Begitu juga yang tengah dirasakan Siska, yang tidak pernah menduga bahwa Pasha harus mengalami musibah ini lagi. Baru saja mereka sepakat untuk pergi cek kesehatan pada hari yang sudah mereka tentukan, tetapi mendadak rencana itu hanya tinggal wacana saja tanpa adanya realita.Setelah menunggu yang rasanya berlangsung berjam-jam lamanya, Siska melihat pintu ruangan Pasha terbuka dan Dokter Arjun muncul.“Bagaimana keadaan sepupu saya, Dokter?” tanya Ezra mewakili pertanyaan yang ingin Siska lontarkan. “Apa dia kambuh dengan penyakit yang sama?”Dokter Arjun tidak segera menjawab, dan itu semakin membuat Siska dilanda kecemasan yang begitu luar biasa.“Mari kita bicara di ruangan saya,” ajak Dokter Arjun tanpa ekspresi, membuat Siska dan Ezra saling pandang sebentar.“Saya?” tanya Ezra. “Atau istri sepupu saya?”“Dengan Andra berdua,” jawab Dokter Arjun seraya tersenyum ganjil.“Ayo, kamu jalan dulu.” Ezra mempersilakan.“Baik,” angguk Siska sambil berjalan menyusul Dokter Arjun menuju
“Aku cuma bisa menjanjikan kalau aku akan melewati semuanya,” ralat Pasha. “Tapi soal sembuh atau enggaknya, itu bukan wewenang aku Sis.”“Aku tidak peduli!” jerit Siska tertahan dengan hati yang berdenyut-denyut. “Pokoknya kamu harus sembuh demi mimpi kita bersama!”Pasha terdiam sejenak. Tangannya yang semula terangkat untuk mengusap kepala Siska, mendadak berhenti sehingga jemarinya hanya menggenggam udara kosong saja.“Aku akan berusaha yang terbaik,” janji Pasha dengan tenggorokan tercekat. “Untuk melewati semuanya demi kamu.”Siska perlahan menarik lepas dirinya dari dekapan Pasha, dia mengangkat wajahnya dan menyaksikan sendiri bagaimana Pasha tengah memandangnya dengan sorot mata yang begitu lembut dan penuh cinta.“Aku tahu kalau aku pernah mematahkan hati kamu sampai berkeping-keping,” ucap Siska perlahan. “Tapi tolong ... jangan membalas perbuatanku yang dulu dengan mematahkan hatiku juga ... Masalahnya hati aku sudah pernah hancur, Sha ... Hancur dan sudah tidak berbentuk
“Membosankan sekali ya, Sis?” ujar Pasha saat Siska baru saja tiba untuk bergantian jaga dengan mertua. “Aku sudah tidak sabar mau pulang ke rumah kita.” Siska meletakkan tasnya kemudian duduk di samping Pasha. “Mau di manapun kita berada, asalkan kita masih sama-sama seperti ini ... tidak akan terasa membosankan.” Siska menyandarkan kepalanya di bahu Pasha. “Kecuali kamu sendiri yang sudah bosan sama aku ...” “Mana mungkin aku bosan sama kamu,” sela Pasha sambil merangkul bahu Siska. “Justru aku mau waktu berhenti untuk sementara biar kita bisa seperti ini terus.” Siska memejamkan matanya rapat-rapat, berharap kalau mimpi buruk ini segera berakhir saat dia bangun nanti. Beberapa hari setelah itu Pasha meminta dibawakan beberapa buku untuk mengisi waktu luang sementara dia menjalani pengobatan di rumah sakit. Sedangkan untuk laptop dan ponsel kadangkala Siska simpan di lemari agar Pasha tidak coba-coba bekerja online di belakangnya. “Apa sih yang sedang kamu buat?” tanya Siska i
“Minum obat yang rajin, Om.” Saga menimpali. “Biar bisa cepat pulang.” “Tentu saja, kalian nggak usah khawatir. Om pasti pulang, apa pun keadaannya.” Cilla dan Saga saling pandang kembali. Sebelum pergi, Cilla menoleh dan melihat Pasha menutupi wajahnya dengan tangan. “Om Pasha!” Sontak Cilla berbalik dan memeluk Pasha hingga dia terperanjat. “Aku mau punya ayah lagi, Om Pasha harus sembuh dan pulang!” Pasha terperanjat ketika Cilla tersedu di pundaknya. Melihat itu Saga jadi tersentuh hatinya, selama ini sang adik seperti kehilangan perhatian sejak ayah dan ibu mereka berpisah. “Om usahakan nurut sama dokter, kamu jangan khawatir ya ....” “Ayah ... Ayah harus sembuh!” Pasha tertegun. “Kamu panggil om apa, Cilla?” “Ayah ... Om Pasha ayah aku juga, kan?” Mendengar jawaban putri sambungnya, mata Pasha memanas. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan jika Cilla dan Saga belum bisa memanggilnya dengan sebutan ayah. Namun, hari ini ternyata Cilla sendiri yang memilih untuk
Siska menarik napas, sayang sekali sebenarnya kalau Lisa tidak ikut dihubungi mengingat mereka sempat bersahabat cukup lama. “Apa kamu berpikir kalau Lisa masih ada perasaan sama kamu, Sha?” tanya Siska ingin tahu. “Mungkin saja kan kalau dia sudah menikah dan punya anak?” Pasha meletakkan ponselnya di meja dan memandang Siska. “Boleh, kalau dia udah punya suami dan anak.” Dia menegaskan. “Tapi kalau dia masih lajang, sebaiknya jangan. Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kamu paham apa maksud aku?” Siska mengangguk mengerti. “Lisa dulu sangat menyukai kamu, sampai menganggap aku sebagai ancaman di dekatnya.” Dia terkenang kembali dengan masa lalu. “Pertemanan kalian rusak karena perasaan satu sama lain ...” “Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta,” ungkap Pasha. “Aku ingat terus sama kata-kata kamu yang satu ini.” Siska tersenyum dan membiarkan Pasha berbaring untuk istirahat. “Besok aku harus ambil daftar nilai Runa di sekolah,” ujar Siska mem
“Tanya saja, aku juga bisa tanya sama Dokter Arjun.” Siska membalas sambil melipat kedua tangannya di dada. “Biarpun aku harus maksa-maksa dokternya dulu ...”“Jangan seperti ini, Sis.” Pasha menegur Siska sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan menatapnya lembut. “Maksud aku tidak apa-apa itu aku tidak keberatan menjalani semua proses pengobatan ini. Aku mengerti kalau kamu sudah lelah lihat aku begini, tapi ... aku akan berusaha demi kamu, Sis.”Siska balas memandang Pasha yang menurutnya tidak bisa memahami apa yang dia inginkan.“Apa susahnya sih bagi kamu untuk memberi tahu yang sebenarnya sama aku?” tanya Siska serius. “Aku ini istri kamu, Sha ... Aku bukan orang lain. Masa sebagai istri, aku sampai tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Sha?”“Tidak cuma kamu, orang tua kandung aku saja tidak aku beri tahu.” Pasha berusaha meyakinkan Siska. “Bukan apa-apa, Sis ... Seperti alasan semula, aku cuma tidak mau kalian kepikiran dan auranya sedih terus saat bertem
“Dugaan ada banyak, tapi saya tidak mau asal menduga.” Ezra menggelengkan kepalanya. “Saya tetap percaya kalau Dokter Arjun akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan Pasha.” “Tapi Pak ... Apa kita mau sampai seterusnya tidak tahu apa-apa soal penyakit Pasha?” tanya Siska murung. “Terpaksa, asalkan Pasha benar-benar ditangani dengan sangat baik.” Ezra terpaksa menganggukkan kepalanya. “Dokter Arjun pernah bilang kalau Pasha tidak akan mau meneruskan pengobatannya kalau sampai informasi penyakitnya diketahui publik, meskipun itu oleh keluarganya sendiri.” Kali ini Siska yang menarik napas. “Kita percaya saja sama Pasha. Yang terpenting sekarang adalah kita tidak boleh menekan Pasha sedikitpun biar dia tidak kepikiran dan justru malah menghambat kesembuhannya,” kata Ezra panjang lebar. “Iya Pak, sekali lagi saya minta maaf.” Siska mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. “Bukan salah kamu,” tepis Ezra. “Apa pun keinginan Pasha sekarang, lebih baik kita turuti saja.”
Namun, tidak berapa lama kemudian Pasha meletakkan ponselnya dan berbaring sambil memejamkan mata. “Kenapa, Sha?” tanya Siska khawatir. “Apa yang sakit?” “Kepalaku pusing,” jawab Pasha pelan. “Kamu benar Sis, mungkin tidak seharusnya aku jalan-jalan dulu.” “Aku panggil Dokter Arjun, ya?” kata Siska dengan wajah khawatir. “Tidak usah,” cegah Pasha. “Aku mau kamu tetap di samping aku sampai kapanpun.” Siska tidak menolak dan memilih untuk tetap menemani Pasha seperti permintaannya. “Aku sangat berharap supaya kamu cepat sembuh,” katanya dengan tenggorokan tercekat. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya mendadak merasa terpukul tanpa sebab. “Aku menghargai doa kamu,” sahut Pasha sambil membelai kepala Siska. “Siapa tahu sebentar lagi aku akan terbebas dari penyakit ini.” Siska tidak berkomentar apa-apa. “Aku mau menghabiskan waktu sama kamu,” pinta Pasha sembari menunjuk tempat di sebelahnya. “Duduk sini.” Siska menggeser tubuhnya dan duduk bersandar di samping Pasha. “Peg