Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 malam ketika Arandita memutuskan untuk naik ke kamar karena ternyata sang suami belum datang juga. Ada apa ini? Kenapa Arandita gelisah tidak menentu memikirkan Bastian belum pulang padahal malam baru saja tiba."Non! Den Bastian belum pulang?" tanya Bik Lin tatkala Arandita menaiki tangga sambil memainkan ponsel di tangan dengan tidak bergairah."Belum Bik," sahutnya sambil menggeleng lemah."Kenapa tidak ditelpon? Lebih baik Non Aran makan malam duluan saja.""Tidak aktif Bik, sudahlah perkara makan tergantung nanti. Siapa tahu sebentar lagi Mas Bastian pulang.""Terserah Nona, tapi kalau Den Bastian belum pulang juga saya sarankan agar Nona Arandita makan malam siapa tahu Den Bastian malah sudah makan di luar.""Baik Bik, sudah ya sekarang Arandita ke kamar dulu."Bik Lin hanya menjawab perkataan Arandita dengan anggukan."Galau nih, baru sayang-sayangan eh ditinggal tanpa kabar." Agresia yang berpapasan di tangga langsung menyindir Arandita lalu t
"Mas airnya sudah siap," lapor Arandita dengan senyuman manis."Ah iya, makasih Sayang," sahut Bastian yang langsung tersadar dari lamunannya. Entah berapa lama ia berdiri hingga Arandita sudah kembali berada di sampingnya dan sudah menyiapkan pakaian ganti di atas ranjang."Silahkan Mas, aku keluar sebentar mau bikin sarapan." Arandita langsung bergegas pergi, melenggang santai seperti sebelumnya.Bastian langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Dia memakai pakaian rumahan ketimbang yang saya sudah disiapkan Arandita karena sepertinya masih ada waktu untuk bersantai sebentar di rumah.Lima belas menit kemudian Arandita masuk dengan sepiring nasi goreng di tangan."Sarapannya sudah siap, maaf hanya bisa masakin ini untuk hari ini karena waktunya mepet. Mas mau kan dengan nasi goreng?"Bastian menaruh ponsel, menatap Arandita lalu mengangguk dengan senyuman."Dimakan sampai habis ya Mas, tapi kalau tidak enak Mas Bastian bisa membuangnya dan makan masakan bibi aja.""Pasti
"Kamu mau kerja hari ini?" Bastian bertanya untuk menghilangkan ketegangan yang tercipta di hati."Kalau Mas Bastian bolehin sih iya.""Yasudah cepat mandi dan bersiap-siap! Hari ini aku antar kamu dan jangan pulang sebelum aku menjemput. Nanti kalau mau pulang lebih awal telepon aku saja ya!"Arandita mengangguk lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah bersiap-siap mereka langsung turun ke lantai bawah. Di ruang makan semua keluarga sudah berkumpul menikmati sarapan."Sarapan dulu Bas!" "Bas, hati-hati ya!""Iya, Nek.""Kami sudah kenyang Pa. Oh ya, Bastian ingin bicara penting, hanya berdua dengan Papa, tapi sepertinya tidak sekarang, mungkin nanti malam saja."Alis Pramoedya berkerut, tidak biasanya Bastian ingin bicara berdua saja dengannya, tetapi walaupun demikian pria itu tetap saja mengangguk."Yasudah kita pamit pergi."Semua orang mengangguk dan membiarkan Arandita serata Bastian berlalu pergi dari hadapan mereka semua. Kini Arandita dan Bastian sudah duduk berdampingan di dal
"Ketimbang siapa ya?"Arandita mengerutkan kening mendengar Bastian malah balik bertanya. Wanita itu mencoba menebak-nebak sendiri."Ketimbang menolak pas disuruh menjadi pengantin pengganti bagimu beberapa bulan yang lalu." Kembali Bastian menggaruk kepala sambil terkekeh, seperti orang bodoh saja."Oh, tak kirain siapa, yasudah deh Mas nggak usah digaruk terus tuh kepala kayak orang kutuan aja." Arandita cekikikan."Hahaha!" Bastian malah tertawa renyah dan Arandita menggelengkan kepala lalu menyiapkan air panas untuk Bastian."Sudah siap Mas." Arandita berjalan mendekat lalu duduk di samping sang suami yang juga sudah duduk di tepi ranjang."Oke, aku mandi dulu. Mau mandi bareng nggak?" godanya sambil mengerlingkan mata hingga membuat Arandita langsung bergidik ngeri."Dasar suami mesum!" Kembali Bastian terkekeh lalu menarik handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Sambil menunggu sang suami selesai Arandita menyiapkan pakaian untuk Bastian. Setelah menaruh di atas ranjang ia kelua
