Satu bulan berlalu. Sejak malam dimana Bobby marah, Annin kini selalu bersama Arandita dan Bastian. Mereka sampai menyiapkan kamar khusus untuk Annin di samping kamar mereka. Walaupun begitu, terkadang Annin hanya mau tidur bersama mereka berdua.Arandita dan Bastian tidak pernah mengeluh meskipun anak kecil tu selalu merepotkan mereka. Bagaimanapun Arandita tidak tega jika harus mengikuti saran Bobby untuk menaruh Annin ke panti asuhan. Dia meminta izin pada Bastian agar bisa mengasuh Annin sampai menemukan Agresia dan memberikan anak itu pada ibu kandungnya dan tidak disangka Bastian setuju begitu saja.Annin begitu menggemaskan, anak kecil itu tidak tahu apa-apa. Jadi tidak mungkin Arandita mengabaikan meskipun dia adalah putri temannya yang berubah menyebalkan. Bobby sendiri sudah tidak begitu perduli pada Annin. Pria itu bahkan sering menghindar jika berpapasan dengan anak itu. Beruntungnya Annin pun sudah tidak mau berdekatan dengan Bobby karena sejak malam itu menjadi takut."M
"Fris aku–""Tolong Bas jangan tolak permintaanku.""Oke, oke." Akhirnya Bastian hanya bisa pasrahBeberapa jam berdiam diri di ruang rawat Friska membuat Bastian jenuh. Bukan apa-apa, Friska sedari tadi mengajaknya bercerita, mengenang masa lalu mereka berdua. Tentu saja hal itu membuat Bastian gelisah terutama saat memikirkan sang istri di rumah yang ia bohongi, padahal setelah pertemuannya dengan Friska saat wanita itu sudah pulih ingatan, Bastian berjanji pada diri sendiri untuk berkata jujur pada Arandita apapun itu."Maafkan aku Sayang. Aku tak mungkin mengatakan padamu bahwa aku menunggui Friska di sini." Bastian membatin.Malam beranjak semakin larut dan Bastian memaksa untuk pulang walaupun sedari tadi ditahan oleh Friska. Sayang, saat pria itu pamit tubuh Friska malah kejang dan menyebabkan Bastian menjadi panik. Segera pria itu menemui dokter yang menangani Friska."Jangan pulang Bas, please malam ini tungguin aku. Aku sering bermimpi buruk dan ditarik oleh wanita berpakaia
Di dalam mobil Arandita nampak mual."Kau Baik-baik saja?"Arandita mengangguk walaupun dalam keadaan menahan mual."Tidak apa-apa bagaimana? Aku melihatmu beberapa hari ini tidak enak badan." Tanpa persetujuan Arandita, Bobby membelokkan mobil ke arah klinik. Saat menikung Arandita malah muntah dan mengenai baju Bobby."Maaf Bob, enggak sengaja.""Tidak perlu dipikirkan." Bobby memarkirkan mobilnya di depan sebuah klinik. Saat Arandita diperiksa dia hanya mondar-mandir di depan pintu ruang."Apa kata dokter? Kau sakit apa?" Bobby bertanya seperti seorang suami yang mengkhawatirkan istrinya.Arandita tersenyum. "Tidak apa-apa Bob aku hanya masuk angin saja." Jika dia menjawab yang sebenarnya takut Bobby akan memberitahu Bastian tentang Arandita.Bobby mengerutkan kening. Namun, ia tidak mau banyak tanya dan langsung mengajak Arandita masuk ke dalam mobil."Pulang atau ke tujuan awal?""Tanggung Bob, ke tujuan awal saja.""Pulang aja ya, keadaanmu tidak baik.""Kalau kamu mau pulang s
"Kami–"Belum sempat Bastian menjabarkan, ponsel di tangannya bergetar. Lekas dia memencet tombol deal."Apakah kalian menemukan istriku?""Bos Nyonya Aran sedang menuju Bandara, menurut informasi yang kami dengar ... istri Anda diajak temannya kerja jadi TKI di Jepang.""Apa! Jadi TKI? Tolong cegah dia, aku tidak mau dia pergi!""Pak Rafi sedang mengejarnya."Bastian mematikan ponsel."Ada apa ini, Nak?" Devina terlihat syok."Ayah, Ibu, nanti saja saya jelaskan, sekarang saya harus pergi sebelum terlambat." Setelah mengatakan kalimat itu Bastian berlari ke mobil dan melajukan kendaraannya dengan kencang. Ia tidak perduli dengan para pengemudi yang memprotes dengan cara menyetirnya yang mengebut."Pak!""Di mana Aran Raf? Jangan bilang kau tidak berhasil mencegahnya dan dia sudah pergi." Wajah Bastian terlihat lelah, layu seperti tanaman yang tidak disiram beberapa hari."Itu dia Pak, tadinya saya yang mau mengejar tapi melihat Bapak sudah tiba, lebih baik Bapak saja yang langsung me
