah pasti baik-baik saja. Jangan sampai karena kekhawatiran Mama yang berlebihan, membuat kita jadi kecelakaan," ujar Sisil yang sampai memegang jok mobil karena mamanya mengemudikan mobil dengan sangat kencang."Bagaimana Mama bisa tenang? Pasti terjadi sesuatu pada ayahmu hingga sopir Smith keluar rumah dengan terburu-buru. Kita harus sampai di rumah anj*ng penjaga itu secepatnya untuk mencari kepastian tentang apa yang sebenarnya terjadi."Sinta menginjak gas dan rem bergantian, berulang-ulang. Membuat kepala putrinya mangguk-mangguk tanpa arti. Untung saja sabuk pengaman mobilnya berfungsi dengan baik. Jika tidak, mungkin kerasnya guncangan akan membuat sabuk itu terlepas sendiri.Sisil yang tidak dihiraukan peringatannya oleh Sinta, pada akhirnya hanya bisa pasrah dengan batin yang terus memanjatkan doa memohon keselamatan.Gadis itu baru bisa bernapas lega setelah tiba di de
"Bagaimana? Dimana ayahmu?" sambar Sinta saat Sisil tercekat usai panggilannya pada ponsel sang ayah diangkat oleh Smith."Sisil! Jawab! Mengapa kau diam saja? Apa yang dikatakan ayahmu?" bentak Sinta yang langsung berdiri mendekati anaknya.Sisil masih belum menjawab. Tapi air keluar dengan sendirinya dari kedua bola matanya. Sontak membuat Sinta merasa semakin cemas."Sisil!" bentak Sinta lagi. Kali ini sambil mengguncang-guncangkan tubuh putrinya."Ayah...." ujar Sisil sangat lirih sembari terduduk di atas sofa."Ayahmu kenapa?""Ayah ada di rumah sakit, ma. Kita harus pergi ke rumah sakit sekarang!"Sisil berdiri dengan tangan bergetar. Ia tampak seperti orang linglung, mondar-mandir kesana kemari, hatinya semakin tidak tenang lantaran terlalu khawatir pada kondisi ayahnya.Berita dari Smith itu sungguh membuat batinnya terguncang. Ingatan
Hendry telah siuman. Ia menderita sedikit cidera di bagian punggung, tepatnya tulang klafikula kanan yang sedikit retak karena benturan keras dengan anak tangga. Sehingga ia belum bisa banyak bergerak. Selain itu, bagian pelipisnya yang bocor dan telah dijahit tiga juga terasa nyeri.Dokter meminta Hendry untuk memperbanyak istirahat terlebih dahulu dan membatasi komunikasi dengan orang lain. Dokter menyarankan agar keluarga yang menjaga Hendry tidak lebih dari dua orang saja supaya tidak menganggu pasien."Smith...."Hendry memanggil putri kandungnya yang hendak keluar ruangan setelah dokter pergi dari kamar inap ayahnya.Sebenarnya Smith sangat ingin berada di sisi ayahnya, tapi di sana juga ada Sinta, Sisil, dan Sheira. Jika hanya ada dua orang yang boleh menjaga ayahnya, tentu harus ada yang keluar. Dan rasa sayangnya yang begitu besar pada sang ayah, yang membuat gadis itu tetap keluar tanpa menoleh pada Hendry."Lihatlah kelakuannya! Dia bahkan ti
Smith berdiri di depan pintu. Ia bisa melihat apa yang terjadi di dalam ruangan dari kaca pintu berbentuk persegi panjang yang ada di bagian atas pintu.Di dalam kamar tempat Hendry dirawat, ada seorang pemuda yang tidak asing baginya, yakni Janu Malik.Smith bisa merasakan suka cita yang melingkupi ruangan itu dengan melihat senyum di wajah Sisil dan Sinta. Juga ayahnya.Gadis singa jantan itu seperti sedang melihat sebuah keluarga lengkap yang begitu senang dengan kedatangan seorang menantu idaman.Ironis! Semestinya itu menjadi keluarga bahagia milik Smith. Seharusnya Smith ada di dalam ruangan bersama ayah dan ibunya. Bukan sebagai penonton seperti dulu ketika potret keluarga bahagia ia dapati di taman kota, juga seperti sekarang.Bukan, ini bukan karena Smith cemburu. Ia bahkan tidak memiliki perasaan spesial untuk Janu.Semua ini tentang keluarga impian Smith. Namun kenyataannya, semua kebahagiaan yang ada dalam angan