"Bagaimana aku tidak marah kalau melihat istriku hanya duduk berdua dengan adik iparnya sementara mereka punya masa lalu yang belum selesai?""Itu nggak seperti yang kamu pikirkan Mas, aku sama Bobby udah end, bukan bersambung lagi." Arandita semakin cemberut. Bagaimana mungkin Bastian menganggap kisahnya dengan Bastian belum usai. Ah, pria itu terlalu mengada-ada dan baperan."Aku mau tanya sama kamu, bagaimana kalau kamu melihat aku duduk berduaan dengan Friska dan kamu memergokinya. Apa kau tak akan marah?"Arandita memicingkan matanya. "Tergantung, kalau duduknya sopan sih nggak, tapi kalau sampai intim, ogah. Mending aku pergi saja dari hidup Mas Bastian kalau begitu."Bastian menelan ludah mendengar jawaban Arandita."Eh tapi ... bukannya Friska sudah tiada ya? Atau dia masih hidup seperti dugaan awalku?" Arandita menatap wajah Bastian tak berkedip. Sang suami langsung meraup wajah Arandita."Itu seandainya Aran," kilahnya dan Arandita hanya tersenyum tipis."Ya kali aja, siapa
"Baiklah, akan aku pertimbangkan." Arandita berdecak."Kok masih dipertimbangkan sih Mas? Bisa-bisa kamu berubah pikiran nanti."Bastian menatap wajah Arandita lekat sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, tapi ini semua demi kamu.""Terima kasih Mas, Aran semakin yakin kalau Mas Bastian orang baik. Aran tambah sayang deh sama Mas Bastian." Arandita mendekap Bastian dengan senyuman manis."Yasudah mandi sana, kecut." Bastian mengendus tubuh Arandita dan pura-pura meringis."Iya deh, oh iya sampai lupa, tehnya diminum Mas.""Siap, makasih Sayang."Arandita mengangguk kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke dalam kamar mandi. Bastian berpindah tempat ke sofa bed dengan membawa minumannya. Pria itu duduk lagi sambil menghembuskan nafas panjang. Menatap teh yang masih mengepulkan asap meskipun hampir tak terlihat yang kini ia letakkan di atas meja di hadapannya."Kau benar Aran, aku tidak mungkin membiarkan bisnis keluargaku hancur. Dulu mama susah payah membantu papa untuk mempertahankan
"Bas, aku sudah ingat segalanya." Friska menyambut Bastian di pintu kala pria itu membuka pintu apartemen Friska. Meski penampakan wajah Friska terlihat pucat, tetapi wanita itu memperlihatkan senyuman manis.Bastian menghembuskan napas panjang lalu menatap wajah Friska dengan tatapan tajam."Katanya kamu terjatuh di lantai kamar mandi, tapi kenapa baik-baik saja?" Bastian menatap tubuh Friska dari atas ke bawah yang tidak ada lecet sama sekali."Jadi kamu menginginkanku terluka begitu?" Friska tampak cemberut lalu masuk ke dalam dan duduk di atas sofa dengan kasar."Bukan begitu ...." Bastian mengekor dan duduk di samping Friska."Seharusnya kau tidak menelponku kalau keadaanmu tidak apa-apa. Apa kau tahu saat kamu menelponku aku sedang–"Bastian menggantung ucapan kala mengigat Arandita yang ia tinggalkan dalam keadaan tanggung."Ah dia pasti marah padaku, dia akan berpikir kalau aku hanya ingin mempermainkannya." Bastian memijit pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing."Sedang apa Ba
"Mungkin aku bergaul dengan orang-orang licik sepertimu. Kau lebih licik dariku, kau seperti musuh dalam selimut dalam kehidupan Bastian." "Hahaha! Kau salah Fris, kau mengatakan itu karena kamu belum tahu siapa aku." Pria di depan Friska kembali menyeringai."Salah? Aku tahu segalanya tentangmu ... argh!" Friska langsung mencengkram perutnya yang kram.Wajah Leo tampak pucat. "Kau kenapa?" Tangannya terulur menyentuh perut Friska."Sa–kit, arrgh! sakit sekali." Wajah Friska lebih pucat dari sebelumnya. Tanpa aba-aba Leo langsung menggendong tubuh Friska. Tak ada penolakan dari wanita itu dan Leo membawanya keluar dari apartemen. Setelah memasukkan tubuh Friska dalam mobil, segera Leo memeriksa perut wanita itu dan melepaskan sabuk stagen dengan marah."Kau menyiksa bayi dalam kandunganmu sendiri. Sudah kubilang jangan lakukan ini, tapi demi si Bastian brengs*k itu kau tetap melakukannya. Tahu kan sekarang, dia sama sekali tidak perduli padamu?! Ah cintamu terlalu buta.""Diam Le! I
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama