"Ma, hati-hati. Mama harus tenang. Ayah pasti baik-baik saja. Jangan sampai karena kekhawatiran Mama yang berlebihan, membuat kita jadi kecelakaan," ujar Sisil yang sampai memegang jok mobil karena mamanya mengemudikan mobil dengan sangat kencang.
"Bagaimana Mama bisa tenang? Pasti terjadi sesuatu pada ayahmu hingga sopir Smith keluar rumah dengan terburu-buru. Kita harus sampai di rumah anj*ng penjaga itu secepatnya untuk mencari kepastian tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Sinta menginjak gas dan rem bergantian, berulang-ulang. Membuat kepala putrinya mangguk-mangguk tanpa arti. Untung saja sabuk pengaman mobilnya berfungsi dengan baik. Jika tidak, mungkin kerasnya guncangan akan membuat sabuk itu terlepas sendiri.
Sisil yang tidak dihiraukan peringatannya oleh Sinta, pada akhirnya hanya bisa pasrah dengan batin yang terus memanjatkan doa memohon keselamatan.
Gadis itu baru bisa bernapas lega setelah tiba di de
"Bagaimana? Dimana ayahmu?" sambar Sinta saat Sisil tercekat usai panggilannya pada ponsel sang ayah diangkat oleh Smith."Sisil! Jawab! Mengapa kau diam saja? Apa yang dikatakan ayahmu?" bentak Sinta yang langsung berdiri mendekati anaknya.Sisil masih belum menjawab. Tapi air keluar dengan sendirinya dari kedua bola matanya. Sontak membuat Sinta merasa semakin cemas."Sisil!" bentak Sinta lagi. Kali ini sambil mengguncang-guncangkan tubuh putrinya."Ayah...." ujar Sisil sangat lirih sembari terduduk di atas sofa."Ayahmu kenapa?""Ayah ada di rumah sakit, ma. Kita harus pergi ke rumah sakit sekarang!"Sisil berdiri dengan tangan bergetar. Ia tampak seperti orang linglung, mondar-mandir kesana kemari, hatinya semakin tidak tenang lantaran terlalu khawatir pada kondisi ayahnya.Berita dari Smith itu sungguh membuat batinnya terguncang. Ingatan
Hendry telah siuman. Ia menderita sedikit cidera di bagian punggung, tepatnya tulang klafikula kanan yang sedikit retak karena benturan keras dengan anak tangga. Sehingga ia belum bisa banyak bergerak. Selain itu, bagian pelipisnya yang bocor dan telah dijahit tiga juga terasa nyeri.Dokter meminta Hendry untuk memperbanyak istirahat terlebih dahulu dan membatasi komunikasi dengan orang lain. Dokter menyarankan agar keluarga yang menjaga Hendry tidak lebih dari dua orang saja supaya tidak menganggu pasien."Smith...."Hendry memanggil putri kandungnya yang hendak keluar ruangan setelah dokter pergi dari kamar inap ayahnya.Sebenarnya Smith sangat ingin berada di sisi ayahnya, tapi di sana juga ada Sinta, Sisil, dan Sheira. Jika hanya ada dua orang yang boleh menjaga ayahnya, tentu harus ada yang keluar. Dan rasa sayangnya yang begitu besar pada sang ayah, yang membuat gadis itu tetap keluar tanpa menoleh pada Hendry."Lihatlah kelakuannya! Dia bahkan ti
Smith berdiri di depan pintu. Ia bisa melihat apa yang terjadi di dalam ruangan dari kaca pintu berbentuk persegi panjang yang ada di bagian atas pintu.Di dalam kamar tempat Hendry dirawat, ada seorang pemuda yang tidak asing baginya, yakni Janu Malik.Smith bisa merasakan suka cita yang melingkupi ruangan itu dengan melihat senyum di wajah Sisil dan Sinta. Juga ayahnya.Gadis singa jantan itu seperti sedang melihat sebuah keluarga lengkap yang begitu senang dengan kedatangan seorang menantu idaman.Ironis! Semestinya itu menjadi keluarga bahagia milik Smith. Seharusnya Smith ada di dalam ruangan bersama ayah dan ibunya. Bukan sebagai penonton seperti dulu ketika potret keluarga bahagia ia dapati di taman kota, juga seperti sekarang.Bukan, ini bukan karena Smith cemburu. Ia bahkan tidak memiliki perasaan spesial untuk Janu.Semua ini tentang keluarga impian Smith. Namun kenyataannya, semua kebahagiaan yang ada dalam angan
Smith tidak bisa berhenti mengumpat. Ia sungguh jijik pada dirinya sendiri atas apa yang ia lakukan di rumah sakit."Yang benar saja, buat apa aku memeluknya? Mengapa aku harus mengorbankan diri demi menyayat batin gadis sint*ng itu? Haaah, aku pasti sudah gila."Smith terus menggerutu sambil membaui badannya sendiri. Ia sudah mandi dengan menggunakan sabun lebih dari tiga kali. Smith juga telah menghabiskan satu botol parfum.Tapi gadis itu seolah masih bisa mencium bau badan Janu. Padahal Bibi Ipah sampai bersin berulangkali akibat wangi yang begitu menyengat dari tubuh Smith.Sudah barang tentu Smith tidak bisa menghilangkan bau badan Janu. Sebab bau itu melekat erat dalam pikirannya sendiri.Itu kali pertama Smith memeluk seorang lelaki, selain ayahnya. Dan Smith pun tidak mengerti pada jalan pikirannya sendiri.Smith bahkan selalu kesal pada Janu untuk semua hal yang ada pada diri pemuda itu. Tapi, tadi Smith malah memeluknya, di
