“Kau benar-benar sudah gila, Delvin!” Suara Bara terdengar tepat setelah pria itu membuka pintu dengan tergesa. Tanpa permisi, pengacara muda itu melangkah cepat memasuki ruang kerja Delvin. Beruntung, Delvin tengah memerintah Yuna untuk mencetak beberapa berkas di ruangan lain dan hanya ada dirinya seorang di kantornya itu. “Kamu yang gila,” jawab Delvin dengan raut serius dan suara datar, “Baru masuk langsung teriak-teriak.” Pria itu tengah mengenakan kacamata dan fokus membaca rangkuman dokumen kasus yang ia tangani saat tahu-tahu pengacara muda itu merangsek masuk. “Tidak.” Bara menggelengkan kepala berulang kali. “Kali ini, beneran kau yang gila, Delvin! Bisa-bisanya kau jatuh hati pada gadis yang sudah memiliki suami!” sergah Bara terang-terang. Wajah dan gesturnya terlihat tenang sejak tadi dan Bara telah mencoba menghubungi Delvin sejak semalam untuk menanyakannya, tetapi pria itu seperti biasa mengabaikan pesan dan panggilannya. Mendengar itu, tangan Delvin seketika be
Yuna pernah melihat pemandangan yang jauh lebih buruk. Beberapa bulan lalu, ia melihat Sean, kekasihnya sendiri, bersama gadis lain di kamar hotelnya. Namun, rasa sakit yang muncul saat itu tidak sehebat ini. Ratusan jarum terasa menusuk jantungnya dan dunia Yuna seakan runtuh saat itu juga. Seharusnya Yuna maju dan langsung menghajar wanita itu dengan tasnya. Namun, otot di sekujur tubuhnya seakan membeku dan tidak bisa diajak bergerak maju. Seakan memiliki firasat sedang diperhatikan, tahu-tahu gadis itu melepas cumbuannya dan menoleh. Saat itu, Yuna segera memutar tubuh dan kakinya seakan berjalan sendiri menjauhi tempat itu. Langkah Yuna terhenti saat menemukan Delvin masih berada di koridor itu. Pria berambut hitam itu seketika menegakkan punggung dengan terkejut melihat Yuna yang sudah berlinang air mata. Pria itu bergegas menghampirinya. “Apa yang terjadi?” tanya Delvin dengan cemas. Kedua tangannya refleks hendak meraih bahu ringkih Yuna, tetapi satu suara dalam pikiran
Hari Minggu itu seharusnya bisa Morgan manfaatkan untuk menghabiskan waktu bersama Yuna sepanjang hari. Namun, perasaannya masih diliputi kecurigaan dan rasa tak senang saat tahu Yuna diantar Delvin tempo hari. Di luar dugaan, Yuna menunjukkan raut masam yang sama saat keduanya duduk di meja makan untuk sarapan. Gadis itu kembali menjadi hening dan tidak menatap Morgan sedikit pun. “Bagaimana kamu pulang kemarin?” Pertanyaan Morgan berhasil memecahkan dinding di antara mereka. “Delvin.” Yuna menjawab, singkat dan jujur. Entah mengapa, kejujuran itu sedikit melegakan Morgan, tanda bahwa gadis itu tidak menyembunyikan apa pun darinya. “Seharusnya kamu menghubungiku. Aku akan mengirim sopir untukmu.” Morgan berkata lagi. Yuna tidak banyak bereaksi dan wajahnya masih datar menatap makanan di hadapannya. “Kamu tidak bisa dihubungi,” jawab gadis itu singkat. Alasan itu membuat Morgan kian tak bisa menyalahkannya. Seharusnya Morgan yang memprotes karena gadis itu kembali bersama pria
Bukannya semakin tenang, pikiran Yuna justru bertambah cemas setelah menyaksikan semuanya. Kini, ia berada di tengah persidangan, tetapi pikirannya justru melayang ke tempat lain hingga kesadaran Yuna baru kembali saat semua orang di ruang sidang bertepuk tangan. Ia berkedip cepat dan menyadari jika Delvin telah berhasil memenangkan persidangan itu. Kini, pengacara itu tengah berjalan di antara para hadirin yang berdiri. Yuna cepat-cepat menyusulnya. “Selamat, Pak. Bapak kembali berhasil memenangkan pengadilan,” ucap Yuna, kembali berkumpul dengan bosnya itu. “Saya menang, tetapi sepertinya kamu tidak terlihat senang,” komentar Delvin, menatap lurus ke arah Yuna. Beberapa kali dalam sidangnya, Delvin sempat melihat Yuna yang duduk di bangku penonton dan gadis itu hampir melamun sepanjang waktu.“Ma—maaf,” ucap Yuna, merasa canggung sekaligus malu karena tertangkap basah. Delvin meraih satu botol air mineral yang disediakan untuknya dan memberikannya kepada Yuna. “Apakah masala
“Apakah Morgan belum kembali?” Yuna bertanya kepada Nita. Hari ini, Yuna pulang terlambat karena harus membereskan sisa pekerjaannya dengan Delvin. Gadis itu baru kembali mendekati pukul tujuh, tetapi belum mendapati pria itu di rumahnya. Gadis itu menggelengkan kepala. “Belum, Nyonya.” Yuna mengembuskan napas panjang dan mengedarkan pandangan ke sekitar dengan cemas. Belakangan ini, Morgan memang sering pulang terlambat. Dahulu, Yuna yakin hal itu disebabkan pekerjaannya. Kini, setelah kedatangan Evelyn, pikiran Yuna menjadi terpecah. “Kalau begitu, aku akan ke kamar mandi dahulu,” ucap Yuna. Dia menaruh ponselnya di meja makan, kemudian beranjak ke arah kamar mandi. Nita melanjutkan pekerjaannya dan tak lama setelah Yuna memasuki kamar mandi, ponselnya berdering tanda pesan masuk. Awalnya, Nita mengabaikan, tetapi ponsel itu kembali berdering hingga Nita mulai penasaran. Rupanya dari Morgan. “Ibu mengajakku bertemu hari ini.” “Aku akan pulang terlambat.” Nita melirik ke ar
“Anda baik-baik saja, Tuan?” Sopir Morgan bertanya dari tempat duduknya. Mereka telah berada di dalam kendaraan yang melaju di jalan raya, tetapi raut wajah Morgan masih terlihat terganggu.Ia tidak heran jika ibunya akan berpihak pada Evelyn, bahkan terang-terangan meminta Morgan untuk berpihak pada Evelyn. Kini, hatinya berdenyut nyeri tiap kali membayangkan Yuna berada di tempatnya. Seorang diri. Tanpa ada seorang pun yang membelanya. Mengabaikan pertanyaan sang sopir, Morgan mengembuskan napas panjang dan melirik ponselnya. Masih tidak ada jawaban dari gadis itu. “Berhenti,” titah Morgan secara tiba-tiba. Mereka berada tepat di depan sebuah toko yang menjual roti dan makanan manis. Entah mengapa, pikirannya langsung tertuju pada sang istri. Morgan belum pernah membawakan sesuatu untuk Yuna. Akhirnya, pria itu benar-benar membeli satu. Terlepas dari berbagai masalah yang mengancam pernikahan mereka, Morgan memasuki kediamannya dengan wajah berseri. Kebetulan sekali, sang is
Menjelang pukul enam, deretan mobil mewah berbaris memasuki gerbang dari sebuah rumah megah. Di dalam salah satu mobil, terlihat sosok Morgan yang masih terlihat rapi dalam balutan kemeja dan jas hitam miliknya. Pria itu menoleh ke luar dan menatap pada rumah putih megah yang berdiri di atas halaman luas itu. Sudah lebih dari dua bulan sejak terakhir ia kemari. Morgan paling tidak menyukai tempat ini. Jika bukan karena jadwal pertemuan keluarga, Morgan tak akan pernah mengunjungi rumah kakeknya itu. Sayangnya, paling tidak dua bulan sekali, kakeknya akan mengumpulkan seluruh keluarga untuk makan malam bersama, walau pada akhirnya makan malam itu akan berubah menjadi ajang pamer sekaligus perebutan warisan. Begitu tiba, sudah ada empat mobil di area parkir dan Morgan menjadi orang terakhir yang datang. Di dalam ruang makan yang megah bak hotel bintang lima, sudah duduk kakeknya, kedua orang tuanya, serta paman dan bibinya. Meja sudah dipenuhi oleh makanan dengan berbagai hidangan
Yuna, Delvin, dan Evelyn terdiam. Ketiganya menunggu dalam keheningan. Morgan menelan salivanya yang terasa berat. “Dia adalah ….” Kata-kata selanjutnya sudah berada tepat di ujung bibir Morgan, tetapi ia tidak juga berhasil melakukannya. Lidahnya seakan terkunci. Tahu bahwa ia benar-benar akan kehilangan Evelyn begitu memberitahunya. “Siapa, Morgan?” Evelyn mendesak. Wajahnya mulai terlihat cemas. “Aku belum pernah memberitahumu sebelumnya, Evelyn,” ucap Morgan, “Gadis ini, dia adalah ….” “Aku adalah pelayan pribadi Tuan Morgan.” Yuna menyela. Delvin membelalakkan mata, begitu pula Morgan yang sontak menoleh dengan bingung ke arah Yuna. Gadis itu memasang senyum palsu di wajahnya. Yuna tahu jawaban itu di luar rencana mereka. Namun, hatinya terus berdenyut nyeri saat melihat Morgan kesulitan untuk menjawab. Hal itu membuatnya sadar bahwa Morgan belum sanggup kehilangan Evelyn. Ia tahu betapa beratnya itu bagi Dylan, memutuskan hubungan dengan wanita yang ia cintai.“Asisten p
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i