Setelah bertemu bu Fatma, Keyla langsung jaga diruang rawat inap. Ia lebih banyak diam dari biasanya, membuat teman jaganya sedikit kebingungan. Ia pikir Keyla diam karena memikirkan ucapan beberapa staf yang masih diam-diam membicarakannya.
“Udah, Key, jangan terlalu di pikirin. Yang penting kamu gak bikin mereka rugi.” Keyla menoleh, “Aku gak mikirin omongan mereka kok. Aku cuma lagi ada masalah.” “Masalah apa?” “Ya ada lah. Aku ke toilet dulu ya.” Sepanjang melangkah menuju toilet, Keyla terus menunduk. Ia sampai tidak sadar didepannya ada Qairo yang tersenyum menungguinya. Qairo keheranan karena kekasihnya seperti tidak memiliki tenaga dalam menjalani hari. Keyla tidak sengaja menubruk tubuh Qairo, membuatnya terperanjat kaget, “Maaf saya gak liat-liat. Maaf.” Ia menunduk merasa bersalah. “Key?” Keyla mengangkat kepalanya, “Kak?” “Kamu kenapa?” Keyla tidak mungkin mengatQairo dan Keyla saling tatap. Tuh, ‘kan tebakan Keyla tidak salah. Ia sedikit kesal pada kekasihnya karena yang akan kerepotan adalah dirinya. Menghadapi Arial itu harus ekstra pintar dan sabar, karena tahu sendiri lah wataknya seperti apa. Belum lagi ia pasti mengadu pada papa sehingga sudah pasti Keyla akan diserang dua kali lipat. “Eum... itu kak Qai bercanda aja kok. Dia juga bisa manggil sayang ke yang lain, ke kak Sarah misalnya. Aku juga bisa manggil sayang ke kakak, ke kak Rocky.” “Oyah?” Keyla mengangguk. Orang yang dipanggil namanya itu baru datang. Ia keheranan melihat gerombolan disini, “Ada apa nih? Kok pada ngumpul disini?” Tak ada yang bicara. Arial masih melirik Qairo dan Keyla dengan sinis, sedang Keyla sedang memutar otaknya untuk bisa melawan Arial barang untuk saat ini saja. “Eum, kak Rocky, kita boleh ‘kan saling panggil sayang?” “Sayang? Sayang gimana?” “Kayak... kak Rocky sayang, udah makan siang belum?” Mata Rocky berbinar, ia merasa memiliki
Setelah kejadian Qairo memanggil Keyla secara terang-terangan, Arial tidak diam. Ia membicarakan itu dengan papa. Papa tentu saja sangat kaget dan takut. Bagaimana kalau mereka pacaran diam-diam dibelakang mereka? Dengan begitu, atas usul Arial, papa meminta satu pengawal untuk berjaga di dekat Keyla untuk memantaunya. Kini, saat Keyla kembali jaga malam. Ia duduk dengan canggung karena ada orang yang berdiri memperhatikannya. Teman jaganya apalagi. Ia yang sedari awal tidak masalah dengan kasus Keyla, tetap merasa terancam karena kini tahu Keyla bukanlah anak dari orang sembarangan. “Dok, maaf, istri saya dari sore ini tidak merasakan tendangan bayi. Barusan dia nangis karena takut terjadi apa-apa.” lapor suami pasien pada Keyla yang sedang duduk saja. “Oh iya, sebentar, pak, biar saya cek dulu.” Keyla berdiri dan masuk ke dalam ruang rawat inap. Ia melakukan pengecakan seperti yang sering ia lihat dilakukan oleh dokter residen dan konsulen. Keyla mengambil alat Fetal Dopple
Minggu pagi, Keyla masih bergumul dengan selimut tebal di kamar. Ia baru sampai ke rumah pukul sepuluh malam setelah menyelesaikan tugas laporannya selama berjaga. Arial yang sengaja menunggunya karena enggan Keyla pulang bersama Qairo, sudah bangun dari satu jam lalu. Ia sudah mandi dan rapi dengan baju kaos polo hitamnya dan celana pendek berwarna mocca. “Key, mau sampe kapan kamu tidur terus? Bangun!” Tidak ada jawaban. Arial membuka selimut dan menarik kaki Keyla, “Bangun!” “Ah, kak, aku masih ngantuk. Badan aku tuh rasanya remuk banget. Tolong biarin aku istirahat sejenak.” “Aku udah biarin kamu satu jam ya dari tadi.” Keyla berpegangan pada ujung kasur agar kakinya yang ditarik Arial tidak membuat tubuhnya terusir dari kasur, “Kakak!” “Bangun, mandi. Bukannya kamu mau nemenin aku pergi?” “Gak mau! Semalem ‘kan aku udah bilang gak mau!” “Aku gak nanya, aku perintahkan kamu untuk ikut.” Keyla berusaha sekuat tenaga mempertahankan tubuhnya di kasur. Ia engga
Keyla menurunkan lengan Arial dari pinggangnya. Ia terlihat tidak nyaman setelah Qairo berdiri disini. “Lo tanya aja sama Keyla.” jawab Arial ketus. “Eh ada apa nih, lo kenal Keyla, Qai?” tanya Andi keheranan. Qairo mengangguk. “Oh iya ya, biasanya ada kerja sama antara divisi obgyn dan anak.” Qairo menunduk lalu menatap Keyla sekilas, “Gue langsung ya, Ndi. Sekali lagi selamat atas pertunangan lo. Gue harus balik ke rumah sakit.” “Kok buru-buru sih, Qai. Gue belum liat lo makan loh.” “Gak papa, gue langsung ya. Duluan, Al, Key.” Qairo bergerak menjauhi kerumunan. “Qai, nanti gue maen ya ke Health Center. Lo harus banget kenalin gue sama calon istri lo.” teriak Andi. Qairo membalikkan badannya, “Gimana nanti.” Ia mengangkat tangannya berpamitan. Andi tertawa, “Lo sama si Qairo sebelas-dua belas. Dari dulu paling kalem. Tapi lo ada aja gebrakannya.” “Tadi Qairo bil
Arial memasuki kamar dan menatap Keyla sok galak, “Udah aku bilang ‘kan kamu jangan sembarangan masuk ke kamar aku. Kamu tidur siang disini lagi? Kamu ‘kan punya kamar sendiri, kenapa masih tidur disini?” Keyla diam sejenak. Ia paham Arial sedang menyelamatkan posisi mereka, “Ya biarin lah, masa tidur di kamar kakak sendiri gak boleh? Gak usah pelit jadi orang! Perkara tidur siang aja gak boleh!” “Bukan gitu, tapi aset kamu tuh bikin orang salah paham. Ambil dan keluar dari kamar aku!” Keyla melirik mbok Darmi yang membuang nafas lega setelah dua majikannya bisa berakting seolah memang Keyla yang menyusup ke dalam kamar Arial, “Iya-iya, bawel!” ia menghampiri Sarah, “Kak, maaf ya aku ambil asetnya, hehe.” Ia langsung keluar kamar dan memeletkan lidah ke arah Arial. Sarah masih membeku. Ia tidak bisa percaya begitu saja akting Arial dan Keyla barusan. “Itu bajunya udah ada ‘kan? Kamu ganti gih.” Sarah mengangguk, ia me
Arial keburu datang sehingga papa tidak sempat menjawab tanya Sarah. “Pa, kita berangkat dulu ya.” “Iya, hati-hati. Jalanan licin, kamu jangan ngebut.” “Iya, pa. Yuk, Sar.” “Kamu pulang jam berapa dari rumah sakit?” tanya papa saat Arial membuka ‘kan pintu mobil untuk Sarah. Untungnya hujan sudah berhenti. “Kalo pasien udah stabil aku langsung pulang.” “Oh ya, papa cuma mau minta sepulang dari rumah sakit kamu antar Keyla ke rumah tantemu ya di Bogor. Katanya tantemu pingin ketemu tapi gak bisa kesini karena sibuk sama usaha ketringnya.” Arial melirik Sarah sebentar lalu mengangguk, “Iya, pa.” “Ya sudah papa masuk dulu.” Arial menutup pintu mobil Sarah dan berjalan cepat menuju pintu sebrang. Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, tidak ada percakapan apapun. Arial fokus menyetir, dan Sarah fokus pada pikirannya mengenai ucapan papa. “Kamu gak dateng ke acara An
Keyla berlari dari poli obgyn menuju UGD setelah mendapat kabar dari papa kalau bu Fatma yang sudah pulang tadi pagi kembali ke sini karena pingsan dengan posisi tangan yang tertindih badannya sendiri. Gina yang izin tidak sekolah karena akan bersiap pulang bersama orang tua adopsinya, langsung menelpon papa sehingga pak Udin dengan sigap kesini membawa bu Fatma. “Ibuuu.” tangis Keyla pecah saat melihat bu Fatma masih pingsan dan sedang di opname. Beberapa dokter keluar masuk tirai yang ditutup. “Sayang, yang sabar ya.” papa memeluk Keyla. “Pa, ibu, pa.” Papa juga menitikan air matanya, “Bu Fatma pasti baik-baik aja.” Keyla membalikkan badannya dan memeluk papa erat, “Aku gak mau terjadi apa-apa sama ibu.” “Semuanya pasti baik-baik aja, sayang.” Arial baru sampai UGD. Ia mendekati papa yang sedang memeluk Keyla, “Pa, keadaan bu Fatma gimana?” “Tadi tensinya sampe dua ratus per sembilan puluh.”
Di ruangan pribadi Arial, karena telat makan siang, Keyla berhasil menghabiskan dua porsi nasi goreng Seafood yang dipesan banyak oleh Arial. Ia tahu dengan jelas, meski tengah sedih, Keyla pasti kelaparan. “Kamu belum chek up lagi lagi sama Sarah?” Keyla menggeleng, “Dua hari lagi.” “Hm.” “Kenapa? Mau ikut?” Arial menggeleng. “Kakak gak ngejar kak Sarah lagi?” Arial menggeleng. “Kenapa?” “Ngapain di kejar?” Keyla yang sedang mengetik di komputer kerja Arial melirik suaminya yang tengah duduk santai di sofa, “Jadi... waktu kak Sarah ke rumah itu kalian belum baikkan?” “Gak tahu.” “Tatapan kak Sarah waktu dirumah jadi beda loh sama kakak.” “Hm.” “Kok hm aja sih? Kasih respon lebih dong.” “Di mobil dia bilang terima cinta aku, Key.” Keyla melotot saat mengetik. Ia menggeser kursi hingga sofa dan mendekati Arial, “Bagus dong, kemajuan besar itu.” “Aku udah bilang ‘kan sama kamu kalo aku udah gak minat sama Sarah?” “Ah, itu mah kakakanya baperan. Kakak