"Aku tidak akan kemana-mana Mas, aku akan tetap di sisimu kecuali kamu sendiri yang menginginkan aku pergi."Sontak Bastian langsung memeluk tubuh Arandita. Pelukan erat seakan jika sedikit saja melonggarkan pelukannya maka Arandita akan lepas begitu saja. Hampir sepuluh menit mereka dalam posisi seperti itu, seakan tidak ada yang ingin saling melepaskan."Janji?" tanya Bastian masih dengan tubuh mereka yang menempel, tetapi agak renggang karena wajah Bastian menunduk untuk melihat ekspresi wajah Arandita yang kini juga mendongak menatap dirinya."Janji," ucap Arandita dengan senyuman sambil memperlihatkan jari telunjuknya dan Bastian langsung menautkan jarinya.Bastian kembali menarik tubuh Arandita dan keduanya kembali berpelukan dengan erat. Bastian mengusap rambut sang istri lalu mengecup puncak kepalanya. Arandita sendiri hanya diam, dia lebih fokus menghidu aroma parfum maskulin dari tubuh Bastian beserta merasakan kehangatan dada bidang yang menyalurkan rasa nyaman itu di tenga
Astaga, kalian di sini malah mesra-mesraan, nggak tahu aja aku sampai dikejar orang-orang karena pemilik sepeda motor meneriaki rampok," kesal Rafi. Ia yang sempat melihat Bastian dan Arandita berciuman panas di dalam ruangan menatap keduanya dengan kesal.Brak!Rafi membanting pintu lalu keluar, membuat Arandita terlonjak kaget."Mas dia marah," lirih Arandita, ia benar-benar tidak nyaman Rafi melihat sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan di kantor."Biarkan saja, nanti juga akan reda dengan sendirinya. Sekarang kamu ganti baju dan aku akan meminta pak sopir untuk menjemput. Kamu pulang ke rumah langsung ya, nggak boleh kemana-mana tanpa aku. Terus jangan ngomong sama Bobby juga. Paham?""Aih kok jadi protektif gini sih Mas, kenapa nggak kamu karungin aja aku kalau nggak mau dilihat orang lain?""Kalau mau ayo, aku karungin beneran," ujar Bastian lalu mengerlingkan mata."Tahu nggak Mas ... kalau begitu kamu kayak pria nakal tahu nggak sih?!""Nakal sama istri sendiri nggak ap
"Friska!"Wanita yang diserukan namanya langsung kaget melihat keberadaan Bastian yang juga ada di tempat itu."Le?"Pria yang dipanggil Friska itu langsung menarik tangan wanita itu dan membawa Friska kabur dari rumah sakit."Hei kalian tunggu!" Bastian mengejar keduanya yang menyusuri lorong-lorong rumah sakit."Leo! Friska! Tunggu!" Saat Berlari Bastian yang tidak fokus pada keadaan sekitar selain pada mereka berdua malah menabrak kursi roda depan yang didorong oleh seorang perawat. Untung saja kursi roda tersebut masih kosong."Hati-hati Mas!""Maaf suster," ujar Bastian sambil tersenyum canggung. Suster tersebut hanya mengangguk dan melanjutkan aktivitasnya, pun dengan Bastian yang kembali mengejar kedua orang tadi."Kemana sudah?!" Bastian berhenti sejenak, ia kehilangan jejak Frska dan Leo. Ada 3 cabang lorong yang harus ia pilih sekarang juga sebab Jika terlambat sedikit sudah dipastikan ia tidak akan menemukan keduanya. Tiba-tiba mata Bastian berbinar kala melihat tetesan d
"Tenanglah, yakinkan dirimu kalau ayah pasti baik-baik saja," ujar Bastian sambil menggenggam tangan sang istri."Bagaimana aku bisa tenang Mas kalau aku belum melihat keadaan ayah. Tadi ibu langsung memutus sambungan telepon karena tidak kuat bicara lagi, itu artinya ada yang tidak beres dengan keadaan ayah. Aku takut Mas," ucap Arandita dengan suara bergetar."Tenangkan dirimu, kita akan sampai secepatnya." Bastian mengusap tangan Arandita lalu tangannya kembali fokus ke setir dan akhirnya mengebut."Rumah sakit mana tadi katanya?" Arandita langsung memberikan ponsel di tangannya. Setelah membaca alamat yang tertulis, Bastian langsung menuju rumah sakit tempat dimana mertuanya ditangani.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit daerah tempat dimana Pak Furqan dirawat hujan melanda membuat suhu udara berada di bawah temperatur normal. Dingin menusuk kulit membuat Arandita mengusap-usap dua tangannya sedang pikirannya berkelana pada tempat dimana ayah dan ibunya berada saat ini. Meliha
"Sudahlah kau tidak usah memikirkan itu yang penting kita fokus pada kesembuhan ayah. Kita berdoa agar operasi ayah berjalan lancar dan beliau bisa sembuh seperti sedia kala." Bastian mengusap kepala Arandita lalu pamit pergi sebentar.Dari jarak yang jauh dari Arandita dan Denisa berdiri, kini Bastian menelpon seseorang dan memerintahkan agar menyelidiki siapa pengendara mobil yang telah berani mencelakai Furqan dan siapa yang memegangnya mobil Friska saat ini.Setelah selesai memerintah anak buahnya kini Bastian kembali ke sisi Arandita menemani malam dimana Arandita tak lagi bisa terpejam.***Esok hari, operasi Pak Furqan terbilang sukses dan kini pria itu sudah sadar. Arandita tampak menyuapi ayahnya saat Bastian mendapatkan telepon dari seseorang."Siapa Mas?""Biasa orang kantor, ada berkas yang harus aku tanda tangani secepatnya."Arandita mengangguk dan menyarankan agar Bastian kembali ke kota segera. Ia tidak mau karena menemani dirinya di rumah sakit, pekerjaan Bastian jadi
"Pak Bastian? Kenapa Bapak berkeliaran di sini bukankah katanya Bapak–" Rafi segera menutup mulutnya kala menyadari sesuatu."Apa maksudmu? Kau kira aku binatang buas, berkeliaran begitu? Katakan siapa yang menyuruhmu atau apa sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku!" bentak Bastian hingga Rafi terlonjak kaget."Ada yang ingin mempermainkan kita, saya datang ke tempat ini karena ada yang mengabarkan kalau Bapak diculik dan dikurung di tempat ini.""Kau kira aku percaya hah?!" Bastian menarik kerah kaos Rafi hingga pria itu hampir tidak bisa bernafas."Lepaskan Pak!" Rafi meraih tangan Bastian dan menarik dari lehernya hingga saat terlepas pria itu langsung terbatuk-batuk."Kalau Bapak tidak percaya coba baca ini!" Rafi menyodorkan ponselnya ke hadapan Bastian dan Bastian sendiri langsung menarik dengan kasar. Setelah memeriksa ia langsung terbelalak tidak percaya."Bagaimana mungkin? Siapa yang melakukan ini semua?" Rafi hanya menggeleng, tak tahu harus menuduh siapa."Pak Nyonya Ara
Wanita itu lalu merampas pistol dari salah satu tangan anak buahnya dan langsung mengarahkan pada wajah Bastian."Mungkin dengan membunuhmu kebencianku terhadap Amira juga akan berakhir!" Wanita itu menarik pelatuk dan siap menyemburkan lahar panas dari pelor. Arandita langsung melompat ke hadapan sang suami. Ia berdiri menjadi tameng sang suami yang duduk terikat pada sebuah kursi."Lebih baik bunuh aku saja! Tapi aku mohon lepaskan Mas Bastian!" mohon Arandita dengan ujung mata yang sudah meneteskan bulir-bulir."Aran menyingkirlah! Kau selamatkan dirimu dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri!" seru Bastian. Namun, Arandita enggan pergi, ia menggeleng."Lebih baik aku mati saja daripada harus menyaksikan orang yang aku cintai ditembak mati!" Arandita terisak, tetapi dia tetap tegak berdiri meski pada kenyataannya dia tidak berdaya karena tangan dan kakinya diikat kuat."Hahaha ... rupanya kau ingin ku musnahkan juga. Baguslah, kalau begitu aku tidak perlu ingkar janji pada seseo
Semua orang berlari mengejar, Bastian pun ikut-ikutan, tetapi lengannya langsung ditahan oleh Rafi."Sebaiknya Pak Bastian kembali ke mobil! Kasihan Nona Arandita pasti menghawatirkan Bapak."Mengingat nama istrinya disebut Bastian langsung mengangguk dan mundur sedangkan yang lainnya terus mengejar pria yang membawa wanita bermasker hitam itu masuk ke dalam hutan."Mas!" Arandita segera membuka mobil dan memeluk Bastian sambil menangis. Tangis haru karena suaminya kembali dengan keadaan tidak kurang suatu apapun."Ternyata Tuhan masih menyayangi kita Mas. Tuhan masih ingin kita hidup bersama."Bastian mengusap air mata yang membasahi pipi mulus istrinya lalu merangkul dan membawa Arandita kembali masuk ke dalam mobil."Kita pergi sekarang, tempat ini tidak aman untuk kita. Biar para polisi dan anak buahku yang melakukan pengejaran." Arandita mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami."Jalan Pak!" perintah Bastian pada bodyguard yang diperintah untuk menjaga Ar
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama