“Kau yakin?”
Morgan bertanya. Dia tidak terlihat goyah setelah mendengar kata-kata ‘menggugurkan’. Iris hitamnya masih memandang Yuna dengan dingin seolah janin dalam kandungannya bukanlah manusia yang harus dipertahankan. Justru Benny yang terlihat cemas. Tampaknya, sekretaris itu lebih bisa memahami makna nilai-nilai moral daripada bosnya. “Ya.” Yuna menjawab meski hatinya seakan tersayat saat membayangkannya. “Itu yang Anda inginkan, bukan?” “Kau—” Perkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba terdengar dering ponsel menguar di ruangan. Benny cepat-cepat mengecek ponselnya dan berjalan ke sudut untuk menjawab. “Baik. Terima kasih,” tutur pria itu. Dan, panggilan telepon diakhiri. “Ada apa?” Morgan kembali bertanya. Dia melirik ke arah Yuna sekilas. Seolah ragu apakah hendak mengatakannya di depan gadis itu. “Nona Aubrey datang, Tuan, dan dia membawa seorang pria bersamanya.” Benny memberitahu. Yuna tak berkutik. Ia yakin Aubrey adalah tunangan Morgan. Alis Morgan berkerut penasaran. “Siapa pria itu?” “Namanya Sean, Tuan. Sean Dewa Tirta.” Benny menyebutkan nama itu secara lengkap. Pria yang meneleponnya telah mengonfirmasi identitas pria itu. Kini, sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Akhirnya, dia membawa pria itu ke hadapanku. Biarkan mereka masuk,” jawab Morgan. Benny langsung mengangguk dan berjalan pergi. Sementara itu, Yuna mengernyit curiga di tempatnya. Sean Dewa Tirta adalah nama mantan kekasihnya. Tidak mungkin mereka orang yang sama, bukan? Yuna tengah menimbang-nimbang saat mendengar derap langkah masuk. Matanya membelalak begitu menyadari dia benar mantan kekasihnya. Tanpa pikir panjang, Yuna cepat-cepat melesat pergi untuk bersembunyi. Masalah akan jadi lebih besar jika Sean tahu ia hamil. “Maaf karena datang tanpa mengabarimu,” ucap Aubrey. Yuna bisa melihat wanita itu dan semakin terkejut. Tak diragukan lagi, dia adalah wanita yang menghabiskan waktu bersama Sean malam itu. … bukankah dia tunangan Morgan? Mata Yuna menyipit dan memandang tak percaya saat menyadari keduanya terang-terangan berpegangan tangan di depan Morgan. Morgan tampak tak berkutik. “Jadi, dia selingkuhanmu?” tanyanya to the point. Aubrey tersenyum miring. Ia berharap Morgan terkejut saat mendengarnya. Namun, lagi-lagi dia adalah Morgan. “Jadi, kau sudah mengetahuinya? Benar, aku memang berselingkuh darimu. Sean adalah pria yang hangat dan perhatian, tidak seperti dirimu yang bahkan tidak pernah memedulikan diriku,” ucap Aubrey. Morgan tidak menjawab. Dia memalingkan pandangannya ke arah lain. “Perjanjian perusahaan ayahmu dengan perusahaanku akan batal jika kau melakukan ini,” jawab pria itu dengan dingin. Yuna kembali bertanya-tanya apakah perasaan Morgan terbuat dari baja. Pria itu justru membicarakan bisnis saat tahu kekasihnya berselingkuh. “Tidak masalah,” jawab Aubrey, “Sejak awal, aku tidak pernah setuju dengan perjanjian itu. Aku tidak bisa menukar hidupku hanya demi perjanjian itu. Aku tidak akan sudi mengorbankan hidupku hanya untuk mengurus pria lumpuh sepertimu seumur hidup.”Kata-kata itu meluncur begitu saja dan Yuna yang mencuri dengar pun merasa sedih. Akan tetapi, raut wajah Morgan tak berubah. Ia tahu Aubrey berbohong. Dahulu, wanita itu sangat menggilainya, bahkan selalu mengejarnya. Namun, Morgan menjadi lumpuh dan sifat asli Aubrey terlihat seluruhnya. Gadis itu tak lebih dari wanita yang mementingkan paras dan harta. “Lagi pula.” Aubrey berkata lagi. “Sekarang Sean sudah menjadi supervisor di perusahaan dan sebentar lagi akan dipromosikan menjadi ketua kantor cabang. Perusahaan kami bisa bekerja sama nanti. Tawarannya pun jauh lebih menggiurkan daripada denganmu, Morgan,” katanya, merendahkan. Morgan langsung tersenyum miring mendengarnya. “Kau benar-benar membuang sebuah berlian demi batu kerikil seperti dirinya, Aubrey,” tutur Morgan, setengah mengejek.“Apa katamu!?” Sean membantah dan maju satu langkah, tetapi Aubrey cepat-cepat menahan tangannya. “Sabar, Sayang,” bujuknya, “Apakah kau akan marah hanya karena kata-kata orang lumpuh seperti dirinya?” Sean menggeleng dan merangkul Aubrey dengan mesra, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Morgan. “Tentu saja tidak, Sayang. Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku hampir lupa jika kita datang untuk tujuan lain,” ucap Sean. Dia merogoh sesuatu dari tas kecilnya dan mengeluarkan secarik kertas undangan. Nama Sean Dewa Tirta dan Aubrey Kenesia tercetak tebal di atasnya. “Maaf jika mendadak, tapi kami akan menikah minggu ini,” ucap Aubrey, “Kuharap kau bisa datang dan memberikan selamat untuk kami.” Aubrey tersenyum. Kata-katanya penuh bujukan, tetapi dia mengucapkannya dengan angkuh dan menggandeng mesra Sean seolah mencoba memprovokasi Morgan. Di balik persembunyiannya, Yuna menoleh ke arah Morgan dengan cemas. Dua lawan satu. Namun, Morgan tampak tak tergoyahkan di tempatnya. “Rupanya, kau tidak main-main, Aubrey,” komentar pria itu. Wanita itu terkekeh. “Aku serius, Morgan. Maaf, aku tidak bisa menikah dengan pria lumpuh sepertimu dan menjadi pembantu selamanya. Aku ingin bahagia. Dan aku tidak akan bisa bahagia hidup dengan pria lumpuh dan arogan sepertimu,” tuturnya seraya memandang Morgan dengan hina. “Sudah cukup, Sayang.” Sean ikut bersuara. “Kita harus pergi sekarang. Masih ada banyak urusan yang harus kita selesaika.” Aubrey tersenyum manis ke arah Sean dan mengangguk. Di mata Morgan, hal itu terlihat menggelikan. “Kalau begitu, kami pamit,” ucap Aubrey, “Pastikan kau datang minggu nanti, Morgan.”Setelah mengatakannya, keduanya melenggang pergi dengan langkah kompak dan mesra. Entah mengapa, rahang Morgan mengencang melihatnya. Ia tak pernah menyukai Aubrey, tetapi kata-kata gadis itu benar-benar berhasil menghinanya.“Mereka benar-benar kejam, terutama gadis itu.” Yuna berkomentar seraya keluar dari persembunyiannya. Morgan tak memedulikan dan malah memperhatikan Yuna dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Mengapa kau bersembunyi?” tanya pria itu. Yuna berkedip cepat. “A—aku takut mengganggu pembicaraan kalian,” jawabnya, setengah berbohong. Tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya bahwa Sean adalah mantannya. “Tapi, apakah kau baik-baik saja?” Yuna bertanya, sedikit prihatin karena Aubrey menghinanya habis-habisan. Tatapan Morgan masih terlihat datar tanpa emosi. “Walau bertunangan, aku tidak pernah mencintainya. Kami hanya bersama untuk urusan bisnis sehingga aku tidak merasakan apa-apa. Yang lebih penting, kapan kau berencana menggugurkannya?” Yuna tersenyum pahit. Seluruh simpatinya seakan hilang begitu saja. “Wanita itu benar. Kau pria arogan yang tidak berperasaan, Morgan. Semoga ada wanita yang akan menyakitimu dan membuatmu sadar,” ucap Yuna dengan getir. ******“Hari Minggu, aku akan mengirim mobil yang akan membawamu ke rumah sakit.”Begitu ucapan Morgan sebelum mereka berpisah. Bukannya mencari ayah dari janin ini, Yuna justru berniat menggugurkannya. Yuna yakin ibunya akan membunuhnya begitu tahu ia memilih menggugurkan janin itu. Ia tak berani pulang. Sekarang, Yuna lebih memilih rumah Nara sebagai persinggahannya. Gadis itu mengusap perutnya dengan bimbang. Ia tak ingin membunuh anak darah dagingnya sendiri, tetapi Yuna pun takut hanya bisa memberinya penderitaan jika melahirkannya. “Kau sakit perut?” Nara tiba-tiba bertanya saat melihat Yuna terus mengusap perutnya dengan cemas. “Eh, tidak.” Yuna cepat-cepat menyembunyikan ekspresi itu dari sahabatnya. Nara tidak boleh mengetahui hal ini. Bahkan jika kelak Yuna harus menggugurkannya, Nara tak boleh mengetahuinya. Saat itu, ponsel keduanya tiba-tiba berdering pada saat yang bersamaan. Mereka mengeceknya dan Yuna membacanya dengan tenang, sementara Nara langsung histeris. “Sean akan menikah!?” Dia berseru. “Benar-benar pria berengsek!” Yuna, yang sebelumnya telah mendengar berita ini, hanya tersenyum canggung. Ia tak merasa sakit hati. Kini, pikirannya tercurahkan pada janin dalam kandungannya. “Apakah kau akan datang, Yuna?” Nara bertanya. Gadis itu mengecek undangan itu lagi. Tepat hari Minggu. Itu adalah jadwalnya ke rumah sakit.Yuna menggeleng. “Untuk apa aku datang ke sana? Ucapan selamatku tidak akan mengubah apa-apa.”“Tentu saja ada pengaruhnya!” Nara berseru. “Apakah kau mau disebut pengecut karena tak menghadiri pernikahan mantanmu yang berselingkuh itu? Pokoknya, kau harus datang dan memberi pelajaran pada pria berengsek itu! Kalau perlu, kau harus mempermalukannya!” sergah Nara. Sahabatnya itu memang selalu menyimpan dendam dan memiliki semangat menggebu-gebu. Tanpa menunggu lebih lama, dia mengeluarkan sebuah gaun putih, lengkap beserta perhiasannya. “Pakai semua ini dan buat dia menyesal karena telah mengkhianatimu!” desak gadis itu.Yuna merasa mual sejak pagi. Semakin hari, tanda-tanda kehamilan semakin jelas Yuna rasakan. Hingga saat ia terbangun pagi ini, Yuna langsung memuntahkan isi perutnya. Meski demikian, Nara terus mendesaknya untuk bersiap-siap. Kali ini pun, Yuna masih duduk di depan meja rias. Nara merombak total penampilannya. Rambut Yuna yang biasa diikat kini dibiarkan tergerai. Nara memberikan riasan tipis dan Yuna pikir itu semua sudah cukup, tetapi Nara mendesak untuk memperbaiki penampilannya. "Ini dia. Aku menemukannya." Nara berseru dari arah kamarnya. Dia kembali dan membawa sebuah kotak. "Apa yang kau lakukan—""Sudah, percayakan saja padaku," ucap Nara. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidung Yuna dan menggantinya dengan lensa kontak. Dalam waktu kurang dari dua jam, penampilan gadis itu sudah berubah total. "Ini dia. Kau harus memberi pelajaran kepada Sean. Enak saja dia berpaling begitu saja, padahal kau yang menemaninya dari nol, bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan it
Umumnya, hasil tes bisa keluar satu hari setelah pengecekan. Namun, Morgan membayar mahal agar hasilnya bisa keluar dalam waktu dua jam. Dia membaca berkas di tangannya dan seluruh tubuhnya seakan membeku. "Hasilnya 98% cocok, Tuan." Dokter itu memberitahu. Dada Morgan seakan tenggelam. Itu berarti Yuna tidak berbohong. Dia benar-benar hamil setelah hubungan intim mereka malam itu. "Sekarang apa yang akan kita lakukan, Tuan?" Calvin yang bekerja sebagai pelayan pribadi Morgan bertanya. Ia bisa memahami kecemasan sang majikan. Pikiran Morgan seolah berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini semua di luar prediksinya. Hingga suara yang aneh tiba-tiba terdengar di ruangan itu. “Bunyi apa ini?” Morgan bertanya, mencari-cari sumber suara. “Ini suara detak jantung bayi Anda, Tuan,” ucap dokter itu. Jawaban itu membuat Morgan semakin kesulitan untuk bernapas. Ia bisa mendengar dengan jelas detaknya. Lemah, tetapi teratur, menunjukkan adanya kehidupan. Suara lain dari p
Evelyn. Memanggil ….Morgan duduk di kursi roda dan memandangi layar ponselnya. Sejak tadi, benda itu mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab. Pria itu tampak sudah rapi dan siap dalam pakaian formalnya. Untuk hari penting ini, Morgan memilih mengenakan kemeja putih dengan tuksedo hitam yang terlihat berkelas. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sudah siap untuk menghadapi hari ini. Namun, pikirannya tertuju pada hal lain.Hanya tinggal menghitung jam hingga pernikahannya berlangsung, dan Morgan justru memikirkan orang lain. Seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah kembali padanya.“Tuan, kita harus berangkat sekarang,” ucap Benny, sekretaris sekaligus pendamping Morgan hari ini. Sekali lagi, Morgan melirik pada ponselnya yang gagal menghubungi wanita itu. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Ayo berangkat,” ucapnya dengan suara berat. ******“Apa-apaan ini?” Dewi memprotes saat berada di kamar Yuna. Kamar itu dipenuhi ole
"Terima kasih untuk kerja sama Anda hari ini," ucap Benny, mewakili suara Morgan yang berada di sisinya, "Kalau begitu, kami pamit pulang terlebih dahulu—""Pulang?" Dewi menyela dengan logat kampungnya. "Tidak perlu terburu-buru. Sudah menjadi tradisi kalau pengantin pria dan wanita harus menghabiskan malam bersama," ucap Dewi dengan bersemangat. Yuna membelalakkan mata dengan terkejut, begitu pula Benny dan Morgan yang bertukar pandang dengan canggung. "Soal itu, kami—""Jangan khawatir," Dewi kembali menyela, "Walaupun rumah kami kecil, aku sudah menyiapkan kamar khusus untuk kalian berdua," tambahnya. Kontras dengan sikap Yuna yang lebih banyak diam, karakter Dewi sangat keras, persis seorang ibu tunggal. Wajah Morgan menjadi semakin pucat mendengarnya. Ia tak pernah menyangka jika harus melakukan ritual itu juga. Senna tersenyum licik, sementara Yuna cepat-cepat mendekati sang ibu. "Apa yang Ibu katakan?" ucap Yuna, memberi isyarat agar sang ibu berhenti. Ia tahu Morgan mera
"Akan ada sopir yang menjemputmu siang ini. Segera bereskan barang-barangmu." Demikian pesan yang ditinggalkan Morgan sebelum pria itu pergi. Saat Yuna terbangun di atas tikar, ia melihat Morgan sudah bersiap pergi dan pria itu menyampaikan pesan tersebut. Yuna tak sempat mencegah kepergiannya. "Apakah Morgan sudah pergi?" Dewi bertanya. Wanita itu kembali ke rumah untuk memasak sarapan dan kini Yuna tengah berada di dapur, membantunya. Dewi bukannya wanita yang buta dan tak peka. Ia bisa langsung menyadari kejanggalan pada hubungan keduanya. Oleh sebab itu, ia sengaja mengurung mereka semalaman, dengan harapan sesuatu yang berbeda akan tercipta di antara keduanya. Yuna mengangguk. "Katanya, ada rapat pagi-pagi yang harus didatangi," ucapnya, setengah berbohong demi menutupi reputasi baik suaminya. Seakan bisa menyadari kebohongan dalam suara sang putri, Dewi berhenti memotong sayuran dan mengamati tubuh putri sulungnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kalian benar melaku
"Anda yakin akan ikut, Nyonya? Saya bisa mengambilnya sendiri," ucap sopir itu. Dia sedikit terkejut karena tahu-tahu Yuna berkata akan ikut. Wanita itu menggelengkan kepala dan tersenyum. "Tidak apa-apa. Morgan bilang dia sangat membutuhkannya," ucap Yuna. Ia senang jika bisa melakukan sesuatu untuk suaminya itu. Ini kali pertama Morgan meminta sesuatu darinya, jelas Yuna akan berusaha memenuhinya. Sesuai dengan tekad yang telah ia buat sebelum pindah kemari. Akhirnya, Yuna benar-benar iktu dan sedikit takjub sebab firma hukum Redlion bukanlah firma hukum sembarangan. "Ini dokumen untuk Tuan Morgan Lewis Spencer," ujar seorang pengacara yang telah Morgan sewa. Yuna menerima map cokelat itu dan tersenyum ramah. "Terima kasih," ucapnya, kemudian beranjak pergi. "Maaf," Pengacara itu bersuara lagi, "Apakah … Anda adalah istri dari Tuan Morgan?" Dia bertanya. Bukan raut penasaran yang terlihat di wajahnya, melainkan sorot iba dan gelisah. Yuna menganggukkan kepala membenarkan. "
Yuna bisa mendengar perintah Morgan dengan jelas. Namun, gadis itu tak langsung mengerti. Wajahnya masih bingung saat ia menerima dokumen itu, kemudian membukanya. Surat Pengajuan Perceraian. Mata Yuna membelalak seketika. “Ini—”“Baca sampai habis,” titah Morgan dengan dingin. Napas Yuna menjadi lebih berat saat ia melanjutkan. Gadis itu terus membaca poin demi poin. Kata-kata baku khas pengadilan bagaikan tusukan jarum dingin yang menembus jantungnya. Hingga tanpa sadar mata Yuna mulai berkaca-kaca membacanya.Di akhir, ada ruang untuk tanda tangan dan sudah ada tanda tangan Morgan di sana. Tanda pria itu menyetujui semua poin di atas. “Aku akan menceraikanmu, dengan beberapa persyaratan,” ucap Morgan, “Pertama, kita akan berpisah setelah sembilan bulan, setelah bayi itu lahir. Kemudian, anak itu akan menjadi milikku. Dia akan menjadi pewarisku. Sebagai gantinya, aku akan memberimu satu milyar sebagai bayaran atas segala usahamu.” Pernikahan Kontrak Satu Milyar. Yuna terseny
Yuna menunggu dengan resah di meja makan. Sejak tadi, ia bolak-balik mengecek ponselnya, melihat apakah ada pesan masuk dari pria itu. Saat pertama bertukar nomor ponsel dengan Delvin, Yuna tak tahu ia benar-benar akan membutuhkan pria itu. Seperti sekarang. Namun, Delvin tak kunjung membalas pesannya. Kediaman Morgan menjadi sunyi seperti rumah hantu kala siang. Awalnya, Yuna ingin ikut Lastri berbelanja, tetapi Lastri melarang karena takut ditegur oleh Morgan. Kini, Yuna terjebak di rumah itu, menunggu Lastri ataupun Morgan pulang. Perhatian Yuna teralihkan saat ia mendengar deru mesin mobil di halaman. "Apakah Morgan pulang cepat?" Gadis itu bertanya-tanya. Namun, alih-alih mobil hitam mewah milik Morgan, ia justru menemukan mobil merah sudah terparkir di pelataran parkir dekat air mancur. Seorang wanita keluar dari mobil. Dia mengenakan kacamata hitam dan Yuna menerka usianya tiga puluhan. Gadis itu bertanya-tanya apakah dia Evelyn, tetapi dugaan itu langsung terbantahkan
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i