"Baiklah, akan aku pertimbangkan." Arandita berdecak."Kok masih dipertimbangkan sih Mas? Bisa-bisa kamu berubah pikiran nanti."Bastian menatap wajah Arandita lekat sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, tapi ini semua demi kamu.""Terima kasih Mas, Aran semakin yakin kalau Mas Bastian orang baik. Aran tambah sayang deh sama Mas Bastian." Arandita mendekap Bastian dengan senyuman manis."Yasudah mandi sana, kecut." Bastian mengendus tubuh Arandita dan pura-pura meringis."Iya deh, oh iya sampai lupa, tehnya diminum Mas.""Siap, makasih Sayang."Arandita mengangguk kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke dalam kamar mandi. Bastian berpindah tempat ke sofa bed dengan membawa minumannya. Pria itu duduk lagi sambil menghembuskan nafas panjang. Menatap teh yang masih mengepulkan asap meskipun hampir tak terlihat yang kini ia letakkan di atas meja di hadapannya."Kau benar Aran, aku tidak mungkin membiarkan bisnis keluargaku hancur. Dulu mama susah payah membantu papa untuk mempertahankan
"Bas, aku sudah ingat segalanya." Friska menyambut Bastian di pintu kala pria itu membuka pintu apartemen Friska. Meski penampakan wajah Friska terlihat pucat, tetapi wanita itu memperlihatkan senyuman manis.Bastian menghembuskan napas panjang lalu menatap wajah Friska dengan tatapan tajam."Katanya kamu terjatuh di lantai kamar mandi, tapi kenapa baik-baik saja?" Bastian menatap tubuh Friska dari atas ke bawah yang tidak ada lecet sama sekali."Jadi kamu menginginkanku terluka begitu?" Friska tampak cemberut lalu masuk ke dalam dan duduk di atas sofa dengan kasar."Bukan begitu ...." Bastian mengekor dan duduk di samping Friska."Seharusnya kau tidak menelponku kalau keadaanmu tidak apa-apa. Apa kau tahu saat kamu menelponku aku sedang–"Bastian menggantung ucapan kala mengigat Arandita yang ia tinggalkan dalam keadaan tanggung."Ah dia pasti marah padaku, dia akan berpikir kalau aku hanya ingin mempermainkannya." Bastian memijit pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing."Sedang apa Ba
"Mungkin aku bergaul dengan orang-orang licik sepertimu. Kau lebih licik dariku, kau seperti musuh dalam selimut dalam kehidupan Bastian." "Hahaha! Kau salah Fris, kau mengatakan itu karena kamu belum tahu siapa aku." Pria di depan Friska kembali menyeringai."Salah? Aku tahu segalanya tentangmu ... argh!" Friska langsung mencengkram perutnya yang kram.Wajah Leo tampak pucat. "Kau kenapa?" Tangannya terulur menyentuh perut Friska."Sa–kit, arrgh! sakit sekali." Wajah Friska lebih pucat dari sebelumnya. Tanpa aba-aba Leo langsung menggendong tubuh Friska. Tak ada penolakan dari wanita itu dan Leo membawanya keluar dari apartemen. Setelah memasukkan tubuh Friska dalam mobil, segera Leo memeriksa perut wanita itu dan melepaskan sabuk stagen dengan marah."Kau menyiksa bayi dalam kandunganmu sendiri. Sudah kubilang jangan lakukan ini, tapi demi si Bastian brengs*k itu kau tetap melakukannya. Tahu kan sekarang, dia sama sekali tidak perduli padamu?! Ah cintamu terlalu buta.""Diam Le! I
"Pekerjaan kantor bukan berarti harus dikerjakan di kantor," kilah Bastian dan Arandita langsung membuang nafas kasar. Ia tidak percaya bukan berarti harus memaksa Bastian untuk berkata jujur. Mulai sekarang Arandita mengambil keputusan untuk tidak ikut campur dengan urusan suaminya."Aku mau tidur, jangan ganggu aku!" Arandita bangkit dari duduknya lalu masuk ke ruang kerja. Di sana ia membaringkan tubuhmu di atas kasur dengan kasar.Bastian di ruang sebelah duduk gelisah, menutup wajah dengan kedua tangan lalu meraupnya kasar. Pria itu bangkit dan berjalan menuju tempat Arandita. Ia berbaring di samping sang istri."Aran, maafkan aku," ucapnya lagi dan tangannya terulur menyentuh pinggang Arandita serta menarik tubuh istrinya ke belakang. Arandita menyentuh tangan Bastian hingga membuat hati pria itu menghangat. Dia yakin Arandita pasti akan segera memaafkan dirinya."Hentikan menyentuhku lagi, beberapa bulan lagi akan sampai pada perjanjian kita. Biasakan diri untuk tidak menyentuh
Arandita mendesah kasar sebelum meletakkan kembali kertas di tangan. Ia memejamkan mata lalu menatap makanan yang telah dihidangkan oleh suaminya itu."Terima kasih Mas, tapi dengan begini bukan berarti aku bisa langsung memaafkanmu." Arandita menunduk kemudian mulai menyendok nasi goreng dan mengunyah. Wanita itu tersenyum mengecap makanan yang dibuatkan Bastian yang ternyata cocok di lidahnya."Tanganmu seperti koki saja Mas," gumam Arandita dengan senyuman tipis lalu melanjutkan makannya hingga tandas. Setelah selesai dia membawa peralatan makan yang kotor ke dapur.Di sana Bik Lin dan Bik Mina terlihat sedang sibuk. Arandita baru ingat ternyata hari ini akan ada kegiatan arisan teman-teman Agresia."Non Agres, ini bahan-bahannya masih kurang. untuk menu yang ini masih butuh banyak–"Agresia mengambil kertas dari tangan Bik Mina dan menatapnya sekilas."Aku akan keluar untuk membeli bahan-bahan yang kurang. Bibi tolong catat bahan apa yang dibutuhkan! Nanti aku bakal minta Bobby unt
"Bob putrimu–""Cih nggak usah ikut campur kamu, ini anakku bukan anak kamu." Agresia menatap wajah Arandita dengan geram. Kebenciannya semakin membuncah karena menganggap Arandita selalu ikut campur."Pergilah Gres dan tinggalkan Annin di sini!"Agresia terlonjak kaget mendengar keputusan Bobby. Dia pun langsung melayangkan protes."Enak aja kamu Bob, aku yang hamil dan melahirkan Annin bukan kamu, lagipula anak ini ada sebelum kita menikah. Jadi mau dituntut kemanapun hak asuh Annin akan tetap berada di tanganku.""Oke, bawalah dia pergi bersamamu, tapi jangan harap aku mengakuinya anak lagi, dan sudah dipastikan dia tidak akan mendapatkan apapun dariku. Pergilah!" Bobby berteriak. Agresia menelan ludah. Jika itu sampai terjadi, tidak ada harapan lagi untuk dirinya bisa kembali ke rumah ini padahal dia hanya ingin menggertak Bobby agar tidak lagi menyalahkan dirinya. Agresia berharap dengan membawa Annin pergi suatu saat Bobby akan menyesal dan mencari mereka berdua serta mengajakn
Bastian melirik ke arah Leo dan wanita yang kini juga tengah menatap ke arahnya dengan kedua alis terangkat ke atas."Leo kau bawa teman?" bisik wanita itu di telinga Leo sedangkan matanya terus saja memindai mobil yang dikendarai Bastian.Leo menoleh dan langsung mengernyitkan dahi. Ia merasa tidak datang bersama siapapun. Di menatap dengan teliti mobil tersebut barangkali Friska yang tengah menyusul dirinya."Gawat aku ketahuan." Bastian langsung menghidupkan mesin mobil. Dia yang melihat beberapa anak buah berseliweran di dalam pekarangan rumah tersebut mendadak merasakan ngeri, apalagi suasana rumah itu yang terlihat mencekam ditambah dirinya yang hanya seorang saja.Bastian langsung tancap gas menuju proyek pembangunan yang ingin ia kontrol. Beruntungnya Leo dan wanita itu tidak mengejar ataupun memerintah anak buah mereka untuk mengejar mobil Bastian."Syukur mereka tidak mengetahui tentang mobil ini. Mungkin mereka mengira hanya mobil yang kebetulan lewat dan berhenti sebentar.
Setelah selesai mereka langsung menuju hotel yang dipesan oleh Sania sebelumnya. Setelah memesan kamar, mereka masuk ke dalam kamar masing-masing. Di sana, di atas kasur empuk Bastian membaringkan tubuhnya yang kelelahan setelah menyetir hampir seharian. Ia ingin beristirahat sejenak dari hiruk pikuk kehidupan. Sayangnya Tenyata hanya tubuh yang bisa santai, tetapi pikirannya masih kacau balau."Papa!" Ia meraih ponsel dan segera menelpon Pramoedya. Rasa penasaran tentang Leo dan wanita yang bersamanya membuat rasa penasarannya semakin membuncah. Apakah benar mereka dendam karena masa lalu sang papa yang kelam? Tapi kenapa sela ini Leo pura-pura baik dan menjadi sahabat dekatnya?"Kalau kamu menelpon hanya untuk menanyakan tentang hal itu, maaf Papa tidak bisa menjawabnya karena pasti ada hati yang terluka."Selalu jawaban itu yang dilontarkan Pramoedya membuat Bastian harus berkali-kali menelan pil kekecewaan. Apa salahnya Pramoedya menjelaskan semuanya, toh Bastian adalah putranya s
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama