Mata Yuna mengerjap terbuka saat secercah cahaya matahari memasuki kamar itu.
Ia beringsut membalikkan tubuhnya dan samar-samar melihat siluet orang lain. Lebih tepatnya, siluet seorang pria. “Apakah kau menikmati permainan semalam, Nona?” tanya suara serak itu. Mata Yuna seketika membelalak terbuka. Ia benar-benar mendapati seorang pria di sisinya. Tanpa busana. Ia pun menunduk pada tubuhnya sendiri yang juga tanpa busana. Seketika Yuna berteriak kencang. Morgan memicingkan mata dengan risi. “Berisik sekali. Mengapa kau berteriak? Aku sudah melihat semuanya tadi malam,” tutur pria itu. Ucapannya membuat Yuna semakin panik. “Kau—pria berengsek!” sergahnya. “Pergi! Pergi dari kamarku!” Yuna mulai memukuli tubuh atletis Morgan dengan bantal. Memaksa pria itu untuk ikut bangun.“Kamarmu? Ini adalah kamarku!” bantah pria itu. Yuna seketika terdiam. Sekali lagi, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Kamar yang ia tempati memang terlihat sangat mewah. Bahkan ranjangnya pun king size. Tak mungkin Nara mampu menyewa kamar hotel semewah ini. Deg Mata Yuna membelalak. “Ma—maksudmu ..., akulah penyebab semua kesalahan ini?” sentaknya. ******“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu jika aku ternyata salah memasuki kamar,” ucap Yuna. Kini, keduanya sudah berpakaian dan Yuna tengah berlutut di lantai. Tidak ada yang memintanya untuk melakukan itu. Namun, Yuna merasa amat bersalah hingga secara naluriah meminta permohonan dengan cara itu. Di depannya, pria tak dikenal itu tampak sudah rapi dalam balutan jas. Wajahnya tampan dan tubuhnya atletis. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sempurna.Dia menatap Yuna dengan dingin. “Bagaimana kau bisa masuk kemari?” Yuna menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Aku langsung masuk saja.” “Kau pikir aku akan mempercayainya?” sergah Morgan.Pria itu memejamkan mata sejenak. Dalam hati merasa amat menyesal dengan tindakannya. Kepalanya masih terasa pening dan ia tidak ingat sejauh mana mereka melakukannya tadi malam. “Lupakan saja, bicaralah pada sekretarisku. Dia yang akan menyelidikimu,” ucap Morgan.Yuna seketika mendongak dan menatap Morgan dengan sorot membelalak. “Me—menyelidiki?” Dia terlihat ketakutan. “Ini ... ini adalah kesalahan yang bisa kita selesaikan dengan cepat dengan permintaan maaf, Tuan.” Morgan menyeringai dan mendengkus kasar. Tadi malam, ia mungkin kehilangan pikirannya. Namun, sekarang pria itu sudah sadar dan baru menyadari betapa serius masalah mereka. “Ini adalah tindak kriminal. Wanita asing tiba-tiba memasuki kamarku. Siapa yang menjamin kau tidak melakukannya untuk menjebakku?” tuduh Morgan. “Menjebak?” Wajah Yuna bertambah pucat mendengar tuduhan itu. Ia sangat takut Morgan akan membawanya ke polisi. Jika ibunya tahu ia membuat keributan hingga masuk kantor polisi, tak diragukan lagi Yuna akan habis di tangannya. “Demi Tuhan aku tidak pernah terpikir untuk melakukannya!” ucap gadis itu dengan panik. Bibir Morgan terbuka untuk mengeluarkan tuduhan lain, tetapi terhenti saat Benny melangkah masuk. Pria itu menghampiri Morgan dan berbisik di dekatnya. “Dia benar-benar menyewa kamar di hotel ini, Tuan. Kamar 306. Sepertinya, dia salah memasuki kamar.” Benny memberitahu. Morgan membungkam. 306 dan 309. Jadi, gadis itu tidak berbohong? Dia benar-benar salah memasuki kamar? Namun, bagaimana bisa? Seharusnya kunci kamar hotel itu hanya bisa diakses oleh penyewa. Pria itu mengembuskan napas panjang. “Kalau begitu, ini kesalahan kita berdua.” Dia menyimpulkan. “Ayo kita selesaikan ini dengan cepat.” “Sebelum itu ..., aku ingin bertanya,” ucap Yuna.Raut pucatnya kini digantikan oleh perasaan gugup yang tergambar jelas di wajahnya. “Katakan.” Yuna menelan saliva kelat, kemudian menatap lurus-lurus pada Morgan yang berdiri di hadapannya. “Anda ... tadi malam Anda memakai pengaman, 'kan?” tanya gadis itu. Hanya untuk memastikan. “Tidak.” Morgan menjawab enteng. “A—apa?!” sergah Yuna. Jantungnya seakan berhenti. Tubuhnya menjadi lemas seketika. “Lalu mengapa Anda melakukan itu?” Gadis itu memprotes. “Kau tiba-tiba memasuki kamar ini dan menggodaku. Mana mungkin aku memiliki stok untuk benda semacam itu,” jawab Morgan. Yuna tidak mengerti mengapa Morgan bisa bersikap setenang itu di tengah situasi genting. Ia menatap Morgan dengan resah. “Lalu, bagaimana jika aku hamil?” tanya Yuna, terang-terangan. “Kau tidak akan hamil.” Morgan menjawab datar. Yuna mengernyitkan alis. Ia memang tak ingat sedikit pun kenangan mereka malam tadi. Namun, area kewanitaannya masih terasa sakit, bahkan ia sempat melihat bercak darah, bukti bahwa pria itu benar-benar menembus pertahanannya tadi malam. “Mengapa Anda begitu yakin?” tanya Yuna. “Jika kau hamil, maka kau akan menjadi orang paling beruntung di dunia.” Morgan menjawab seraya melirik pada arlojinya. 07.45. Ia harus menemui Aubrey pukul 08.00. Tak ada waktu lagi. “Kita akan membereskan ini dengan cepat. Benny, berikan cek dan pulpen untuknya,” titah Morgan. Dia terlihat begitu tenang dan datar. Sedatar air di danau yang dalam. Sikapnya menunjukkan seolah konflik seperti ini adalah hal biasa untuknya. Benny pun memberikan Yuna secarik kertas serta sebuah pulpen. Gadis itu menatapnya dengan bingung. “Apa ini?”“Bayaran untukmu,” jawab Morgan, “Tuliskan saja nominalnya. Berapa pun. Dari tiga juta sampai tiga milyar. Aku akan membayarnya. Dengan syarat, kita tak boleh bertemu lagi setelah hari ini,” tutur pria itu. Morgan tak memiliki banyak waktu. Setiap detik amat berharga baginya sehingga ia dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan cepat. Lagi pula, akan jauh lebih baik bagi mereka jika masalah ini selesai lebih cepat. “Tidak perlu melakukannya,” jawab Yuna. Dia menaruh cek dan pulpen itu di atas meja.Untuk pertama kalinya, ketenangan menghilang dari wajah Morgan. Dia menatap Yuna dengan sorot tak percaya. “Kenapa?”Sulit dipercaya. Padahal, para wanita di luar berusaha agar bisa satu ranjang dengan Morgan. Mereka tak akan segan mengeruk harta pria itu. Kali ini, dia justru menolaknya mentah-mentah. Yuna menatap Morgan dan tersenyum canggung. “Seperti yang kau katakan, ini adalah kesalahan kita bersama. Maka, aku tidak bisa menerima ini. Kita harus melupakan kejadian malam tadi. Aku akan langsung pergi sekarang,” ucapnya. Wanita itu mengangguk satu kali, kemudian beranjak bangkit. Dia mulai melangkah pergi meninggalkan ruangan. “Tunggu.” Suara Morgan terdengar lagi. Yuna berhenti. Perlahan, ia menoleh ke arah Morgan. Pria itu berjalan menghampirinya, kemudian memberikan secarik kertas. “Hubungi nomor ini jika kau benar-benar hamil,” katanya. Yuna menunduk untuk membacanya. Morgan Lewis Spencer. Direktur utama Ehited Airways. Gadis itu mengangguk dan langsung memasukkan kartu nama itu ke dalam saku. “Baiklah. Aku akan pergi sekarang,” katanya, kemudian berjalan menjauh. Ia berharap tak akan pernah menghubungi ataupun bertemu lagi dengan pria itu. “Apakah ada yang tertinggal, Tuan?” Benny bertanya. Sudah lewati bermenit-menit semenjak mereka berpisah. Kini, keduanya sudah berada di dalam lift menuju restoran di hotel bintang lima tersebut. Akan tetapi, wajah Morgan masih terlihat risau. Morgan menggeleng. Ia hanya merasa resah dengan reaksi Yuna. Setelah membaca kartu namanya, umumnya orang-orang akan berdecak kagum atau bahkan mengubah perlakukannya. Namun, gadis itu tak menunjukkan reaksi apa pun. Bahkan, ia langsung memasukkannya ke dalam saku seakan itu tidak berharga. “Benar-benar gadis aneh,” gumamnya.Dua bulan kemudian …. Dua garis merah. Yuna membelalakkan mata. Tangannya refleks menutup bibirnya dengan syok. Seluruh kekuatannya seakan hilang dan Yuna jatuh terduduk di atas toilet duduk di kamar mandinya. Sudah lebih dari dua bulan Yuna telat datang bulan. Awalnya, gadis itu berpikir mungkin karena stress setelah ditinggal Sean. Namun pagi ini, Yuna iseng mengeceknya dan tahu-tahu mendapat hasil yang mengejutkan. “Tidak mungkin!” gumam wanita itu dengan panik. Ia membasuh peluh di pelipisnya, kemudian cepat-cepat membuka kemasan alat tes kehamilan lainnya. Entah kebetulan atau apa, saat di apotek, Yuna memiliki firasat harus membeli dua. Cepat-cepat gadis itu kembali mengeceknya. Wajah Yuna menjadi pucat saat mendapatkan hasil dua garis merah yang sama. Tamatlah riwayatnya. Dok dok dok “Yuna! Apa yang kau lakukan di dalam?! Ibu mau ke kamar mandi!” Terdengar suara sang ibu dari luar. Wajah Yuna bertambah pucat. Ibunya pasti akan menghabisi Yuna di tempat jika mengetahu
Tuut tuut tuut “Halo? Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Suara itu tak terdengar seperti Morgan, melainkan sekretarisnya. Yuna seketika menjadi gelagapan. Tak tahu bagaimana harus merangkai kata-kata. “A—aku Yuna,” jawabnya, “Aku memiliki hal penting untuk dibicarakan dengan Morgan Lew … Morgan Lew—” Yuna tampak kesulitan mengeja nama itu. “Morgan Lewis Spencer.” “Tuan Morgan mengalami kecelakaan mobil parah tiga minggu lalu. Semua urusan yang berkaitan dengannya akan diserahkan kepada sekretarisnya untuk sementara.” Benny mengumumkan. ******Yuna pikir, masalah itu bukan hal yang seharusnya diserahkan kepada sekretaris Morgan, sekalipun dia adalah sekretaris pribadi. Yuna bersikeras untuk bicara kepada Morgan. Awalnya, Benny menolak. Namun, begitu mendengar nama Yuna, Morgan setuju untuk bicara. Dengan syarat gadis itu harus datang langsung menemuinya.Yuna pun menyanggupi. Kini, gadis itu ternganga di depan kediaman Morgan. Sejak awal, ia tahu Morgan adalah orang kaya.
“Kau yakin?” Morgan bertanya. Dia tidak terlihat goyah setelah mendengar kata-kata ‘menggugurkan’. Iris hitamnya masih memandang Yuna dengan dingin seolah janin dalam kandungannya bukanlah manusia yang harus dipertahankan. Justru Benny yang terlihat cemas. Tampaknya, sekretaris itu lebih bisa memahami makna nilai-nilai moral daripada bosnya. “Ya.” Yuna menjawab meski hatinya seakan tersayat saat membayangkannya. “Itu yang Anda inginkan, bukan?” “Kau—” Perkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba terdengar dering ponsel menguar di ruangan. Benny cepat-cepat mengecek ponselnya dan berjalan ke sudut untuk menjawab. “Baik. Terima kasih,” tutur pria itu. Dan, panggilan telepon diakhiri. “Ada apa?” Morgan kembali bertanya. Dia melirik ke arah Yuna sekilas. Seolah ragu apakah hendak mengatakannya di depan gadis itu. “Nona Aubrey datang, Tuan, dan dia membawa seorang pria bersamanya.” Benny memberitahu. Yuna tak berkutik. Ia yakin Aubrey adalah tunangan Morgan. Alis Morgan berkerut pen
Yuna merasa mual sejak pagi. Semakin hari, tanda-tanda kehamilan semakin jelas Yuna rasakan. Hingga saat ia terbangun pagi ini, Yuna langsung memuntahkan isi perutnya. Meski demikian, Nara terus mendesaknya untuk bersiap-siap. Kali ini pun, Yuna masih duduk di depan meja rias. Nara merombak total penampilannya. Rambut Yuna yang biasa diikat kini dibiarkan tergerai. Nara memberikan riasan tipis dan Yuna pikir itu semua sudah cukup, tetapi Nara mendesak untuk memperbaiki penampilannya. "Ini dia. Aku menemukannya." Nara berseru dari arah kamarnya. Dia kembali dan membawa sebuah kotak. "Apa yang kau lakukan—""Sudah, percayakan saja padaku," ucap Nara. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidung Yuna dan menggantinya dengan lensa kontak. Dalam waktu kurang dari dua jam, penampilan gadis itu sudah berubah total. "Ini dia. Kau harus memberi pelajaran kepada Sean. Enak saja dia berpaling begitu saja, padahal kau yang menemaninya dari nol, bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan it
