Arandita menghela nafas dalam-dalam, meskipun lirih tetapi gumaman Bastian masih dapat tertangkap oleh gendang telinganya."Sudah Mas." Arandita menjauhkan tubuhnya dari Bastian lalu menghembuskan nafas panjang. Berada dengan jarak begitu dekat dengan wajah Bastian membuatnya tidak bisa bernafas."Terima kasih.""Ya." Arandita berdiri dan meletakkan kotak obat pada tempatnya semula lalu berjalan ke arah lemari. "Aku ingin berganti pakaian lalu berangkat ke kafe," ujarnya lalu membawa pakaiannya menuju walk in closet agar tubuhnya tidak terlihat oleh Bastian."Temani aku makan dulu!" serunya."Siap Mas!" Arandita sedikit berteriak. Bibirnya mengulas senyum. Ucapan Bastian tadi tak ingin Arandita ambil hati, toh mendapatkan perhatian seperti tadi saja Arandita sudah sangat senang. Wanita itu menyentuh rambut bekas dimana tangan Bastian menyentuhnya tadi kemudian mencium."Sepertinya aku sudah gila." Ia terkekeh kecil lalu lekas-lekas berganti pakaian."Aku tunggu di ruang makan!" Basti
"Sudahlah, lebih baik kau diam saja dan menjadi penikmat saja dalam permainanku.""Cih." Wanita itu mendengus kesal sambil meringis menahan sakit."Sebenarnya apa sih mau mu?" Friska menatap tajam lelaki yang sedang membuka tudung kepalanya itu."Ingin menghancurkan keluarga Pramoedya, kau pikir apalagi?""Takkan kubiarkan Bastian hancur karena ulahmu!" Friska berkata dengan garang meskipun Wajahnya nampak pucat."Hahaha! Memang apa yang bisa kau lakukan? Memberitahukan perihal ini pada Bastian? Memang kau berani? Kalau ia silahkan! Akan ku pastikan kau mendekam dan melahirkan di penjara. Kau pikir aku tidak tahu dengan skandal pembunuhan itu?" Pria itu mendekat, mencengkram dagu Friska lalu menghempaskan secara kasar membuat sang empunya langsung mendesis menahan sakit."Kau benar-benar pria yang kejam, kau membuatku tak berdaya seperti ini dan kau malah mengambil keuntungan dariku. Ingin ku bunuh anak ini!" Wanita tersebut memegang perutnya lalu memukul-mukul dengan kasar."Hentikan
Bastian mengubah dari langkah cepat menjadi berlari hingga tak sengaja lututnya terbentur meja pengunjung."Mas!" teriak Arandita. Ia khawatir kalau Bastian tidak berhati-hati maka selanjutnya perut pria itu yang akan terbentur.Bastian tak mengindahkan teriakan, ia terus mengejar dan mengejar. Menambah kecepatan saat orang yang dikejarnya semakin kencang berlari."Hei jangan lari kamu!"Aksi kejar-kejaran terus terjadi. Arandita yang khawatir dengan keadaan suaminya pun ikut mengejar keduanya."Mana sih Mas Bastian?" Arandita celingukan mencari suaminya."Oh Tuhan lindung Mas Bastian, bagaimana pun keadaannya belum sehat betul."Kena kamu!" Bastian berhasil menarik belakang jaket pria tadi dan pria itu berusaha memberontak."Apa yang kau inginkan dari kami?"Pria itu menggeleng."Aku tahu beberapa hari ini kau menguntitku, apa yang sebenarnya kamu cari?"Sekali lagi pria itu tidak mengeluarkan suara bak orang bisu."Katakan!" bentak Bastian. Pria itu kaget saat Bastian mencoba membuka
"Bagaimana Raf?" Bastian bertanya setelah Rafi turun dari mobil dan melangkah ke arahnya."Sebagian dari anak buah kita sudah saya arahkan mengepung tempat ini, sebagian yang lain sudah berpencar dan mencari di tempat lain. Saya juga sudah meminta bantuan polisi untuk melacak keberadaan mereka.""Bagus." "Pak Bastian mau ikut saya naik mobil atau masih mau menggunakan itu motor?""Pakai motor ini saja biar enak masuk gang-gang kalau dia membawa Arandita ke wilayah yang sempit.""Oke ayo kita cari lagi!"Bastian mengangguk lalu kembali mengendarai motor nya dengan kencang diikuti mobil Rafi di belakangnya."Pak penjahatnya ada di wilayah sana!" seru Rafi sambil menutup panggilan telepon dari salah satu anak buahnya.Bastian menoleh dan mengangguk, sebelum mobil Rafi berputar arah lebih dulu Bastian menelusup di sebelah mobil Rafi dan berjalan di depan."Itu dia!""Itu dia!"Teriakan para anak buah melengking di udara, membuat suasana menjadi berisik. "Selamatkan istri saya dan tangkap
Di tempat lain, seorang pria dengan leher tergores pisau sedang memarahi pria dengan pakaian basah. Pria itu bersujud di kaki bosnya dan meminta maaf karena gagal membawa Arandita sesuai perintah."Tidak becus, bagaimana bisa kau menceburkan Arandita ke dalam sungai, kalau dia mati bagaimana?!" bentak pria yang sudah melepas tudung kepala dan juga kain penutup wajahnya itu."Maaf Tuan, saya pikir agar Arandita mati tenggelam, bukankah itu yang Tuan inginkan, memisahkan Arandita dan Bastian untuk selamanya?" Pria di ujung kaki itu bicara dengan gemetaran. Rasa takut ditambah dingin dari pakaian basahnya membuat suhu tubuh pria itu tidak seimbang.Pria yang sedang duduk di kursi sambil menyilangkan kaki itu langsung berdiri dan menendang anak buahnya."Bodoh! Bukan itu yang aku inginkan! Aku hanya ingin menyiksa Bastian dengan cara memisahkan mereka dan membuat Bastian tidak lagi menemukan keberadaan Arandita. Dia akan meratapi nasib karena semua wanita yang dekat dengan dia meninggalk
"Kenapa kau diam? Kau memandangku seperti menangkap basah seorang maling saja," gurau Leo lalu terkekeh melihat raut wajah Bastian tidak seperti biasanya. Begitu aneh di mata Leo."Kenapa dengan lehermu?" tanya Bastian dengan ekspresi dingin dan begitu serius."Tuh, kan? Kau seperti curiga akan sesuatu padaku. Kau macam detektif saja mending jadi cenayang sekalian, hahaha." Leo tertawa renyah membuat Bastian menatap pria itu dengan tatapan tajam."Ih serem, udah ah, aku balik saja." Leo Langsung membalikkan badan dan siap melangkah pergi, tetapi pergelangan tangannya segera dicekal oleh Bastian."Kau tidak boleh pergi sebelum menjelaskan!" tegas Bastian.Leo mengerutkan kening. "Maksudmu apa sih Bas? Luka ini? Apa terlalu penting bagimu?""Kau jawab saja, tak usah mengulur waktu!""Astaga nih orang, sensitif amat jadi manusia. Baiklah kalau kamu mau tahu akan saya jelaskan meskipun ini sebenarnya adalah privasi," ujar Leo panjang lebar."Cepat!""Astaga Bastian. Oke aku jelaskan, ini
"Aku tidak akan kemana-mana Mas, aku akan tetap di sisimu kecuali kamu sendiri yang menginginkan aku pergi."Sontak Bastian langsung memeluk tubuh Arandita. Pelukan erat seakan jika sedikit saja melonggarkan pelukannya maka Arandita akan lepas begitu saja. Hampir sepuluh menit mereka dalam posisi seperti itu, seakan tidak ada yang ingin saling melepaskan."Janji?" tanya Bastian masih dengan tubuh mereka yang menempel, tetapi agak renggang karena wajah Bastian menunduk untuk melihat ekspresi wajah Arandita yang kini juga mendongak menatap dirinya."Janji," ucap Arandita dengan senyuman sambil memperlihatkan jari telunjuknya dan Bastian langsung menautkan jarinya.Bastian kembali menarik tubuh Arandita dan keduanya kembali berpelukan dengan erat. Bastian mengusap rambut sang istri lalu mengecup puncak kepalanya. Arandita sendiri hanya diam, dia lebih fokus menghidu aroma parfum maskulin dari tubuh Bastian beserta merasakan kehangatan dada bidang yang menyalurkan rasa nyaman itu di tenga
Astaga, kalian di sini malah mesra-mesraan, nggak tahu aja aku sampai dikejar orang-orang karena pemilik sepeda motor meneriaki rampok," kesal Rafi. Ia yang sempat melihat Bastian dan Arandita berciuman panas di dalam ruangan menatap keduanya dengan kesal.Brak!Rafi membanting pintu lalu keluar, membuat Arandita terlonjak kaget."Mas dia marah," lirih Arandita, ia benar-benar tidak nyaman Rafi melihat sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan di kantor."Biarkan saja, nanti juga akan reda dengan sendirinya. Sekarang kamu ganti baju dan aku akan meminta pak sopir untuk menjemput. Kamu pulang ke rumah langsung ya, nggak boleh kemana-mana tanpa aku. Terus jangan ngomong sama Bobby juga. Paham?""Aih kok jadi protektif gini sih Mas, kenapa nggak kamu karungin aja aku kalau nggak mau dilihat orang lain?""Kalau mau ayo, aku karungin beneran," ujar Bastian lalu mengerlingkan mata."Tahu nggak Mas ... kalau begitu kamu kayak pria nakal tahu nggak sih?!""Nakal sama istri sendiri nggak ap
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama