Morgan tak pernah bermain dengan kata-katanya. Apa yang ia ucapkan, itu pula yang dia lakukan.Begitu pula kali ini. Dia tidak bercanda saat meminta Yuna untuk tinggal. Namun, tampaknya, Yuna sangat terkejut dengan permintaan itu hingga detik demi detik gadis itu tidak mengatakan apa pun. Dia hanya membeku di tempatnya. Seakan ragu untuk menjawab.“Bagaimana jika aku membutuhkan sesuatu nanti malam?” Morgan mulai mengurai ketegangan yang ia buat. “Kau pasti akan cepat-cepat kemari. Berbahaya menuruni tangga dalam keadaan setengah sadar. Lebih mudah jika kamu tetap di sini. Mengapa wajahmu menjadi pucat? Apakah … kau memikirkan hal yang aneh?” tutur Morgan lagi. Nada suaranya terdengar netral dan logis hingga terdengar mengejek Yuna yang bereaksi berlebihan. Padahal, pria itu sendiri yang memulai semuanya. Yuna berkedip satu kali dan menarik tangannya perlahan. Ia mulai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal untuk mengurangi rasa gugup. “Bu—bukan apa-apa,” jawabnya, “Lagi pula, kit
“Kamu capek?” Delvin bertanya pada Yuna yang duduk di sisinya.Sekarang keduanya berada di dalam mobil yang melaju di jalan raya. Mereka baru saja selesai menemui klien ketiga Delvin hari ini dan pria itu terkejut mendapati wajah Ayana terlihat pucat seperti orang tidak sehat. Yuna menggelengkan kepala. “Aku baik-baik saja,” jawabnya, setengah berbohong. Alis Yuna langsung mengernyit karena otaknya terasa berguncang saat ia menggelengkan kepala. Ia memang merasa kurang tidur karena melayani Morgan tadi malam. Akan tetapi, Yuna merasa baik-baik saja. Hingga kini perutnya mulai terasa sakit setelah ia meminum kopi di restoran beberapa saat lalu. Gadis itu memang tidak cocok kopi, tetapi klien mereka telanjur memesannya. Perundingan Delvin pun amat serius hingga Yuna tak enak untuk meminta pria itu mengganti menu. Dengan terpaksa, ia meminum cairan itu dan kini tak hanya perutnya, tetapi jantung Yuna pun mulai berdebar cepat. Bahu Yuna berjengit kaget saat tahu-tahu Delvin menaru
“Kau sudah mencari informasi yang kuminta?” Morgan bertanya tepat setelah ia dan Benny tiba di kantornya. Biasanya, pria itu selalu meminta dipaparkan jadwal pertama-tama. Namun, kali ini berbeda dan Benny menerka jika sosok itu amat penting bagi Morgan. “Sudah, Tuan,” jawab Benny, kemudian memberikan beberapa carik foto yang menampilkan sosok Delvin dalam berbagai acara. “Namanya adalah Delvin Mycroft Ashley. Dia pria cerdas yang mengambil kuliah hukum di California.” Benny mulai membacakan informasi yang berhasil ia dapatkan. Alis Morgan seketika mengerut. Rasanya ia tak asing dengan marga Ashley dalam dunia bisnis, tetapi ia tak tahu pernah mendengar di mana. “Setelah lulus, dia tidak langsung kembali ke Indonesia. Pria itu mencoba menjadi pengacara di sana dan sempat mendapatkan penghargaan. Dua tahun kemudian, dia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan firma hukum A&T.” Benny menjeda dan berdecak kagum dengan sepak terjang pria itu. “Lanjutkan,” titah Morgan.“Ini infor
Nita menelan saliva dengan berat. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat tahu-tahu Lastri menembaknya dengan pertanyaan itu. Pertanyaan yang menerka dengan sangat tepat. “A—aku ….” Nita mendadak tergagap. “Tentu saja tidak. Aku … aku hanya penasaran,” jawab gadis itu, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. Lastri masih memicingkan mata dengan penuh kecurigaan. Entah mengapa, gerak-gerik Nita selalu menimbulkan kecurigaan baginya. Namun, perhatian Lastri pada akhirnya teralihkan oleh bunyi pintu terbuka, disusul derap langkah keduanya memasuki kediaman mereka. Morgan langsung menggerakkan kursi rodanya menuju kamarnya, sementara Yuna lebih dahulu mendatangi Lastri. Wajah wanita itu terlihat cerah. “Nyonya kembali pulang bersama Tuan Morgan,” komentar Lastri dengan nada setengah menggoda. Yuna tersenyum malu-malu dan menganggukkan kepala. “Kami baru saja ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan,” tutur Yuna. Suasana hatinya semakin membaik karena hasilnya pun bagus. Yun
Bara dan Yuna sontak menoleh. Keduanya terkejut karena tahu-tahu Delvin sudah berada tepat di belakang mereka. Tak ada seorang pun yang mendengar gerak-gerik pria itu memasuki ruangan. “De—Delvin, sejak kapan kau datang?” Bara terhenyak kaget. Wajahnya yang semula ramah kini memucat dengan cemas. “Tenang saja, aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya berbicara dengan sekretarismu. Dia sangat cantik,” lanjut Bara dengan suara gugup. Wajah Bara terlihat lebih tua dari Delvin dan tinggi badannya pun beberapa senti lebih tinggi, tetapi Bara seakan langsung tunduk melihat Delvin. Delvin mengernyitkan alis dan memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku. “Kalau begitu, kalian sudah selesai, bukan?” tukas Delvin. “Sekarang, keluar dari ruangan saya,” titah pria itu. Tanpa menunggu Bara menjawab, Delvin sudah mendorong paksa tubuh pria itu ke arah pintu keluar. “Tunggu, Delvin—”“Kau mengganggu sekretaris saya saat bekerja,” jawab Delvin seraya terus mendorong Bara. “Jangan lupa permint
Ini bukan kali pertama Yuna mendatangi sebuah pesta makan malam. Dia pernah melakukannya bersama Delvin. Akan tetapi, ini kali pertama Yuna mendatangi pesta makan malam bersama Morgan dan hal itu membuat Yuna merasa lebih gugup dari biasanya. “Ayo pergi,” ajak Morgan. Yuna yang bertugas mendorong kursi rodanya, tetapi wanita itu justru terdiam. Perlahan, Yuna pun mendorong kursi rodanya ke arah pesta makan malam. Sesuai dugaan, beberapa orang langsung berhenti bicara dan memusatkan perhatian ke arah mereka. Tidak heran. Acara seperti ini menjadi ajang berkumpul orang-orang hebat di bidangnya dan konglomerat. Mereka terlihat menakjubkan dengan penampilan dan reputasi mereka. Kini, tiba-tiba ada seorang pria lumpuh yang duduk di kursi roda dan memaksakan untuk datang. Harus Morgan akui, kerap kali ia merasa muak dengan pemandangan ini. Memangnya apa yang salah dari seorang pria lumpuh? Semua orang melihatnya seakan pertama kali menyaksikannya. Namun, kali ini Morgan menegakkan pun
Yuna tak mengucap sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Gadis yang semula selalu memberondong pertanyaan tentang Morgan ataupun kesehariannya kini seakan menjadi membisu. Suasana di dalam mobil pun menjadi begitu canggung. Morgan sudah mencoba memberi pancingan dengan menanyakan satu dua hal, tetapi Yuna hanya memberikan jawaban singkat berupa ya atau bahkan dehaman semata. Kini, saat mobil itu berhenti di depan pelataran menuju pintu masuk, Yuna memang membantu Morgan turun dari mobilnya. Namun, gadis itu langsung meninggalkan suaminya begitu saja di tengah jalan, memilih untuk berjalan sendiri ke kamarnya dengan acuh tak acuh. Morgan berpapasan dengan Lastri yang juga terlihat bingung dengan kelakuan nyonya besarnya, tetapi Morgan menggeleng samar dan mulai mempercepat kursi rodanya. “Yuna.” Morgan memanggil, berusaha melalui tangga khusus untuknya menuju lantai dua untuk mengejar sang istri, “Apa yang terjadi padamu?” “Pikirkan saja sendiri,” jawab Yuna sembari melangkah mem
Morgan merasa jauh lebih ringan dan bahagia pagi harinya. Terlebih, saat ia mendapati Yuna masih tertidur di sisinya. Seharusnya ia sudah bersiap-siap sekarang. Namun, Morgan sengaja menghabiskan waktu beberapa menit lebih lama untuk mengamati wajah polos Yuna. Kulit wajah Yuna memang tidak mulus dan bersinar seperti porselen, bahkan dia tidak terlepas dari warna yang tidak rata. Namun, entah mengapa pagi ini gadis itu terlihat benar-benar cantik jelita. Dan, Morgan yakin, jika Yuna rajin merias diri, wajahnya akan terlihat jauh lebih cantik. Morgan mengecup pipi Yuna satu kali, kemudian beranjak bangun dan memanggil Calvin untuk membantunya bersiap. Perubahan pada diri Morgan turut disadari oleh Calvin dan Benny. "Ma—maafkan saya, Tuan. Jalan di dekat rumah sangat macer karena ada perbaikan." Benny cepat-cepat menjelaskan begitu tiba.Terhitung hampir lima menit pria itu meleset dari jam yang diminta Morgan. Kini Benny menundukkan kepala dan sudah ketar-ketir khawatir Morgan aka
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i