Yuna merasa mual sejak pagi.
Semakin hari, tanda-tanda kehamilan semakin jelas Yuna rasakan. Hingga saat ia terbangun pagi ini, Yuna langsung memuntahkan isi perutnya. Meski demikian, Nara terus mendesaknya untuk bersiap-siap. Kali ini pun, Yuna masih duduk di depan meja rias. Nara merombak total penampilannya. Rambut Yuna yang biasa diikat kini dibiarkan tergerai. Nara memberikan riasan tipis dan Yuna pikir itu semua sudah cukup, tetapi Nara mendesak untuk memperbaiki penampilannya. "Ini dia. Aku menemukannya." Nara berseru dari arah kamarnya. Dia kembali dan membawa sebuah kotak. "Apa yang kau lakukan—""Sudah, percayakan saja padaku," ucap Nara. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidung Yuna dan menggantinya dengan lensa kontak. Dalam waktu kurang dari dua jam, penampilan gadis itu sudah berubah total. "Ini dia. Kau harus memberi pelajaran kepada Sean. Enak saja dia berpaling begitu saja, padahal kau yang menemaninya dari nol, bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan itu!" Nara terus menggerutu. Yuna hanya tersenyum canggung. Sejujurnya, dia sudah mengikhlaskan Sean. Pikirannya kini terpusat pada janin dalam kandungannya. Rasa mual yang semakin menjadi membuat Yuna merasa yakin janin itu benar hidup dalam perutnya. "Sepertinya, lebih baik aku tidak datang," ucap Yuna, khawatir ia mual-mual di tempat pernikahan. "Tidak bisa!" Nara mendesak. "Kau harus datang dan menyelamatkan nama baikmu. Ngomong-ngomong, sepertinya perutmu bertambah besar." Nara berkomentar. Dia berdiri dan memperhatikan area perut Yuna dengan saksama. Gadis itu cepat-cepat menyembunyikan dengan tangannya. "Jangan bercanda," ucap Yuna, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tunggu, sejak kemarin juga kamu terus memperhatikannya. Jangan-jangan …" Nara memicingkan mata dengan curiga dan Yuna semakin gugup. Dia mengerjap cepat. "A—apa?" "Jangan-jangan berat badan kamu bertambah, Yuna!" Nara berseru. "Sudah kubilang, kamu harus berhenti makan malam mulai sekarang." Sahabatnya itu mulai mengomel. Yuna mengembuskan napas lega mendengarnya. Ia khawatir Nara mungkin menyadari perubahan signifikan di tubuhnya. "Setelah pulang, aku akan mengajakmu berjalan-jalan agar berat badanmu turun," tutur Nara. Yuna ingin menyetujui, tetapi suara Morgan tiba-tiba kembali mengiang di kepalanya. "Tidak bisa," jawab Yuna, "Aku … aku memiliki janji dengan seseorang sore ini." Nara mengerutkan alis. Selama ini, lingkup pertemanan Yuna tidak terlalu luas. Gadis itu hanya memiliki Nara dan Sean. "Siapa?" Nara bertanya. Yuna mereguk saliva dengan gugup. "Kau tidak mengenalnya. Ini … ini hanya urusan bisnis." Dia mencoba berkilah. "Ya sudah. Tunggu di sini, aku akan bersiap-siap," ucap Nara, kemudian beranjak pergi ke kamarnya. Yuna memandang pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat jauh lebih cantik. Akan tetapi, itu semua percuma sebab dia telah melihat Aubrey dan gadis itu jauh lebih cantik dari dirinya. ******Nara benar-benar menemani Yuna dan gadis itu tercengang melihat mempelai pengantin. "Dia … dia adalah kekasih Sean?" tanya gadis itu dengan terbata. Jelas Nara kaget, sebab Aubrey memang sangat cantik layaknya model. Jika dibandingkan dengan mereka, jelas keduanya kalah jauh. Yuna hanya tersenyum canggung. "Sudah kubilang, lebih baik kita tidak datang," ucapnya. "Tunggu sebentar." Nara masih terlihat syok. "Aku akan mengambil minuman. Tunggu di sini," ucap gadis itu, kemudian segera beranjak menuju prasmanan tempat minuman disajikan. Yuna mengembuskan napas panjang. Perutnya kembali terasa tidak enak. Dia berjalan mundur seraya mengedarkan pandangan ke sekitar dan tiba-tiba kakinya terasa membentur kaki orang lain. "Maafkan aku." Yuna cepat-cepat membungkuk. "Aku tidak sengaja melakukannya." "... kau." Tubuh Yuna seakan membeku di tempat mendengar suara itu. Suara dingin yang sudah tiga kali memanggilnya dengan cara yang sama.Perlahan, Yuna mengangkat wajah dan tubuhnya seketika bergidik mendapati pria di depannya adalah Morgan yang duduk di kursi roda. Pria itu menatap Yuna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia terlihat jauh berbeda. Alis Morgan langsung mengernyit. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Morgan. "Apakah … kau membuntutiku?"Yuna membelalakkan mata dan langsung menggeleng. "Tidak," jawabnya, "Tentu saja aku tidak—""Yuna?" Suara seorang pria kembali terdengar. Kali ini datangnya dari Sean. Jantung Yuna seakan berhenti berdetak. Pria itu berjalan mendekat bersama Aubrey. "Kalian—" Aubrey tercekat dan memandang keduanya bergantian. "Apakah kalian saling mengenal?" Alis Morgan menukik tajam. Ia memiliki otak yang cerdas, tetapi tiba-tiba tak bisa mencerna situasi di hadapannya. "Kau mengenal dia, Aubrey?" Morgan bertanya. Wanita dalam balutan gaun pengantin itu mengangguk. "Dia adalah mantan kekasih Sean yang sudah dicampakkan," jawabnya, kemudian melirik tak senang ke arah Yuna, "Aku tidak menyangka kau akan datang," sambungnya. Tidak. Tunggu. Morgan semakin sulit memahami situasinya. Dia memandang Yuna, kemudian Sean, dan Aubrey. Yuna dicampakkan oleh Sean yang kebetulan adalah selingkuhan Aubrey. Kemudian, Yuna mendatanginya dan mengaku hamil. Morgan menatap Yuna dengan sorot tajam. "Gadis licik," katanya, "Apakah kau sengaja menjebakku?" tuduh pria itu dengan suara pahit. Mendengarnya, Yuna yang sejak tadi menunduk seketika mendongak dan menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya seraya masih menggeleng, "Aku benar-benar tidak mengetahui hal ini." "Menjebak?" Sean mengerutkan kening. "Apa yang terjadi? Siapa yang dijebak?" Aubrey tak langsung berkomentar. Dia memandang Yuna dan Morgan bergantian, kemudian mendecih. "Aku tidak menyangka seleramu jatuh pada gadis seperti dia, Morgan," komentarnya. Morgan tidak menjawab. Dia masih membungkam. Hampir saja. Sejak semalam, dia terus teringat pada Yuna. Gadis itu terlihat polos, tetapi ternyata sangat licik. Ia benar-benar hampir jatuh pada tipu muslihatnya. Tidak heran jika selama ini Morgan merasa aneh. Ia yang didiagnosa tidak memiliki keturunan, tiba-tiba seorang gadis mendatanginya dan berkata hamil anak darah dagingnya. Yuna bahkan secara tidak langsung berharap agar Morgan menikahinya. Dan, tiba-tiba semuanya menjadi sempurna karena ternyata selingkuhannya adalah mantan Yuna?Mana mungkin takdir berjalan semulus ini? Sudah jelas semua ini adalah rencana, yang secara langsung dibuat oleh Yuna. Morgan menatap ke arah Yuna dengan sorot gelap dan kecewa. "Kau terlihat sangat polos dan tulus sampai aku hampir terbuai oleh air matamu. Tidak disangka, rupanya kau hanya gadis yang licik," ucap pria itu. Yuna menggelengkan kepala berulang kali. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Morgan, ini tidak seperti yang kau pikirkan—akh." Tak hanya mual, tiba-tiba perut Yuna didera oleh rasa sakit hebat hingga salivanya terasa pahit. Dunia seakan berputar dalam pandangannya dan tak tubuh waktu lama hingga pandangannya menjadi gelap gulita. ******"Dia hamil, Tuan." Itu adalah kata pertama yang diucapkan dokter setelah memeriksa Yuna. Gadis itu masih tak sadarkan diri dan dokter itu berbicara langsung kepada Morgan. Dia masih duduk di kursi roda, hingga dadanya seakan ditembus peluru saat mendengar diagnosa dokter. "Apakah janin itu bisa dites DNA, Dokter?" Morgan bertanya meski tenggorokannya sudah seperti disumbat jarum. "Karena plasentanya sudah terbentuk, bisa saja dilakukan. Apakah Anda ingin melakukannya?" Dokter itu bertanya. Leher Morgan terasa berat untuk mengangguk. Jauh dalam lubuk hatinya ia takut hasilnya benar cocok. "Ya, lakukanlah," perintahnya dengan suara tegas.Umumnya, hasil tes bisa keluar satu hari setelah pengecekan. Namun, Morgan membayar mahal agar hasilnya bisa keluar dalam waktu dua jam. Dia membaca berkas di tangannya dan seluruh tubuhnya seakan membeku. "Hasilnya 98% cocok, Tuan." Dokter itu memberitahu. Dada Morgan seakan tenggelam. Itu berarti Yuna tidak berbohong. Dia benar-benar hamil setelah hubungan intim mereka malam itu. "Sekarang apa yang akan kita lakukan, Tuan?" Calvin yang bekerja sebagai pelayan pribadi Morgan bertanya. Ia bisa memahami kecemasan sang majikan. Pikiran Morgan seolah berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini semua di luar prediksinya. Hingga suara yang aneh tiba-tiba terdengar di ruangan itu. “Bunyi apa ini?” Morgan bertanya, mencari-cari sumber suara. “Ini suara detak jantung bayi Anda, Tuan,” ucap dokter itu. Jawaban itu membuat Morgan semakin kesulitan untuk bernapas. Ia bisa mendengar dengan jelas detaknya. Lemah, tetapi teratur, menunjukkan adanya kehidupan. Suara lain dari p
Evelyn. Memanggil ….Morgan duduk di kursi roda dan memandangi layar ponselnya. Sejak tadi, benda itu mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab. Pria itu tampak sudah rapi dan siap dalam pakaian formalnya. Untuk hari penting ini, Morgan memilih mengenakan kemeja putih dengan tuksedo hitam yang terlihat berkelas. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sudah siap untuk menghadapi hari ini. Namun, pikirannya tertuju pada hal lain.Hanya tinggal menghitung jam hingga pernikahannya berlangsung, dan Morgan justru memikirkan orang lain. Seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah kembali padanya.“Tuan, kita harus berangkat sekarang,” ucap Benny, sekretaris sekaligus pendamping Morgan hari ini. Sekali lagi, Morgan melirik pada ponselnya yang gagal menghubungi wanita itu. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Ayo berangkat,” ucapnya dengan suara berat. ******“Apa-apaan ini?” Dewi memprotes saat berada di kamar Yuna. Kamar itu dipenuhi ole
"Terima kasih untuk kerja sama Anda hari ini," ucap Benny, mewakili suara Morgan yang berada di sisinya, "Kalau begitu, kami pamit pulang terlebih dahulu—""Pulang?" Dewi menyela dengan logat kampungnya. "Tidak perlu terburu-buru. Sudah menjadi tradisi kalau pengantin pria dan wanita harus menghabiskan malam bersama," ucap Dewi dengan bersemangat. Yuna membelalakkan mata dengan terkejut, begitu pula Benny dan Morgan yang bertukar pandang dengan canggung. "Soal itu, kami—""Jangan khawatir," Dewi kembali menyela, "Walaupun rumah kami kecil, aku sudah menyiapkan kamar khusus untuk kalian berdua," tambahnya. Kontras dengan sikap Yuna yang lebih banyak diam, karakter Dewi sangat keras, persis seorang ibu tunggal. Wajah Morgan menjadi semakin pucat mendengarnya. Ia tak pernah menyangka jika harus melakukan ritual itu juga. Senna tersenyum licik, sementara Yuna cepat-cepat mendekati sang ibu. "Apa yang Ibu katakan?" ucap Yuna, memberi isyarat agar sang ibu berhenti. Ia tahu Morgan mera
"Akan ada sopir yang menjemputmu siang ini. Segera bereskan barang-barangmu." Demikian pesan yang ditinggalkan Morgan sebelum pria itu pergi. Saat Yuna terbangun di atas tikar, ia melihat Morgan sudah bersiap pergi dan pria itu menyampaikan pesan tersebut. Yuna tak sempat mencegah kepergiannya. "Apakah Morgan sudah pergi?" Dewi bertanya. Wanita itu kembali ke rumah untuk memasak sarapan dan kini Yuna tengah berada di dapur, membantunya. Dewi bukannya wanita yang buta dan tak peka. Ia bisa langsung menyadari kejanggalan pada hubungan keduanya. Oleh sebab itu, ia sengaja mengurung mereka semalaman, dengan harapan sesuatu yang berbeda akan tercipta di antara keduanya. Yuna mengangguk. "Katanya, ada rapat pagi-pagi yang harus didatangi," ucapnya, setengah berbohong demi menutupi reputasi baik suaminya. Seakan bisa menyadari kebohongan dalam suara sang putri, Dewi berhenti memotong sayuran dan mengamati tubuh putri sulungnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kalian benar melaku
