Konsentrasi Morgan seketika buyar. Begitu pula Yuna. Diam-diam, dia melirik ke arah Delvin, seakan memprotes karena tidak memberitahunya terlebih dahulu. “Apakah kau mengenal sekretarisku?” Delvin ikut bersuara. “Apa katamu?” Alis Morgan mengernyit heran. Ia bertanya-tanya pertanyaan konyol macam apa itu? Jelas ia mengenal perempuan yang menjadi istrinya. Namun, Delvin mengulas senyum tipis. “Kuharap kau bisa bertindak profesional di sini,” katanya. Terdapat peringatan yang terselubung dalam benaknya. “Sebagaimana yang kau lihat, ini adalah bisnis antar perusahaan. Orang-orang akan memandang aneh jika kita bersikap berbeda, bukan?” Morgan berkedip dua kali dengan tertegun, kemudian memandang ke arah sekitar. Benar saja. Anggota rapat lain yang menjadi saksi sekaligus penasehat hukum Morgan menatap keduanya dengan aneh. “Aku mengerti,” ucap Morgan, kemudian mengulas senyum mencurigakan. Entah mengapa, Yuna bisa melihat niat tersembunyi dalam sikapnya itu. Dan, firasatnya terbuk
“Mengapa Bapak tidak memberitahuku kalau pemimpin perusahaan itu adalah Morgan?” Yuna bertanya begitu mobil mereka sudah berjalan cukup jauh. Kini, wajahnya yang sejak tadi berusaha tampil dingin dan kaku kembali terlihat biasa. Delvin menoleh ke arahnya dan menyatukan tangannya seakan meminta maaf. “Aku tidak tahu jika pemimpin perusahaannya adalah Morgan,” jawab Delvin, setengah berbohong. Belum genap satu minggu ia menduduki kursi sebagai CEO. Ada begitu banyak wajah baru yang harus ia kenali. Namun, sedikit banyak Delvin melakukannya dengan sengaja. Ia ingin melihat reaksi keduanya saat bertemu. Dan, kini ia yakin hubungan keduanya benar-benar telah retak. “Apakah kita akan sering bertemu mereka?” Yuna bertanya lagi. Jika iya, maka jelas gadis itu tidak akan sanggup. Ia pergi keluar dari kediaman pria itu untuk menghindari Morgan. Kini, keduanya justru menjadi kolega. Beruntung, Delvin menggelengkan kepala. “Sepertinya tidak,” ucap pria itu, “Apakah kau benar-benar ingin
Suara Morgan terdengar dingin dan garis-garis wajahnya seketika menjadi kaku melihat kedatangan wanita berpakaian modis itu. Evelyn melenggang santai ke kantornya seakan ruangan itu adalah miliknya sendiri.“Apa yang kau lakukan di sini?” Morgan bertanya dengan nada profesional yang berjarak. “Kata-katamu terdengar kejam, Morgan,” ucap Evelyn dengan bibir mengerut. “Aku datang untuk meminta maaf tentang kejadian tempo hari. Sepertinya, kalian mendapat masalah karena perbuatanku.” Morgan memalingkan wajah ke arah lain, enggan menatap wajah wanita itu. Dalam hati, darahnya kembali berdebur, tetapi ia tak mampu melakukan apa pun kepada Evelyn. Bagaimanapun, sebagian besar situasi ini disebabkan olehnya sendiri. Alis pria itu mengernyit saat tahu-tahu Evelyn berjalan mendekati mejanya dan memandang lurus ke arahnya. “Maafkan aku, Morgan. Ya? Sepertinya aku benar-benar kehilangan pikiranku saat itu. Kau mau memaafkanku, ‘kan?” tanya wanita itu dengan raut memohon. Umumnya, para pria
“Kau yakin baik-baik saja, Delvin?” Yuna bertanya setelah keluar dari mobil pria itu. Hari ini, lagi-lagi keduanya harus pulang terlambat karena pekerjaan. Keseharian sebagai CEO jauh lebih padat daripada menjadi pengacara. Mau tidak mau memaksa keduanya untuk pulang lebih larut dari biasanya. Hal menjadi lebih rumit saat sopir Delvin tidak bisa bekerja hari ini. Karena larut, Delvin menawarkan tumpangan untuk gadis itu dan sepanjang perjalanan, Yuna menyadari kondisi tubuh Delvin yang terlihat tidak baik. Kali ini pun, dia terlihat begitu pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Delvin mengangguk beberapa kali. “Aku baik-baik saja,” ucapnya. Namun, pandangan pria itu menjadi semakin kabur hingga ia harus berkedip beberapa kali untuk menatap jalan di depannya. Bahkan, sekarang Yuna terlihat terbelah dua dalam pandangannya. Yuna bertambah cemas saat menyadari hal itu. “Kau harus beristirahat, Delvin. Ada Nara di rumah, bagaimana jika kau beristirahat beberapa menit sebelu
Morgan menjadi lebih banyak diam. Delvin masih berada di sana, tetapi Morgan membisu seribu bahasa hingga Delvin baru meninggalkan tempat itu menjelang pukul sepuluh. Wajahnya sudah terlihat jauh lebih baik dan Yuna mengantarnya sampai ke dekat mobil. Sementara itu, Morgan memperhatikan keduanya dengan saksama. “Hati-hati di jalan,” tutur Yuna seraya mengulas senyum hangat. Delvin mengangguk dan balas tersenyum. Tatapannya berubah saat ia menyadari Morgan yang tengah memandang mereka sejak tadi. Satu ide terbesit dalam pikirannya. Ia menutup pintu mobil yang sudah dibuka, kemudian berjalan mendekati Yuna. Yuna menatap dengan heran, tetapi Delvin terus mendekat hingga berhasil memaku jarak satu langkah di depan gadis itu. “Sampai bertemu besok di kantor,” ucapnya seraya menepuk puncak kepala Yuna dua kali. Mata Morgan langsung membelalak. Jika bisa, ia ingin melangkah maju dan meninju wajah menjengkelkan Delvin. Sayangnya, Morgan tidak bisa dan kini pria itu menatap sekitar deng
Selama dua bulan, Morgan hidup bagaikan dicekat tali di lehernya. Kini, saat yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia akan segera bertemu Yuna dalam tampilan seorang sekretaris. Perusahaan Ashley Group dan perusahaan penerbangan milik Morgan akan kembali bertemu untuk melakukan pengecekan rutin terhadap kondisi pesawat dan bahan bakar. Morgan telah menunggu seperti mayat hidup untuk waktu ini. Pagi ini, ia bangun lebih pagi dan bersiap serapi mungkin. Ia mengenakan jas yang baru datang dari penjahitnya di Eropa pagi ini. Pria itu bahkan melakukan perawatan rambut ekstra. Siapa yang tahu, Yuna mungkin akan kembali terpesona setelah melihat dirinya yang begitu tampan. Sepanjang perjalanan, Morgan tidak berhenti mengulas senyum, persis seperti anak kecil pada hari pertamanya sekolah dan Benny hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum maklum melihat sikap bosnya. Sayangnya, seluruh penantian dan kesenangannya harus sirna saat ia menyaksikan hanya Delvin yang memasuki ruangan
Morgan benar-benar tidak pernah datang. Sopir kiriman pria itu masih rutin datang untuk mengantar dan menjemput Yuna. Gadis itu juga masih mendapati setangkai bunga di dalam, tetapi ia tak pernah lagi menemukan mobil Morgan di area rumahnya. Tidak pula pesan dari pria itu. Kini, sudah hampir genap satu minggu dan Yuna mulai khawatir. Takut sesuatu terjadi pada pria itu. Gadis itu memandangi ponselnya berulang kali, menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon Benny untuk mencari tahu kabar Morgan. Namun, jelas hal itu akan mempertaruhkan harga dirinya. “Jangan coba-coba menghubungi pria itu.” Suara Nara tiba-tiba terdengar. Membuyarkan Yuna dari lamunan. “Mana mungkin aku menghubunginya?” jawab Yuna, bertolak belakang dengan keinginannya sendiri.Nara mendengkus dan memutar bola matanya. “Terlihat jelas kalau kamu khawatir sama pria itu dan berniat menghubunginya,” terka Nara yang hebatnya sangat tepat. Tok tok tok Tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu dan Yuna menoleh secepat
“Dasar bocah tengik!” Kakek Morgan mengumpat. “Berani-beraninya kau!” Bagaikan tersambar petir di siang bolong, raut wajah Morgan yang semula datar seketika menjadi waspada. Ia menatap ke arah Dimas yang kini duduk dengan tenang seolah puas telah menembak musuhnya. Sial. “Tidak heran jika aku melihat Yuna pulang ke rumah yang berbeda,” lanjut Viviana, setengah berbohong. Semua informasi yang ia dapatkan berasal dari Nita dan dia benar-benar puas setelah menyerang Morgan tepat di depan kakeknya. “Apakah itu benar, Morgan?” Katherine ikut bertanya. Namun, kontras dengan kakeknya, wajah wanita itu justru terlihat senang. “Itu bohong, ‘kan? Kau tidak benar-benar berpisah dengan Yuna, bukan?” William membuka suara dengan setengah terkejut. Pelipisnya terlihat kaku saat menatap serius ke arah putranya. Morgan benar-benar terpojok sekarang. Ia sudah cukup frustrasi memikirkan Yuna. Kini, posisinya ikut terancam karena kesalahannya sendiri. Pria itu berkedip cepat dan berusaha mengenda
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i