"Bagaimana keadaan istri saya Dok?' Wajah Bastian terlihat panik setelah pintu ruangan terbuka menampilkan sesosok dokter yang terlihat lelah.Dokter tersebut memberikan senyuman sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bastian."Pasien baik-baik saja.""Hah!" Sungguh lega perasaan Bastian sekarang. Dada yang tadinya sesak kini langsung terasa plong. Detik itu juga Bastian mengucapkan kalimat hamdalah dalam hati. Benar-benar bersyukur karena Allah SWT senantiasa melindungi istrinya."Tapi–"Satu kata yang diucapkan dokter langsung membuat wajah Bastian kembali cemas. Kata biasa yang seakan menancap ke ulu hati. Jika sampai terjadi sesuatu pada Arandita dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri."Arandita baik-baik saja, tapi?" Kalimat ini seolah bertolak belakang membuat Bastian berpikiran buruk dan menduga-duga."Janinnya tidak bisa diselamatkan. Hamil muda memang rentan keguguran, sepertinya istri anda kelelahan.""Apa! Keguguran?" Hamil saja Bastian tidak mengetahuinya. Bastian tercen
Mendengar suara Bastian Bobby menoleh ke arah pintu dan menelan ludah."Karena Abang telah menyia-nyiakannya. Arandita berhak bahagia." Bobby mencoba meluapkan kekesalan."Mulai sekarang tidak lagi, aku akan menjamin kebahagiaan istriku, jadi kamu tidak perlu ikut memikirkannya." Bastian menatap Bobby dengan aura dingin."Kupegang janji Abang, kalau sampai ingkar, aku bersumpah akan menculik Arandita dan membawanya pergi jauh dari sini, dan Abang tidak akan melihat lagi Arandita seumur hidup Abang."Arandita terbelalak mendengar ancaman Bobby."Kau tenang saja, aku pastikan kau tidak akan punya kesempatan untuk melakukan itu." Bastian menaruh makanan di brankar dan duduk."Aku suapi ya Sayang," ujarnya sambil membuka bungkus makanan. Arandita melihat ke arah Bobby sebentar lalu mengangguk."Boleh Mas."Bastian tersenyum ke arah Bobby seolah ingin mengatakan bahwa dirinyalah pemenang atas hati Arandita. Bobby hanya membeku kala melihat Bastian menyuapi Arandita dan melihat Arandita men
"Maaf kalau kali ini lancang, sebenarnya saya malas Pak, takut ada fitnah yang macam-macam lagi tentangku. Sekarang keluarga sudah yakin semua kalau saya adalah pria normal hanya dengan mereka mendengar kabar bahwa Nyonya Arandita keguguran. Saya tidak mau dikabarkan macam-macam lagi berkaitan dengan Friska setelah digosipkan yang tidak benar dengan Bapak.""Ya ampun, jadi kamu bersyukur begitu karena kami kehilangan calon bayi kami?! Aku tidak menyangka kau setega itu pada kami berdua." Bastian menggelengkan kepala."Eh, eh, bukan begitu Pak, saya hanya mengambil hikmahnya saja.""Yasudah kalau kamu tidak mau mengurusi Friska, perintahkan siapa saja yang bisa yang bisa menjaga Friska di rumah sakit!" "Siap Pak!"Bastian menghela nafas panjang sebelum akhirnya kembali duduk di samping Arandita. Kembali ia menggenggam tangan sang istri. "Kau istirahatlah!"Arandita mengangguk lalu merebahkan tubuh dibantu Bastian."Mas tidak kerja hari ini?" Bastian menggeleng."Hari ini hari kita. H
"Itu karena Bastian tidak mau menikah denganku padahal waktu itu aku memang tengah hamil dan kamu sendiri menghilang dari kehidupanku. Aku bukan pura-pura mati tapi memang ingin bunuh diri karena putus asa.""Cih, kau pikir aku percaya? Dasar wanita ular." Lean kembali mendorong tubuh Friska dengan kasar lalu beranjak dari sisinya. Sebelum keluar dari apartemen Friska, pria itu mengangkat kaki dan hendak menginjak bayi yang sedang menangis histeris di atas lantai.Rafi hanya melongo menyaksikan tingkah pria itu yang tidak seperti biasa. Di matanya Lean adalah Leo. Terlebih sikap Friska yang begitu tenang saja melihat putranya hendak disakiti."Kalau kau putra Bastian, menyesal aku membiarkanmu terlahir ke dunia. Kau seharusnya mati!" Lean menatap ke bawah sambil menyeringai. Kasih sayangnya pada bayi yang telah dirawat selama ini berubah menjadi kebencian setelah tahu bayi tersebut bukan anak kandung melainkan anak dari pria yang merupakan musuh besarnya."Bunuhlah dia agar aku tidak
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama