Menjelang pukul enam, deretan mobil mewah berbaris memasuki gerbang dari sebuah rumah megah. Di dalam salah satu mobil, terlihat sosok Morgan yang masih terlihat rapi dalam balutan kemeja dan jas hitam miliknya. Pria itu menoleh ke luar dan menatap pada rumah putih megah yang berdiri di atas halaman luas itu. Sudah lebih dari dua bulan sejak terakhir ia kemari. Morgan paling tidak menyukai tempat ini. Jika bukan karena jadwal pertemuan keluarga, Morgan tak akan pernah mengunjungi rumah kakeknya itu. Sayangnya, paling tidak dua bulan sekali, kakeknya akan mengumpulkan seluruh keluarga untuk makan malam bersama, walau pada akhirnya makan malam itu akan berubah menjadi ajang pamer sekaligus perebutan warisan. Begitu tiba, sudah ada empat mobil di area parkir dan Morgan menjadi orang terakhir yang datang. Di dalam ruang makan yang megah bak hotel bintang lima, sudah duduk kakeknya, kedua orang tuanya, serta paman dan bibinya. Meja sudah dipenuhi oleh makanan dengan berbagai hidangan
Yuna, Delvin, dan Evelyn terdiam. Ketiganya menunggu dalam keheningan. Morgan menelan salivanya yang terasa berat. “Dia adalah ….” Kata-kata selanjutnya sudah berada tepat di ujung bibir Morgan, tetapi ia tidak juga berhasil melakukannya. Lidahnya seakan terkunci. Tahu bahwa ia benar-benar akan kehilangan Evelyn begitu memberitahunya. “Siapa, Morgan?” Evelyn mendesak. Wajahnya mulai terlihat cemas. “Aku belum pernah memberitahumu sebelumnya, Evelyn,” ucap Morgan, “Gadis ini, dia adalah ….” “Aku adalah pelayan pribadi Tuan Morgan.” Yuna menyela. Delvin membelalakkan mata, begitu pula Morgan yang sontak menoleh dengan bingung ke arah Yuna. Gadis itu memasang senyum palsu di wajahnya. Yuna tahu jawaban itu di luar rencana mereka. Namun, hatinya terus berdenyut nyeri saat melihat Morgan kesulitan untuk menjawab. Hal itu membuatnya sadar bahwa Morgan belum sanggup kehilangan Evelyn. Ia tahu betapa beratnya itu bagi Dylan, memutuskan hubungan dengan wanita yang ia cintai.“Asisten p
Beberapa tahun lalu, Morgan akan mengabulkan semua permintaan Evelyn. Namun, kali ini pria itu terdiam selama beberapa saat. Tatapannya terlihat dingin. “Aku akan menyuruh sopir untuk mengantarmu,” ucap pria itu, menolak secara tidak langsung. Akan tetapi, Evelyn menggelengkan kepala dan dia memejamkan mata, bersikap seakan rasa sakit di kepalanya bertambah hebat. “Di apartemenku tidak ada siapa pun, Morgan. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Aku … aku benar-benar merasa tidak enak badan,” ucap Evelyn, setengah memohon. Morgan mendengkus dengan tidak senang. Ia menatap ke arah ponselnya yang seketika mengingatkan Morgan akan Yuna. Membayangkan kini gadis itu pulang bersama Delvin. Morgan mengusap wajahnya dengan kasar. Acara pertemuan ini benar-benar menjadi berantakan. Pria itu mendengkus, kemudian meraih ponselnya. “Cepatlah,” titah pria itu kepada Evelyn. Wajah gadis itu kembali menjadi cerah begitu sadar Morgan menyanggupinya. Di sisi lain, Yuna sudah duduk di mobil Delvin. B
Deg Yuna bisa mendengar semuanya dengan jelas. Jantung gadis itu seakan berhenti berdetak saat itu juga. Air mata jatuh membasahi pipinya dan Yuna cepat-cepat mengakhiri panggilan telepon itu. Entah mengapa, ia merasa takut dan cemas. Semuanya telah tergambar jelas. Bagaimana Evelyn telah mengetahui pernikahan mereka dan tetap bersikeras untuk menggoda Morgan. Dan, Yuna terlalu takut untuk mendengar jawaban pria itu. Dadanya terasa sesak, sementara bulir demi bulir air mata terus berjatuhan tanpa bisa dihentikan. “Apa yang terjadi, Yuna?” Delvin bertanya. Ia menatap Yuna dengan intens dan raut wajahnya terlihat rumit saat tangisan Yuna pecah begitu saja. Yuna tidak menjawab. Lebih tepatnya, ia tidak mampu menjawab. Yuna bahkan tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Bahunya tidak berhenti terguncang. Napasnya tersendat saat ia menangis tersedu. Meluapkan semua kemarahan, kekhawatiran, dan kekecewaannya. Perasaan Delvin ikut tersayat melihatnya. Yuna, gadis yang amat ia cintai, m
Tepat setelah Yuna memasuki mobil Katherine, mobil itu melaju pergi. Namun, mereka tidak menuju ke mana pun. Mobil itu berhenti dan menepi di area yang sepi. “Kudengar kamu pergi ke acara penggalangan dana tadi malam,” ucap Katherine, memulai pembicaraan. Yuna hanya mengangguk membenarkan. Ia harus berhati-hati tiap berbicara dengan Katherine. Salah-salah, figurnya akan bertambah buruk di mata wanita itu. “Aku juga sudah mendengar jika kamu mengaku menjadi pelayan pribadi untuk Morgan.” Katherine berkata lagi. Kali ini, alis Yuna mengernyit dan dia menatap ke arah Katherine dengan tidak mengerti. “Bagaimana bisa—” “Aku mendengarnya dari Evelyn,” potong wanita itu, “Aku yakin kamu sudah bertemu dengan Evelyn kemarin. Dia cantik, bukan?” tanya Katherine. Kata-kata itu menusuk tepat pada jantung Yuna. Meski demikian, ia menutupi kesedihannya dengan tersenyum dan mengangguk. “Tidak hanya cantik, Evelyn juga berasal dari keluarga yang berada.” Katherine melanjutkan, “Dia sopan, tah
Morgan telah menunggu Yuna sejak tadi. Begitu kembali dari kediaman Delvin, Morgan membersihkan diri. Ia berusaha beristirahat meski hanya sebentar, tetapi justru tidak bisa tertidur. Ia tahu Yuna akan segera kembali sehingga Morgan sengaja menunggu di ruang makan. Gadis itu benar datang. Begitu Yuna muncul dengan wajah pucat dan mata sembab, Morgan ingin berlari menghampirinya. Memeluk gadis itu dan merengkuhnya dengan erat. Ia ingin memarahi Yuna dan meluapkan kecemasannya. Namun, kini tubuhnya seakan tidak bisa digerakkan. Tidak seujung jari pun. Hingga Yuna mengucapkan kata-kata itu. “Aku … ingin meninggalkan rumah ini.” Bak tersambar petir di siang hari, jantung Morgan berhenti berdetak. Yuna terdengar begitu yakin. Tatapannya terlihat dingin dan tak ada keraguan sedikit pun dalam suaranya. Refleks, sudut bibir pria itu tertarik ke samping membentuk seringai tipis. “Kamu benar-benar serius, Yuna?” tanya Morgan dengan dingin. Jika benar itu yang Yuna inginkan, maka Morga
“Apa katamu? Yuna meninggalkan rumah?” ucap Lina dengan raut terkejut. Ia tengah berkebun saat tiba-tiba mendapat panggilan dari Nita. Umumnya, gadis itu memberikan laporan melalui pesan. Kini dia menelepon langsung dan Lina terkejut hingga cepat-cepat melepaskan sarung tangan berkebunnya. “Bagaimana bisa? Apakah mereka bercerai?” kejar Lina. Wajahnya terlihat penasaran sekaligus bersemangat. “Aku tidak tahu, Nyonya. Mereka bertengkar hebat pagi ini dan Yuna mengemas pakaiannya. Dia langsung pergi, sementara Tuan Morgan belum keluar dari kamarnya.” Nita menjelaskan dengan nada berbisik. Itu adalah berita yang mengejutkan. Baru beberapa hari yang lalu Morgan mengakui rumah tangganya baik-baik saja meski Evelyn kembali. Tampaknya, sesuatu telah terjadi. “Itu adalah informasi yang bagus. Terus pantau mereka, Nita,” titah Lina dengan nada serius. “Tapi, Nyonya, itu berarti kita tidak bisa memberikan bubuk itu kepada Yuna karena dia tidak tinggal di sini.” Nita menjawab. Benar juga
Konsentrasi Morgan seketika buyar. Begitu pula Yuna. Diam-diam, dia melirik ke arah Delvin, seakan memprotes karena tidak memberitahunya terlebih dahulu. “Apakah kau mengenal sekretarisku?” Delvin ikut bersuara. “Apa katamu?” Alis Morgan mengernyit heran. Ia bertanya-tanya pertanyaan konyol macam apa itu? Jelas ia mengenal perempuan yang menjadi istrinya. Namun, Delvin mengulas senyum tipis. “Kuharap kau bisa bertindak profesional di sini,” katanya. Terdapat peringatan yang terselubung dalam benaknya. “Sebagaimana yang kau lihat, ini adalah bisnis antar perusahaan. Orang-orang akan memandang aneh jika kita bersikap berbeda, bukan?” Morgan berkedip dua kali dengan tertegun, kemudian memandang ke arah sekitar. Benar saja. Anggota rapat lain yang menjadi saksi sekaligus penasehat hukum Morgan menatap keduanya dengan aneh. “Aku mengerti,” ucap Morgan, kemudian mengulas senyum mencurigakan. Entah mengapa, Yuna bisa melihat niat tersembunyi dalam sikapnya itu. Dan, firasatnya terbuk
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i