Hendry memandang wajah putri kandungnya dengan khidmat. Ia tidak percaya jika putri kecilnya, kini sudah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik.Rasanya baru kemarin Smith berada di punggungnya, tertawa renyah saat berada dalam gendongannya.Waktu berjalan tanpa bisa dijeda. Dan segalanya terasa cepat karena ada banyak hal yang terlewat. Lebih tepatnya, ia lewatkan tanpa ada di sisi gadis itu.Hendry tersenyum. Melihat wajah Smith, sudah seperti melihat almarhum istrinya saat masih muda. Keduanya sungguh mirip. Hanya mata Smith yang berbeda. Mata itu sama persis dengan mata Hendry."Ayah senang kau ada di sini," ucap Hendry yang masih belum bisa bergerak bebas akibat cidera di punggungnya."Bagaimana kabarmu? Apa semua baik-baik saja? Maafkan ayah karena sudah merepotkanmu. Terima kasih sudah membawa ayah ke rumah sakit,. Jika tidak, ayah tidak tahu apa yang akan terjadi," kata Hendry lagi dengan senyum haru. Ia tahu, Smith masih sangat pedu
Sisil sungguh tidak tega melihat ayah sambungnya berwajah demikian sedih. Ia benar-benar mengerti betapa besar rasa sayang ayahnya pada Smith. Dan selama bertahun-tahun, Hendry sudah sangat menderita atas sikap Smith yang dingin dan tidak banyak bicara itu."Smith! Apa kau tidak mendengar ayahmu bicara? Ya ampun, aku bisa gila karena gadis keras kepala ini!" sambar Sinta lagi. Kali ini ia sampai berdiri dan berjalan mendekati Smith. Ia menatap tajam putri sambungnya itu.Smith berdiri dengan pandangan yang masih ke bawah. Ia selalu kesulitan untuk menatap mata ayahnya lantaran kebencian yang tidak terkira timbangannya. Membutuhkan kekuatan yang sangat besar untuk melakukan itu."Kau mau kemana, nak? Katakanlah sesuatu tentang keputusan ayah. Kau boleh menolaknya, memarahi ayah, bahkan kalau perlu pukul ayahmu ini.""Tidak, ayah. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Keputusan ayah selalu terjadi. Dan akan terus begitu. Sampai detik ini, bodyguard
"Smith, bagaimana ayahmu? Apa keadaannya sudah membaik?""Aku tidak percaya. Mengapa aku harus satu kelompok denganmu lagi? Menyebalkan sekali," ujar Smith yang duduk di jok belakang pada motor yang dikendarai Janu. Ia sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Janu.Janu yang mendengar dengan jelas ungkapan kekesalan Smith itu, tidak memberi tanggapan dan hanya tersenyum saja. Senyum yang sangat lebar.Ia juga tidak mengulangi pertanyaannya yang menguap tanpa jawab menyoal Hendry. Janu sangat yakin, Smith mendengarnya. Tapi gadis itu sepertinya memang tidak ingin membicarakan ayahnya.Ring... ring... ring..."Ponselmu berdering," kata Janu singkat, mengingatkan Smith lantaran tidak lekas mengangkat telepon karena masih sibuk menggerutu, meratapi nasibnya yang mesti satu kelompok lagi dengan Janu."Apa kau kira aku t*li? Diam dan fokus saja menyetir! Kau hampir menabrak pembatas tr
Smith memasuki kamar Janu. Ia terkesan dengan kerapiannya. Semua barang tertata dengan apik hingga ruang yang luasnya hanya 3x4 meter persegi itu bisa menampung banyak barang dan tetap terlihat longgar. Tidak berjubel-jubel layaknya penumpang kereta api kelas ekonomi menjelang Lebaran.Kamar kecil Janu juga dilengkapi dengan rak kayu mini yang menempel di dinding. Rak itu dipenuhi buku-buku karya sastra. Ada novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, juga beberapa naskah drama.Namun dari sekian banyak benda di kamar Janu, mata Smith tertarik pada sebuah pigura kecil yang ada di atas meja dekat tempat tidur.Smith berjalan menghampiri pigura itu. Lantas duduk di atas ranjang, dan mengambil sebuah potret keluarga kecil. Ada ayah, ibu, dan seorang anak lelaki yang usianya mungkin sekitar tiga tahun.Smith mengamati wajah anak kecil itu. Meski foto itu sudah agak buram, Smith bisa melihat ada kemiripan ant
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j