"Maaf Sayang aku pikir kamu dengan Bobby sudah melakukan hal yang jauh mengingat kalian sudah lama menjadi sepasang kekasih. Sekali lagi maaf sudah su'udzon sama kamu." Bastian menggenggam tangan Arandita dengan erat."Terima kasih sudah menjaganya untukku." Bastian menghela nafas panjang. Hari ini dia yakin kalau Bobby sudah mengada-ada tentang Arandita dimana pria itu pernah mengatakan sudah menjamah tubuh Arandita dan puas. Ternyata itu adalah salah satu akal-akalan Bobby untuk membuat Bastian tidak menyukai Arandita."Aku bukan kamu yang bisa berbuat begitu dengan bebas. Sek bebas sebelum menikah hanya akan merugikan kaum wanita dan aku tidak akan mungkin bertindak sebodoh itu."Bastian tersenyum lalu semakin memeluk Arandita. "Alhamdulillah berarti aku beruntung mendapatkan istri sepertimu. Eh tapi apa maksudmu mengatakan tidak sama denganku?""Kau dengan Friska pasti sudah melakukan hal ini, kan?"Bastian tertawa mendengar pertanyaan Arandita."Kenapa kamu bertanya seperti itu?
"Bang aku sudah bicara dengan papa." Bobby berkata dengan canggung. Sudah lama dirinya tidak bicara baik-baik dengan Bastian."Baiklah kau tunggu di bawah, aku mau ganti baju dulu." Bastian tersenyum manis membuat Bobby mengerutkan kening sebab merasa aneh kakaknya mau bicara ramah dengan ekspresi yang begitu santai. Sebelumnya suara Bastian selalu terdengar datar dengan ekspresi dingin dan kaku.Bobby mengangguk lalu pergi dari hadapan Bastian. Bastian menutup pintu kembali lalu melangkah ke arah walk in closet dan mengganti mantel mandi dengan pakaian santai."Sayang aku mau menemui Bobby di bawah, kau jangan lupa makan!"Hanya ada suara kucuran air di dalam menjadikan Bastian berteriak. "Sayang aku ke ruang keluarga dulu, kalau kamu ada kepentingan denganku langsung ke sana saja!"Arandita menghentikan aksi mandinya. "Iya! Iya!" Suaranya tak kalah nyaring dengan Bastian."Oke jangan lupa makan, takutnya kalau aku minta jatah lagi entar kamu pingsan!" Bastian terkekeh di ujung ka
"Ayah kandung Leo sendiri."Kali ini Bastian benar-benar terpaku. Untuk sesaat enggan berkata-kata lagi. Rasanya sulit dipercaya, tapi mengingat perempuan setengah baya itu mengatakan dirinya diperkosa Pramoedya Bastian bisa menarik kesimpulan bahwa perempuan itu memang tidak tahu menahu dan menganggap pria yang menodainya adalah Pramoedya bukan pria lain. Namun, jika benar kenapa papanya melakukan hal nekad seperti itu jika ia tidak terlibat? Bastian tidak habis pikir apa yang ada di otak papanya. Tidakkah dia telah menyembunyikan identitas seseorang? Apa pendapat Leo jika tahu ini semua? Dan Lean selama ini telah menganggap Pramoedya adalah ayah kandung yang tidak menganggap keberadaan dirinya. Sungguh kacau akibat tindakan yang dilakukan Pramoedya tanpa pikir panjang ke depan."Abang tahu? Ayah Leo dan Lean adalah pria yang selalu tergila-gila pada Madam Kline di masa lalu, tapi keberadaan dan perasaannya tidak dianggap oleh wanita itu. Madam Kline justru tergila-gila pada papa
"Rafi Mas!" Arandita menyodorkan ponsel Bastian lalu turun dari pangkuan sang Bastian mengangguk dan menerima ponsel dari tangan Arandita."Kenapa tegang begitu sih?" protes Arandita melihat wajah Bastian yang kembali kaku seperti dulu."Enggak apa-apa, hanya bekas bibirmu masih terasa panas di sini seolah bibirmu masih menempel." Bastian menyentuh bibirnya lalu terkekeh kecil untuk menyingkirkan rasa gugup yang mendera."Ish kenapa ngomongnya begitu terus sih?" Arandita menyikut bahu Bastian agak kasar. Sedikit kesal dengan Bastian yang selalu menggoda dirinya."Jadi kangen sama Mas Bastian yang dulu. Yang tatapannya dingin dan membuat penasaran."Bastian mendelik mendengar penuturan Arandita. "Katanya kaku dan kamu nggak suka?"Belum sempat Arandita bicara lagi, Bastian terdengar bicara serius dengan Rafi lewat sambungan telepon."Benar, kan dugaanku? Ini sudah kuduga sebelumnya.""Hah!"Kalau sudah serius begini sepertinya Bastian tidak bisa diganggu. Arandita bangkit berdiri dan h
"Kau membawa Annin?"Arandita menatap wajah Bastian dengan perasaan tidak nyaman."Nggak apa-apa, kan, Mas? Dia tadi menangis keras memanggil mamanya. Kasihan kalau diabaikan." Bastian menatap Annin yang malah bersembunyi di ketiak Arandita. Sepertinya balita itu takut pada Bastian karena setelah melihat wajah pria itu malah menunduk dan tidak mau menatap lagi.Selarik senyuman yang tersungging di bibir Bastian membuat Arandita menghela nafas lega."Oy ya Mas, pegangin Annin dulu ya, aku mau membereskan kamar yang berantakan ini." Arandita menggaruk kepala menyadari dirinya juga berpartisipasi dalam membuat kamar seperti kapal pecah.Bastian mengangguk dan mengulurkan tangan untuk meraih Annin. Sayangnya tangan kecil anak itu mencengkram baju Arandita dan menggeleng dengan mata yang kembali berkaca-kaca."Dia takut padaku, apakah wajahku mengerikan ya?"Arandita tidak menjawab hanya tersenyum saja."Kok nggak jawab sih? Apa saat pertama kali kamu melihatku aku terlihat menyeramkan?"
"Apakah sebenarnya Annin anak Leo?""Mana mungkin Mas, kalau ia Kak Leo pasti akan bertanggung jawab.""Kau tidak tahu saja siapa dia. Dia itu playboy kelas kakap," ujar Bastian sambil menggelengkan kepala. Sungguh kadang ia merasa geli mengingat Leo suka dikelilingi wanita dan mencumbunya satu persatu. Itu adalah kegilaan yang luar biasa bagi Bastian. Sebagai seorang pria saja ia merasa jijik melihatnya apalagi bagi wanita waras."Tapi walaupun nakal aku tahu Kak Leo pria yang bertanggung jawab. Mungkin dia tidak akan menikahi Agresia tapi pasti dia akan bertanggung jawab terhadap Annin, paling tidak menjenguk lah.""Ckk, kenapa kamu tidak terima?""Bukan begitu Mas, ah kamu sensitif amat malam ini. Mungkin lelah. Marilah kita tidur.""Ya kita tidur saja, lupakan tentang wajah Annin karena di dunia ini ada banyak wajah manusia yang kebetulan sama.""Kau benar Mas, aku sudah mengantuk." Arandita menguap beberapa kali dan tidak menunggu lama menyusul Annin. Sementara Bastian membolak-b
Tidak sampai satu jam akhirnya Bastian sampai di ruangan kantor. Ia melirik seisi ruangan, nampak sepi karena tak ada suara Rafi ataupun Sania yang menyapa."Mengapa jadi begini?" Bastian duduk bersandar pada meja kebesaran kemudian memutar-mutar kursi yang diduduki. Perasaannya jadi tidak karuan. Di satu sisi Bastian kasihan dengan Sania, tetapi di sisi lain wanita itu sudah berani menantang dengan jebakan yang Bastian sendiri tidak tahu tujuan wanita itu yang sebenarnya."Rasanya agak aneh kalau Sania melakukan hal gila hanya karena terobsesi padaku." Pria itu menghela nafas panjang sebelum tangannya terulur menyentuh berkas-berkas yang menumpuk di hadapannya. Beberapa saat kemudian Bastian tenggelam dalam pekerjaan yang sudah satu minggu ia abaikan akibat perjalanan keluar kota yang berakibat dirinya menghabiskan waktu di rumah sakit."Mas aku bawain makanan untukmu." Suara lembut seorang wanita mengalihkan perhatian Bastian. Pria ini mendongak dan menatap wajah sang istri dengan s
Matahari nampak cerah saat Arandita pulang ke rumah."Ada apa Bik, kenapa Annin diminta pulang cepat padahal kami belum selesai jalan-jalan?""Hari ini jadwal imunisasi Annin, kau mau ikut?" Bobby berjalan mendekat dan meraih Annin dalam gendongan Arandita. Arandita menggeleng dan Bik Mina pamit pergi karena merasa tak perlu menjawab."Kalau begitu biar kami pergi berdua saja. Terima kasih sudah menjaga putriku dari semalam." Bobby tersenyum hangat membuat Arandita balas tersenyum, canggung."Sama-sama. Kalau begitu aku ke dalam dulu." Arandita melangkah masuk. Baru beberapa langkah Bobby memanggil kembali."Aran!"Arandita menoleh dan bertanya, "Ada apa?""Terima kasih sudah mau membujuk Abang.""Kalau tentang itu berterima kasihlah pada Abangmu sebab bagaimanapun aku mendesaknya dia tidak akan bisa berubah pikiran jika ia tidak mau.""Ya, aku berterima kasih pada kalian berdua." Arandita mengangguk kecil kemudian melanjutkan langkah. Syalnya terjatuh membuat wanita itu berbalik dan
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama