“Jangan lupa susunya diminum.” Pasha juga ikut mengingatkan anak sambungnya. “Masa anak ayah lemas begini, sih? Ayo semangat!”“Wah, roti panggang!” sela Cilla sambil mencomot bagian-bagiannya. “Om, ayo balapan makan sama aku?”Pasha melirik Cilla yang sudah mengenakan seragam sekolah lengkap.“Balapan apa? Om baru saja selesai makan,” sahutnya enteng.“Om Pasha curang!” seru Cilla dengan pipi menggembung. “Harusnya kan Om menunggu aku sadar dulu.”Siska menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis, diulurkannya segelas susu cokelat kepada Saga yang masih mengunyah makanannya.“Om bisa kalah kalau menunggu kamu,” sahut Pasha sambil tertawa kecil, ditunjukkannya arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Om tunggu kalian di mobil.”Aruna buru-buru meminum susunya saat melihat ayah sambungnya berdiri dan berjalan pergi meninggalkan dapur.“Pelan-pelan, Run. Ayah kan sudah bilang kalau mau menunggu kamu,” tegur Siska. “Nanti kamu bisa tersedak kalau minumnya cepat-cepat seperti i
“Run, kamu ... benar sekali!” Siska tidak dapat menemukan kalimat yang pas untuk menjawab komentar Aruna yang kadang membuatnya ingin mencubitnya karena gemas.Sementara itu Pasha hanya tertawa kecil menyaksikan tingkah Aruna yang menggemaskan. Dia segera menginjak pedal gas dan membelokkan setirnya untuk mengantar putri sambungnya lebih dulu ke sekolah, setelah itu dia langsung mengarahkan mobilnya ke kantor.“Akhir pekan ini kamu istirahat saja seharian di rumah,” saran Siska dengan pandangan yag terarah lurus ke depan.“Aku tidak bisa, Sis. Aku sudah janji sama Runa kalau kita mau pergi liburan akhir pekan ini,” sahut Pasha seraya fokus mengemudi.“Kamu jangan sering-sering memanjakan Runa,” ujar Siska sedikit keberatan. “Nanti dia jadi banyak menuntut.”“Sekali-kali tidak apa-apa, kamu kan tahu sejak bercerai, Runa dan anak-anak kamu sempat kehilangan figur seorang ayah.” Pasha menyahut. “Jadi biarkan aku memberikan sedikit perhatian kepada anak-anak sambungku.”Siska menarik napa
“Kamu ini sering sekali mengingatkan aku soal jangan sampai capek, istirahat yang cukup, dan selalu minum vitamin. Sekarang kamu sendiri yang kecapekan,” ujar Pasha dengan wajah prihatin. “Aku bikinkan kamu teh hangat ya, sebentar.”Siska tidak menjawab dan membiarkan Pasha keluar dari kamarnya, dia berbaring miring dan memegang kepalanya. Pandangannya masih terhalang dengan bintang-bintang kecil yang masih menari-nari dalam penglihatannya.Tidak berapa lama kemudian Pasha kembali sambil membawa secangkir teh hangat dan beberapa tablet penambah darah.“Kamu minum dulu,” suruh Pasha sambil duduk di tepi tempat tidur mereka. Siska bangun dengan hati-hati kemudian menyandarkan tubuhnya pada bantal yang sudah dia tumpuk.“Masih pusing?” tanya Pasha sambil mengulurkan tehnya.Siska menggeleng kemudian meneguk sedikit teh hangat buatan Pasha, setelah itu dia meminum tablet penambah darah yang sudah disiapkan suaminya.“Kamu tidur saja sekarang,” suruh Pasha. “Besok kalau kamu belum enakan,
Jujur, ada hawa yang membuat Siska merasa sangat tidak nyaman ketika dia melangkah memasuki ruangan.“Halo, istri aku?” Sebuah suara menyambut kedatangan Siska, membuatnya mendongakkan pandangan dan melihat Pasha sedang bersandar di pembaringannya.Siska berjalan cepat mendatanginya tanpa pikir panjang lagi.“Kenapa?” tuntut Siska dengan mata yang sudah berembun. “Kenapa kamu tidak mau bilang apa yang sebenarnya terjadi?”Pasha tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Siska yang berdiri mematung di dekat pembaringannya.“Kemarilah,” pinta Pasha lembut.Siska menggelengkan kepalanya sementara air matanya mulai menitik satu per satu.“Sis, cuma keberadaan kamu di samping aku yang sanggup bikin aku bertahan sampai sejauh ini.” pasha6 melanjutkan. “Aku butuh kamu.”Pasha menganggukkan kepalanya dengan tangan masih terangkat, membuat Siska akhirnya merasa tidak tega jika terus menolaknya. Dia segera menghambur dan merangkul Pasha sambil terisak.“Kamu ... selama ini kamu ... sudah bo
“Memang,” timpal Pasha. “Aku tidak mau diperlakukan seperti orang sakit, justru aku lebih suka kalau kamu dan keluargaku nantinya menganggap bahwa tidak ada yang terjadi sama aku sedikitpun.”Siska menarik napas setelah mengirimkan pesannya dengan sukses, setelah itu dia keluar untuk menemui Saga."Om Pasha sakit apa, Bu?” tanya Saga sambil berdiri begitu ibunya muncul."Om Pasha kecapekan,” jawab Siska. "Kamu kan belum boleh pegang mobil, kamu pulang pakai taksi atau ojol saja ya? Ini uangnya.”Setelah Saga menerima uang itu, Siska bergegas masuk lagi ke ruangan Pasha.“Aku ... aku tidak tahu harus ngomong apa,” katanya dengan wajah yang berselimut mendung tebal. “Tapi malam ini aku akan bersikap bahwa ... tidak terjadi apa-apa sama kamu, dan kita akan melewati malam ini apa adanya seperti biasa.”Seulas senyum terukir di wajah Pasha yang tegas.“Aku senang kamu mau mengerti apa yang sedang aku rasakan,” katanya dengan nada ringan. “Mau seperti apa pun ganasnya penyakit ini, aku ingin
Bagus! Roni bersorak di dalam hati.Setidaknya Pasha belum sepenuhnya berhasil merebut hati kedua anaknya yang lain.Di rumahnya, Siska sedang mengompres kedua matanya dengan mentimun yang baru saja diambilnya dari lemari pendingin. Dia baru saja memberi tahu Ezra tentang Pasha yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit. Sudah pasti reaksi atasannya itu terkejut bukan main, tetapi dia telah memastikan untuk segera meluncur ke rumah sakit.Siska menarik napas sambil duduk bersandar dengan satu iris mentimun bertengger di atas kelopak matanya yang bengkak. Dia tidak bisa memperlihatkan kesedihannya di hadapan anak-anak, karena dia tahu kalau mereka masih membutuhkan perhatiannya.Lima belas menit kemudian, Siska melepas mentimun itu dari kelopak matanya dan memandangi wajahnya sendiri di cermin untuk memeriksa kondisi matanya yang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.Siska tidak menduga jika matanya akan bengkak separah itu, semalaman dia terus meneteskan air matanya tanpa suara sa
Siska menarik napas tanpa mengangkat kepalanya yang masih bersandar di bahu tegap Pasha. “Sebenarnya kamu sakit apa, Sha?” tanya Siska ingin tahu. “Mungkin aku sama Pak Ezra bisa bantu ....”“Dokter yang menangani aku sangat ahli dalam bidangnya,” jawab Pasha cepat-cepat. “Kamu tidak perlu khawatir, meski ... ini agak mengagetkan juga karena aku sempat dinyatakan sembuh beberapa waktu yang lalu. Tapi ternyata tanpa aku sadari, penyakit ini mulai menyebar lebih cepat.”Siska kini mengangkat kepalanya.“Sha, jujur sama aku. Setidaknya kasih tahu aku tentang sakit kamu itu,” desak Siska. “Kamu kena kanker? Tumor atau apa?”“Sis, di saat kita sedang bersama seperti ini, aku lebih suka kalau kita membicarakan hal lain daripada membahas penyakit yang aku derita.” Pasha menggeleng sambil lagi-lagi tersenyum. “Ini memang ujian hidup, mau tidak mau harus aku lewati kan?”Siska menggenggam jemari Pasha erat-erat.“Aku akan menemani kamu melewati semua ini,” janjinya. “Aku tidak akan pernah mem
Siska tidak menjawab sampai dia berhasil mencapai sofa dan menjatuhkan tubuhnya yang lemah dan kehabisan energi.“Tidak usah repot-repot, di sini kan ada pelayan yang sudah masak untuk kami.” Siska menyarankan. “Aku cuma butuh tidur sebentar saja.”“Ya sudah, yang penting kamu tetap harus makan,” kata Roni, mencoba untuk tidak peduli dengan sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan Siska kepadanya. “Kamu membutuhkan banyak asupan energi untuk bisa mengurus Pasha dengan baik.”Siska memejamkan matanya dan mulai berpikir bahwa ucapan Roni ada benarnya juga.“Ibu, Ayah Pasha mana?” tanya Aruna seraya duduk di samping Pasha. “Masa kerja nggak pulang-pulang? Apa aku nakal, Bu?”“Enggak Run, kata siapa kamu nakal?” sahut Siska buru-buru sambil memandang anaknya. “Ayah Pasha kecapekan kerja, jadi terpaksa menginap di rumah sakit dulu untuk sementara.”“Ayah Pasha sakit?” tanya Aruna dengan wajah ingin tahu. “Kalau begitu Ayah Pasha harus minum obat, Bu.”“Sudah kok Nak, kamu doakan saja semoga Ay
Pasha mengangguk kuat-kuat, dia sendiri tidak habis pikir apa motif Ririn melakukan itu. Disuruh Roni kah? “Apa? Jadi Ririn adalah salah satu pelaku?” Siska terbelalak lebar ketika Pasha menyampaikan apa yang dilihatnya tadi. Pasha mengangguk. “Benar-benar keterlaluan, dia sudah bikin aku dan sahabatku malu luar biasa. Aku harus telepon Roni sekarang!” “Buat apa, mau bikin keributan?” “Istrinya yang kurang kerjaan, masa suaminya sampai tidak tahu?” Pasha juga sama herannya, dia tidak kuasa menahan Siska yang terlihat memendam emosi tak tertahankan. Sementara itu, Roni sedang berada di jalan ketika ponselnya berdering nyaring. “Siska ... Halo?” “Ron, kamu tuh bisa mendidik istri kamu atau tidak sebenarnya?” Siska langsung menyembur telinga Roni dengan api kemarahan. “Maksud kamu apa?” “Aku yang seharusnya tanya, maksud Ririn apa pakai ngumbar-ngumbar masa lalu aku di akun berita online?” “Aku tidak paham, ini aku juga baru saja dihubungi polisi karena Ririn ada di sana!” “B
Pasha memeluk bahu Siska dengan penuh kehangatan. “Aku janji akan menyelesaikan ini semua, aku juga resah sama pemberitaan itu.” “Maaf ....” “Jangan minta maaf, bukan salahmu.” Siska membalas pelukan Pasha dengan erat, dia bertekad ingin menatap langsung wajah pelaku yang telah mengganggu ketenangan hidupnya itu. “Pokoknya siapapun dia, aku mau dia dihukum berat.” “Pasti, biar dijadikan pelajaran oleh siapa pun untuk tidak menggali masa lalu seseorang seenak jidat.” Setelah pembicaraan mereka berakhir, Siska memutuskan untuk tidur karena dia ingin berangkat lebih awal ke kantor. “Gimana, Mas?” Di kediaman Roni, Ririn sedang menghidangkan secangkir teh hangat dan roti selai. “Aku dapat beberapa kontrak dari klien baru,” kata Roni memberi tahu. “Apakah klien itu dari mereka-mereka yang membatalkan kerja sama dengan perusahaan saingan kamu?” “Aku tidak tahu, karena aku tidak pernah tanya-tanya soal itu. Menurutku tidak bagus kalau kita terlalu menunjukkan kesenangan kita atas b
“Tapi aku belum punya bukti untuk menguatkan kecurigaan aku,” ujar Pasha menyesalkan. “Aku juga tidak mau kalau Cuma asal tuduh saja, semua kasus di dunia ini membutuhkan bukti.” “Kamu suruh orang saja untuk memata-matai Roni, cari yang profesional.” Ezra mengusulkan. “Oke, tapi aku juga harus tanya pendapat Siska dulu. Jangan sampai apa yang aku lakukan justru menimbulkan masalah baru.”Ezra memandang Pasha dengan sangat serius.“Kamu bertindak terlalu hati-hati ternyata.”“Bukankah harus? Keselamatan istri dan anak-anak sambungku juga harus dipikirkan,” kilah Pasha.“Aku setuju kalau yang kita bicarakan ini adalah tentang Shadan atau Monic yang agak-agak psikopat, tapi Roni? Aku bahkan tidak tahu menahu latar belakangnya selain dia adalah mantan suami Siska.”Pasha terdiam.“Dia pernah mendapat kontrak kerja di edisi sebelumnya,” katanya mengingatkan.“Ya, dua poin itu.”Setelah mempertimbangkan baik buruknya, pasha akhirnya setuju untuk mengintai Roni diam-diam.Beber
“Aku tahu Vit, kamu tidak perlu khawatir. Pasha tidak tinggal diam, aku yakin Pak Ezra juga akan berbuat sesuatu untuk pelaku yang sudah menyebarkan masa lalu kita ke orang banyak.” “Ezra juga mulai mengusut masalah ini, Sis. Biasanya dia kerja sama dengan suami kamu dalam segala hal kan?” Siska mengangguk. “Aku penasaran siapa pelakunya.” “Apa mungkin ... pelakunya adalah Yura?” Siska menatap Kavita dengan sangat lekat. “Tapi aku tidak ada urusan apa-apa sama Yura, Vit. Kalau betul dia pelakunya, maka sama saja dia sudah mengibarkan bendera perang terhadapku.” Kavita diam sambil berpikir. “Betul juga, kalau sama aku sih wajar. Yura tidak punya motif apa-apa untuk menjatuhkan kamu atau perusahaan Pak Pasha.” Sepasang sahabat itu sibuk berpikir dengan logika masing-masing. “Otakku buntu, aku tidak punya tersangka yang bisa aku curigai.” Siska akhirnya menyerah. “Kalau begitu biarkan suami-suami kita yang menyelidikinya.” “Betul, kamu juga jangan terlalu kepikiran. Masa lalu b
“Maksud kamu? Dih, aku nggak sebodoh yang kamu pikirkan! Kalau orang sudah nggak percaya, tentu mereka akan beralih untuk mencari perusahaan baru kan? Nah, situasi ini bisa kamu manfaatkan, Mas!”Roni terdiam, betul juga apa yang Ririn katakan. Namanya persaingan bisnis, sah-sah saja kan jika dia mengambil kesempatan dalam situasi seperti apa pun?***Untuk pertama kalinya sejak berita tentang masa lalu itu terbongkar luas di platform digital, Siska dan Kavita bertemu di kafe untuk minum kopi bersama.Kalau biasanya mereka memilih kafe standar masyarakat umum, khusus untuk pertemuan kali ini mereka memilih kafe ekslusif demi kenyamanan privasi masing-masing.“Vit, bagaimana kabar kamu?” tanya Siska begitu mereka duduk berhadapan.Wajah Kavita tampak sayu seperti orang yang kekurangan waktu tidur yang berkualitas.“Aku? Baik, Sis.”Suasana sedikit canggung, sehingga Siska bingung bagaimana cara untuk mencairkannya.“Kita ... sudah lama tidak bertemu, ya? Jujur aku kangen ngopi-
“Jadi ... kita diam saja, Sha?”“Untuk sementara, nanti kalau mereka sudah tahu dan bergerak, baru kita ikut bantu.”Siska terpaksa setuju, dia geram sekali dengan si pembuat berita yang mengumbar masa lalunya.Bahkan Kavita juga ikut dikulik habis-habisan.Sesuai dengan rencana Pasha, Siska tidak berani menghubungi Kavita sejak berita tentang masa lalu mereka beredar. Bukan apa-apa, dia merasa tidak enak hati sendiri jika harus pertama kali membahas topik itu.Meskipun jauh di sudut hatinya, Siska juga sangat penasaran mengenai kebenaran pernikahan kontrak yang terjadi antara Kavita dan Ezra, bos mereka sendiri.“Sha, Pak Ezra bagaimana?” tanya Siska setelah berdiam diri selama beberapa hari tanpa mengontak Kavita. “Setiap aku bertemu sama dia, sikapnya tidak ada yang aneh ....”“Mustahil berita itu belum sampai ke telinga Pak Ezra!” bisik Siska dramatis. “Kecepatan informasi di jaman ini kan benar-benar gila, Sha. Aku khawatir seandainya tanpa sepengetahuan kita, Pak Ezra d