"Anda yakin akan ikut, Nyonya? Saya bisa mengambilnya sendiri," ucap sopir itu. Dia sedikit terkejut karena tahu-tahu Yuna berkata akan ikut. Wanita itu menggelengkan kepala dan tersenyum. "Tidak apa-apa. Morgan bilang dia sangat membutuhkannya," ucap Yuna. Ia senang jika bisa melakukan sesuatu untuk suaminya itu. Ini kali pertama Morgan meminta sesuatu darinya, jelas Yuna akan berusaha memenuhinya. Sesuai dengan tekad yang telah ia buat sebelum pindah kemari. Akhirnya, Yuna benar-benar iktu dan sedikit takjub sebab firma hukum Redlion bukanlah firma hukum sembarangan. "Ini dokumen untuk Tuan Morgan Lewis Spencer," ujar seorang pengacara yang telah Morgan sewa. Yuna menerima map cokelat itu dan tersenyum ramah. "Terima kasih," ucapnya, kemudian beranjak pergi. "Maaf," Pengacara itu bersuara lagi, "Apakah … Anda adalah istri dari Tuan Morgan?" Dia bertanya. Bukan raut penasaran yang terlihat di wajahnya, melainkan sorot iba dan gelisah. Yuna menganggukkan kepala membenarkan. "
Yuna bisa mendengar perintah Morgan dengan jelas. Namun, gadis itu tak langsung mengerti. Wajahnya masih bingung saat ia menerima dokumen itu, kemudian membukanya. Surat Pengajuan Perceraian. Mata Yuna membelalak seketika. “Ini—”“Baca sampai habis,” titah Morgan dengan dingin. Napas Yuna menjadi lebih berat saat ia melanjutkan. Gadis itu terus membaca poin demi poin. Kata-kata baku khas pengadilan bagaikan tusukan jarum dingin yang menembus jantungnya. Hingga tanpa sadar mata Yuna mulai berkaca-kaca membacanya.Di akhir, ada ruang untuk tanda tangan dan sudah ada tanda tangan Morgan di sana. Tanda pria itu menyetujui semua poin di atas. “Aku akan menceraikanmu, dengan beberapa persyaratan,” ucap Morgan, “Pertama, kita akan berpisah setelah sembilan bulan, setelah bayi itu lahir. Kemudian, anak itu akan menjadi milikku. Dia akan menjadi pewarisku. Sebagai gantinya, aku akan memberimu satu milyar sebagai bayaran atas segala usahamu.” Pernikahan Kontrak Satu Milyar. Yuna terseny
Yuna menunggu dengan resah di meja makan. Sejak tadi, ia bolak-balik mengecek ponselnya, melihat apakah ada pesan masuk dari pria itu. Saat pertama bertukar nomor ponsel dengan Delvin, Yuna tak tahu ia benar-benar akan membutuhkan pria itu. Seperti sekarang. Namun, Delvin tak kunjung membalas pesannya. Kediaman Morgan menjadi sunyi seperti rumah hantu kala siang. Awalnya, Yuna ingin ikut Lastri berbelanja, tetapi Lastri melarang karena takut ditegur oleh Morgan. Kini, Yuna terjebak di rumah itu, menunggu Lastri ataupun Morgan pulang. Perhatian Yuna teralihkan saat ia mendengar deru mesin mobil di halaman. "Apakah Morgan pulang cepat?" Gadis itu bertanya-tanya. Namun, alih-alih mobil hitam mewah milik Morgan, ia justru menemukan mobil merah sudah terparkir di pelataran parkir dekat air mancur. Seorang wanita keluar dari mobil. Dia mengenakan kacamata hitam dan Yuna menerka usianya tiga puluhan. Gadis itu bertanya-tanya apakah dia Evelyn, tetapi dugaan itu langsung terbantahkan
Suasana menjadi hening setelah Lina pergi. Yuna masih terhenyak. Tak hanya kepada dirinya, Morgan pun tak segan menunjukkan sikap kejam pada keluarganya. "Bukankah aku sudah memintamu untuk merahasiakan pernikahan ini?" Morgan bertanya. Yuna terlalu larut dalam lamunan hingga tak sadar jika Morgan sudah menatap tajam ke arahnya. "Ma—maafkan aku," ucap Yuna, "Aku tidak tahu jika dia adalah keluargamu." Sejak awal, Yuna berniat merahasiakannya hingga Pak Yono datang dan membocorkan semuanya. Namun, Yuna tak ingin menyebut nama pria itu, khawatir Morgan akan langsung memecatnya. "Keluarga, teman, atau kolega bisnisku sekalipun tak perlu mengetahui pernikahan ini, toh pada akhirnya kita akan bercerai," tutur Morgan, terdengar tidak senang dengan Yuna. Kata-kata itu menyayat hati Yuna dengan menyakitkan. Namun, setengah bagian dirinya sedikit mengerti setelah menyaksikan perdebatan mereka. Di dunia Morgan, sangat aneh menikahi gadis miskin sepertinya. Bagaikan singa yang menikah de
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i