Halo Readers, ditunggu ulasannya di sampul depan ya—biar banyak yang baca buku ini. terima kasih :)
Roni menarik napas dan memandang Ririn serta Mona bergantian. “Kamu sebaiknya terjun di perusahaan ini sekarang,” jawab Roni terus terang. “Kamu harus membantu aku memulihkan kondisi perusahaan paman yang hampir di ujung tanduk. Ini semua juga demi kebutuhan kita bersama kan?” Ririn menarik napas panjang dan kelihatan tidak setuju dengan ide suaminya. “Kalau perusahaan ini tidak segera diperbaiki, entah apa yang akan terjadi.” Roni melirik Ririn. “Jadi aku minta kerja sama kamu.” Ririn menarik napas lagi, sebagai istri tentunya dia hanya terima beres dan tinggal menghabiskan uang suami saja. “Kalau catatan pengeluaran ini akurat, tentu tidak sulit bagi kamu untuk menunjukkan surat pembeliannya kan?” tanya Roni lagi sambil memandang Ririn. “Aku akan memaklumi kalau memang pengeluaran itu masuk akal.” “Baiklah, terserah kamu saja. Aku akan mencari bukti surat pembelian itu segera,” kata Ririn sambil berdiri. “Mencari?” ulang Roni sambil mengernyit. “Untuk apa kamu harus susah paya
"Aku? Aku sih memang sengaja cari kamu," jawab Pasha terus terang."Mencari aku? kenapa?" Siska tersenyum paksa. "Tidak ada hal yang perlu kita bahas, kan?"Pasha menatap Siska dengan wajah serius."Ini semua karena aku sangat khawatir sama kamu," sahut Pasha. "Aku kepikiran kamu terus, tidak masalah kan?"Siska tertegun."Tentu saja," angguknya sambil bersiap pergi. "Tapi ... sepertinya aku bukan orang yang pantas untuk dapat perhatian itu, Sha. Carilah orang lain, yang sekiranya bisa membalas semua kebaikan kamu. Tidak seperti ini ....""Tidak harus jadi siapa-siapa untuk bisa memberi kamu perhatian kan?" sahut Pasha. "Aku menjaga jarak selama ini cuma demi status kamu yang sudah bersuami.""Jadi sekarang setelah aku bermasalah dan resmi berpisah dari Roni, kamu terang-terangan muncul untuk memberi perhatian lagi?" canda Siska sambil tersenyum singkat.Pasha mengangguk dan tersenyum, kemudian berputar memunggungi Siska yang terus memandangnya.Ratusan kilometer dari tempat itu, seor
“Karena aku ditanya terus sama teman sekolah,” jawab Cilla pelan. “Aku bingung mau jawab apa. Kata Om Pasha, jawab aja apa adanya karena memang itu yang terjadi sama Ayah dan Ibu.”Siska mengangguk sambil tersenyum singkat.“Om Pasha benar,” katanya. “Ya sudah, kita pulang yuk?”Cilla menganggukkan kepala dan berjalan mengikuti Siska yang berjalan pergi meninggalkan sekolah. Tangan belianya menggenggam jemari ibunya dengan erat dan wajahnya berbinar bahagia.Akhir pekan itu Roni menemani istri dan kedua mertuanya mengunjungi mal untuk menyenangkan hati mereka. Sebenarnya bisa saja dia meminta sopir untuk mengantarkan mereka semua, tetapi Ririn ingin Roni ikut bersama mereka.“Sekalian menghabiskan waktu bersama,” kata Ririn ringan. “Kapan lagi kalau tidak sekarang?”Roni hanya menarik napas sementara mobil yang dikemudikannya membawa mereka ke tujuan. Ririn duduk di samping kursi sopir sedangkan ayah dan ibunya duduk di belakang mereka.Sesampainya di tujuan, Roni dan kedua mertuanya
“Kenapa sih?” tanya Pasha ketika dia akan mengambil dokumen penting dari meja Siska. Tertangkap oleh pandangan matanya bagaimana wajah Siska yang nampak keruh.“Roni sepertinya kangen anak-anak kami,” jawab Siska dengan tidak bersemangat. “Dia pernah ke rumah dan untungnya Cilla sedang tidur.”Pasha tersenyum tenang mendengar penuturan Siska.“Sepertinya ikatan batin antara ayah dan anaknya tetap terasa,” komentarnya sambil meneliti beberapa dokumen yang dia butuhkan. “Ke depannya nanti siapa tahu kamu bisa rujuk sama Roni lagi ....”“Rujuk, kamu bilang?”“Iya, kenapa? Segala sesuatu bisa terjadi di dunia ini,” kilah Pasha.“Aku rasa aku sudah gila kalau tiba-tiba aku rujuk sama Roni,” komentar Siska. “Sedangkan baru kapan hari aku resmi bercerai dari dia ....”“Aku kan tidak bilang saat ini, untuk ke depannya siapa tahu?”Siska menghela napas, lalu menatap Pasha dengan sangat serius.“Jangankan rujuk sama Roni, untuk menjalin hubungan baru sama orang lain saja mungkin aku su
“Kamu serius?” Tentu saja Pasha tidak percaya. “Yah, paling juga dia mempertimbangkan untuk menolak lamaran itu, aku tahu betul bagaimana karakter Siska.”“Yang penting dia tahu niat kamu,” ujar Ezra. “Aku Cuma mencoba membuka jalan bagi kalian berdua ....”“Aku sangat berterima kasih, tapi kelihatannya tidak sesuai hasil yang diharapkan.” Pasha mengangkat bahu, jika dia ingat bagaimana teguhnya prinsip Siska selama.Sekali bilang tidak, maka seterusnya adalah tidak.Hari itu tanpa diduga Roni muncul di sekolah putrinya yang sudah beranjak remaja, Cilla.“Yuk, pulang sama ayah?” ajak Roni dengan percaya diri bahwa Cilla tidak akan menolaknya.“Tapi ... sebentar lagi aku dijemput, Yah.” Cilla beralasan.“Oh ya? Ibu kamu memangnya tidak kerja?” tanya Roni heran.“Om Pasha kok, Yah.” Cilla menjawab cepat.“Om Pasha ...?” Roni berpikir sebentar.“Iya, Om Pasha,” jelas Cilla bersemangat. “Ayah bisa kok bertemu sama Om Pasha kalau mau.”Mendengar anak kandungnya sendiri memanggil
Ririn mengambil selembar cek dan menuliskan sejumlah nominal untuk membayar jasa orang suruhannya.“Awasi terus wanita ini, jangan biarkan dia dekat-dekat dengan suami saya satu senti pun.” Ririn memerintah seraya mengulurkan cek yang sudah dia isi.“Baik, Nyonya.” Orang itu mengangguk kemudian berlalu pergi.Di kediamannya, ibu Roni menuang segelas air dan memandang putranya dengan saksama."Jadi ... mantan kekasih Siska suka datang ke sekolah Cilla?” ujarnya lambat-lambat. “Dia berani sekali...""Aku juga heran," angguk Roni membenarkan. "Mungkin dia sudah mengincar Siska dari awal.""Mana ada sih perjaka yang mau sama janda anak tiga," komentar ibu Roni takjub. "Dari awal ibu sudah merasa aneh saat lihat ada laki-laki yang sering hadir di sidang perceraian Siska ... Jangan-jangan mereka berdua memang ada sesuatu, Ron?"Roni menggeleng muram."Aku sangat mengenal Siska, dia adalah istri yang sangat setia," sahutnya. "Menurut Ibu, apa ada kemungkinan aku bisa rujuk sama Siska?""Seel
“Justru karena aku belum tahu, makanya aku mau mencari tahu. Apa salah?” tukas Ezra lagi, membuat Siska tersenyum mendengar perdebatan kecil itu.“Tidak apa-apa kok,” katanya. “Masalahnya bukan soal perasaan saya terhadap ayahnya anak-anak, tapi ... jujur saya sudah trauma menikah. Kegagalan dengan mantan suami saya sebelumnya membuat saya enggan untuk membina rumah tangga baru bersama siapa pun.”Meski Pasha sedang sibuk bercanda dengan Aruna, tetapi kedua telinganya mendengar dengan baik setiap patah kata yang diucapkan Siska kepada sepupunya.“Kalau soal itu saya sangat maklum.” Ezra mengangguk. “Tapi ... bukankah di saat yang sama sebenarnya kamu juga membutuhkan ... seseorang untuk bisa saling melengkapi?”Siska terdiam, sementara Pasha sengaja menendang kaki sepupunya dari bawah meja.“Pasha, aku sedang bicara penting—jadi jangan ganggu aku ...” desis Ezra kepada Pasha yang dianggapnya telah mengganggu suasana. “Kamu jangan merusak mood-ku, ya?”Siska tidak bisa lagi menahan sen
“Kamu tidak bisa seperti ini,” kata Roni. “Pasha itu bukan ayah kandung Saga dan adik-adiknya, mana bisa dia menyayangi anak kita seperti anaknya sendiri.”“Aku tidak meragukan Pasha sedikitpun,” tukas Siska. “Dia sudah membuktikan kepeduliannya yang tulus kepada Saga dan yang lain sejak keluarga kami terkena masalah gara-gara kelakuan kamu.”“Siska, tolong ...” bujuk Roni mati-matian. “Aku masih sangat mencintai kamu, dan aku yakin jauh di dalam lubuk hati kamu sebenarnya kamu juga masih mencintai aku. Iya kan? Kalau begitu kenapa kita tidak rujuk saja?”Siska menghapus bulir-bulir air mata sebagai jawaban atas pertanyaan Roni.“Kamu gila ya,” katanya. “Rujuk sama kamu? Aku kan sudah bilang kalau aku tidak akan pernah mau dimadu, kenapa kamu tidak mengerti juga?”Roni tertegun.“Sekeras itukah hati kamu sampai aku memohon seperti ini pun kamu sama sekali tidak peduli?” tanya Roni menahan kepedihan. “Aku menolak keinginan kamu bukan karena aku keras hati,” geleng Siska sambil menghap