“Besok ayah traktir sepuasnya, ayah baru saja dapat kontrak kerja ....”“Yes!”“Makan-makan!”Siska dan Pasha tertawa lebar bersama anak-anak mereka.Ketika kebahagiaan mewarnai keluarga baru Siska, hal yang berbeda justru tengah dirasakan Roni dan istrinya.Semangat Roni yang tadinya menggebu-gebu kini seolah tidak lagi ada, seluruh harapan yang semula dia pikul di pundak seketika luruh tanpa sisa.“Apa mungkin kamu bikin kesalahan yang bikin pemilik kontrak kerja itu nggak mau pilih perusahaan kamu, Mas?” tanya Ririn sok tahu.“Maksud kamu apa sih?”“Nggak mungkin kan kalau perusahaan kamu baik-baik saja, tapi kalah sama perusahaan suami Siska?”Roni melirik Ririn, ingin sekali dia mengomel karena ketidakpekaan istrinya. “Kamu tidak bisa baca situasi ya?”“Maksud kamu?”“Seharusnya kamu bisa lihat kan, apa yang aku rasakan sekarang ini?”Ririn melongo. “Kok jadi kamu yang terbawa perasaan sih, Mas? Aku kan tanya baik-baik ....”“Terserah,” potong Roni, dia berdiri dar
“Aku tidak bermaksud apa-apa, Rin. Takutnya kalau kamu berisik terus, aku tidak bisa dengar apa yang dikatakan pembawa acara.”Ririn semakin sewot mendengar alasan Roni yang menurutnya konyol sekali, memangnya suara dia sekeras apa coba?“Rin, lihat! Sebentar lagi akan diumumkan perusahaan siapa yang berhasil mendapatkan kontrak!” bisik Roni antusias.Mendengar ucapan Roni, kini giliran Ririn yang mengerutkan keningnya.Tadi katanya nggak boleh ribut, gimana sih. Perempuan itu membatin kesal.Di kursi lainnya, Siska dan Kavita tidak kalah tegang menunggu pengumuman pemenang kontrak. “Ezra atau Pak Pasha?” Kavita menoleh ke arah Siska.“Pak Ezra atau Pasha, bebas!”Kavita mengangguk, sebelah tangannya meremas jemari Siska untuk menyalurkan ketegangan yang terasa.“... akan ada dua perusahaan yang mendapatkan kontrak kerja ini, sehingga kolaborasi keduanya diharapkan bisa meningkatkan daya beli konsumen dan menjaga persaingan sehat di masa-masa yang akan datang.”Siska dan Ka
Ririn menganggukkan kepalanya seraya memahami layar laptop Roni yang menyala. “Dyaksa Company, itu perusahaan Siska?” celetuk Ririn. “Bukan, itu perusahaan pesaing aku. Siska kerja di situ sudah lama, sejak aku masih merintis dari nol.” “Oh ya? Terus kenapa dia masih jadi pegawai di sana setelah kamu sukses?” Roni menarik napas, dia berusaha mengingat kembali momen ketika Siska tidak ingin berhenti kerja dari Dyaksa Company. “Katanya dia merasa sayang sama pencapaian dia di perusahaan itu,” ucap Roni lambat-lambat. “Siska nyaman bekerja di sana, jadi dia mempekerjakan beberapa asisten rumah tangga demi pekerjaannya di Dyaksa Company. Padahal aku sudah bilang sama dia kalau aku sanggup memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, tapi dia tidak mau melepaskan pekerjaannya.” Ririn bahkan sampai melongo mendengar penjelasan Roni tentang alasan Siska. Kok bodoh banget ya Siska itu, pikir Ririn. Punya suami sukses, disuruh berhenti kerja malah nggak mau. Kan enak tinggal ongkang-ongkang ka