Umumnya, hasil tes bisa keluar satu hari setelah pengecekan. Namun, Morgan membayar mahal agar hasilnya bisa keluar dalam waktu dua jam. Dia membaca berkas di tangannya dan seluruh tubuhnya seakan membeku. "Hasilnya 98% cocok, Tuan." Dokter itu memberitahu. Dada Morgan seakan tenggelam. Itu berarti Yuna tidak berbohong. Dia benar-benar hamil setelah hubungan intim mereka malam itu. "Sekarang apa yang akan kita lakukan, Tuan?" Calvin yang bekerja sebagai pelayan pribadi Morgan bertanya. Ia bisa memahami kecemasan sang majikan. Pikiran Morgan seolah berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini semua di luar prediksinya. Hingga suara yang aneh tiba-tiba terdengar di ruangan itu. “Bunyi apa ini?” Morgan bertanya, mencari-cari sumber suara. “Ini suara detak jantung bayi Anda, Tuan,” ucap dokter itu. Jawaban itu membuat Morgan semakin kesulitan untuk bernapas. Ia bisa mendengar dengan jelas detaknya. Lemah, tetapi teratur, menunjukkan adanya kehidupan. Suara lain dari p
Evelyn. Memanggil ….Morgan duduk di kursi roda dan memandangi layar ponselnya. Sejak tadi, benda itu mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab. Pria itu tampak sudah rapi dan siap dalam pakaian formalnya. Untuk hari penting ini, Morgan memilih mengenakan kemeja putih dengan tuksedo hitam yang terlihat berkelas. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sudah siap untuk menghadapi hari ini. Namun, pikirannya tertuju pada hal lain.Hanya tinggal menghitung jam hingga pernikahannya berlangsung, dan Morgan justru memikirkan orang lain. Seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah kembali padanya.“Tuan, kita harus berangkat sekarang,” ucap Benny, sekretaris sekaligus pendamping Morgan hari ini. Sekali lagi, Morgan melirik pada ponselnya yang gagal menghubungi wanita itu. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Ayo berangkat,” ucapnya dengan suara berat. ******“Apa-apaan ini?” Dewi memprotes saat berada di kamar Yuna. Kamar itu dipenuhi ole
"Terima kasih untuk kerja sama Anda hari ini," ucap Benny, mewakili suara Morgan yang berada di sisinya, "Kalau begitu, kami pamit pulang terlebih dahulu—""Pulang?" Dewi menyela dengan logat kampungnya. "Tidak perlu terburu-buru. Sudah menjadi tradisi kalau pengantin pria dan wanita harus menghabiskan malam bersama," ucap Dewi dengan bersemangat. Yuna membelalakkan mata dengan terkejut, begitu pula Benny dan Morgan yang bertukar pandang dengan canggung. "Soal itu, kami—""Jangan khawatir," Dewi kembali menyela, "Walaupun rumah kami kecil, aku sudah menyiapkan kamar khusus untuk kalian berdua," tambahnya. Kontras dengan sikap Yuna yang lebih banyak diam, karakter Dewi sangat keras, persis seorang ibu tunggal. Wajah Morgan menjadi semakin pucat mendengarnya. Ia tak pernah menyangka jika harus melakukan ritual itu juga. Senna tersenyum licik, sementara Yuna cepat-cepat mendekati sang ibu. "Apa yang Ibu katakan?" ucap Yuna, memberi isyarat agar sang ibu berhenti. Ia tahu Morgan mera
"Akan ada sopir yang menjemputmu siang ini. Segera bereskan barang-barangmu." Demikian pesan yang ditinggalkan Morgan sebelum pria itu pergi. Saat Yuna terbangun di atas tikar, ia melihat Morgan sudah bersiap pergi dan pria itu menyampaikan pesan tersebut. Yuna tak sempat mencegah kepergiannya. "Apakah Morgan sudah pergi?" Dewi bertanya. Wanita itu kembali ke rumah untuk memasak sarapan dan kini Yuna tengah berada di dapur, membantunya. Dewi bukannya wanita yang buta dan tak peka. Ia bisa langsung menyadari kejanggalan pada hubungan keduanya. Oleh sebab itu, ia sengaja mengurung mereka semalaman, dengan harapan sesuatu yang berbeda akan tercipta di antara keduanya. Yuna mengangguk. "Katanya, ada rapat pagi-pagi yang harus didatangi," ucapnya, setengah berbohong demi menutupi reputasi baik suaminya. Seakan bisa menyadari kebohongan dalam suara sang putri, Dewi berhenti memotong sayuran dan mengamati tubuh putri sulungnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kalian benar melaku
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i