Smith tidak bisa berhenti mengumpat. Ia sungguh jijik pada dirinya sendiri atas apa yang ia lakukan di rumah sakit."Yang benar saja, buat apa aku memeluknya? Mengapa aku harus mengorbankan diri demi menyayat batin gadis sint*ng itu? Haaah, aku pasti sudah gila."Smith terus menggerutu sambil membaui badannya sendiri. Ia sudah mandi dengan menggunakan sabun lebih dari tiga kali. Smith juga telah menghabiskan satu botol parfum.Tapi gadis itu seolah masih bisa mencium bau badan Janu. Padahal Bibi Ipah sampai bersin berulangkali akibat wangi yang begitu menyengat dari tubuh Smith.Sudah barang tentu Smith tidak bisa menghilangkan bau badan Janu. Sebab bau itu melekat erat dalam pikirannya sendiri.Itu kali pertama Smith memeluk seorang lelaki, selain ayahnya. Dan Smith pun tidak mengerti pada jalan pikirannya sendiri.Smith bahkan selalu kesal pada Janu untuk semua hal yang ada pada diri pemuda itu. Tapi, tadi Smith malah memeluknya, di
Hendry memandang wajah putri kandungnya dengan khidmat. Ia tidak percaya jika putri kecilnya, kini sudah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik.Rasanya baru kemarin Smith berada di punggungnya, tertawa renyah saat berada dalam gendongannya.Waktu berjalan tanpa bisa dijeda. Dan segalanya terasa cepat karena ada banyak hal yang terlewat. Lebih tepatnya, ia lewatkan tanpa ada di sisi gadis itu.Hendry tersenyum. Melihat wajah Smith, sudah seperti melihat almarhum istrinya saat masih muda. Keduanya sungguh mirip. Hanya mata Smith yang berbeda. Mata itu sama persis dengan mata Hendry."Ayah senang kau ada di sini," ucap Hendry yang masih belum bisa bergerak bebas akibat cidera di punggungnya."Bagaimana kabarmu? Apa semua baik-baik saja? Maafkan ayah karena sudah merepotkanmu. Terima kasih sudah membawa ayah ke rumah sakit,. Jika tidak, ayah tidak tahu apa yang akan terjadi," kata Hendry lagi dengan senyum haru. Ia tahu, Smith masih sangat pedu
Sisil sungguh tidak tega melihat ayah sambungnya berwajah demikian sedih. Ia benar-benar mengerti betapa besar rasa sayang ayahnya pada Smith. Dan selama bertahun-tahun, Hendry sudah sangat menderita atas sikap Smith yang dingin dan tidak banyak bicara itu."Smith! Apa kau tidak mendengar ayahmu bicara? Ya ampun, aku bisa gila karena gadis keras kepala ini!" sambar Sinta lagi. Kali ini ia sampai berdiri dan berjalan mendekati Smith. Ia menatap tajam putri sambungnya itu.Smith berdiri dengan pandangan yang masih ke bawah. Ia selalu kesulitan untuk menatap mata ayahnya lantaran kebencian yang tidak terkira timbangannya. Membutuhkan kekuatan yang sangat besar untuk melakukan itu."Kau mau kemana, nak? Katakanlah sesuatu tentang keputusan ayah. Kau boleh menolaknya, memarahi ayah, bahkan kalau perlu pukul ayahmu ini.""Tidak, ayah. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Keputusan ayah selalu terjadi. Dan akan terus begitu. Sampai detik ini, bodyguard
"Smith, bagaimana ayahmu? Apa keadaannya sudah membaik?""Aku tidak percaya. Mengapa aku harus satu kelompok denganmu lagi? Menyebalkan sekali," ujar Smith yang duduk di jok belakang pada motor yang dikendarai Janu. Ia sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Janu.Janu yang mendengar dengan jelas ungkapan kekesalan Smith itu, tidak memberi tanggapan dan hanya tersenyum saja. Senyum yang sangat lebar.Ia juga tidak mengulangi pertanyaannya yang menguap tanpa jawab menyoal Hendry. Janu sangat yakin, Smith mendengarnya. Tapi gadis itu sepertinya memang tidak ingin membicarakan ayahnya.Ring... ring... ring..."Ponselmu berdering," kata Janu singkat, mengingatkan Smith lantaran tidak lekas mengangkat telepon karena masih sibuk menggerutu, meratapi nasibnya yang mesti satu kelompok lagi dengan Janu."Apa kau kira aku t*li? Diam dan fokus saja menyetir! Kau hampir menabrak pembatas tr