Suasana kantor menjelang waktu pulang terlihat sudah mulai sibuk dengan para karyawan yang merampungkan tugas dan merapikan alat kerja mereka di meja masing-masing. Tak terkecuali Zain yang sore itu sudah menyelesaikan beberapa laporan yang harus ia cek sebelum diserahkan kepada Darren. Lelaki itu terlihat senang sebab bisa melihat kebahagiaan yang tampak nyata di wajah sang tuan. Darren yang sejak beberapa hari ini selalu tersenyum sumringah seolah ingin memberi tahu jika hari-harinya penuh dengan warna juga kebahagiaan. Namun, sepertinya akan ada perubahan ekspresi kala Zain datang ke ruangannya."Selamat sore, Pak!" sapa lelaki itu yang sudah siap dengan berkas di tangan. "Sore, Zain. Masuk!"Lelaki itu berjalan mendekat, lalu duduk setelah sang pimpinan mempersilakan. "Maaf, izin melapor, proyek yang sedang Bu Sofi kerjakan ada sedikit kendala, Pak."Seketika Darren menghentikan kegiatannya di atas keyboard laptop demi memandang Zain yang sore itu memberikan sebuah kabar yang
Di tengah canda tawa yang masih berlangsung di meja keduanya, tiba-tiba sosok Pak Lutfi muncul dan menyapa. "Eh, sore juga, Pak. Kok ada di sini? Saya 'kan enggak minta jemput?" Audi menatap sang supir heran. "Iya, Bu. Tapi, saya diminta Pak Darren untuk menjemput Ibu dan mengantar Ibu untuk ketemu Bapak."Audi menengok Surya yang juga melihat ke arahnya sambil tersenyum. "Antar kemana? Kantor maksudnya?""Bukan, Bu. Saya diminta untuk antar Ibu ke restoran.""Oh. Restoran!" seru Audi. "Sekarang?""Setelah Ibu selesai saja kata bapak. Saya akan menunggu di parkiran kalau Ibu belum selesai dengan Pak Surya."Surya tersenyum ketika Pak Lutfi menengok padanya. "Ya sudah. Saya akan menyusul Pak Lutfi sebentar lagi. Bapak bisa duluan aja.""Baik, Bu."Lelaki paruh baya itu pun segera beranjak pergi. Pesan dari sang tuan sudah tersampaikan, sekarang tugas mengantar sang nyonya menuju satu tempat yang harus terjeda sebab obrolan yang mungkin belum selesai. "Kayanya suami kamu ngakak mak
'Audi,' gumam Sofi yang mendadak emosi. Ia tiba-tiba marah sebab kemunculan wanita itu di depannya. Dua pasang mata yang sama-sama menatap tajam juga terkejut, menjadi pemandangan baru di ruangan tersebut. Sofi kemudian berpaling menatap Darren yang juga melihat ke arah pintu. Namun bedanya, laki-laki itu menatap penuh damba pada wanita yang telah kembali menjadi istrinya itu. 'Apa maksudnya ini? Apakah sebetulnya yang tengah Darren rencanakan?' batin Sofi geram seraya pandangan matanya yang terus menatap ke arah Audi. Mantan sahabat yang kini berjalan perlahan menuju sang suami, yang selalu ingin ia hancurkan karena hubungannya dengan Darren, yang sesekali mencuri pandangan ke arahnya. "Hai, Honey. Apakah ada masalah di jalan? Mengapa lama sekali sampai?" sapa Darren yang kemudian menarik tubuh Audi ke atas pangkuannya.Sungguh tak tahu malu, begitu ucapan Audi ketika suaminya tanpa sungkan membawa tubuhnya ke atas pangkuan. Bahkan, dengan keberadaan Sofi di depan mereka seolah bu
Rencana pembangunan bisnis kue dan roti yang sudah lama Audi impikan saat ini sudah berdiri sembilan puluh persen. Sisa sedikit lagi yakni finishing demi memantapkan apapun yang kurang demi kelancaran usahanya. Bahkan, Audi harus rela lembur sampai sore hari setelah ia selesai merekrut beberapa pegawai untuk membantunya menjalankan usaha. Sore itu ia tak sengaja ditemani Surya yang datang karena ingin pamit ke luar negeri untuk urusan bisnis hotel keluarganya. "Jadi, kamu tidak bisa menghadiri acara peresmian bisnisku ini?" tanya Audi tampak sekali kecewa. "Sorry, Di. Sungguh aku ingin sekali, tapi masalah hotel jauh lebih membutuhkan aku sekarang. Aku tidak bisa membiarkan papa mengurusnya sendirian di sana."Ya, mau tidak mau Audi harus rela melakukan grand opening bisnisnya tanpa Surya. Lelaki itu memang harus berada di tempat di mana ia dibutuhkan. Jelas Audi tak boleh egois. Setelah beberapa bulan Surya membantu, sudah cukup baginya untuk berjalan sendiri tanpa temannya itu.
Pada akhirnya justru Audi yang harus mengibarkan bendera putih. Darren tak pernah bisa ia kalahkan, bahkan meski ia sudah membuat lelaki itu kepayahan saat dirinya mencoba menstimulasi miliknya yang perkasa. "Jadi, apa yang kamu inginkan sebenarnya?" tanya Darren setelah ia mendapat pelepasan yang pertama dan ketiga bagi Audi. Perempuan itu masih bersembunyi di balik selimut setelah napas yang dihirupnya seolah menipis. Darren betul-betul menyiksanya, dan bukan ia yang melakukan sesuai rencana. Menarik sedikit selimut ke bawah dagu, Audi menatap wajah Darren yang tersenyum menatap padanya. "Aku takut kamu menolak dan tidak izinkan. Terlebih setelah lagi-lagi kamu memenangkan permainan malam ini."Mau tertawa, tetapi sikap itu hanya akan membuat istrinya terus bungkam. Untuk itulah Darren memilih diam dan tidak bereaksi atas pujian yang sang istri berikan. "Katakan saja dulu, aku ingin tahu apa yang sudah membuatmu bersikap agresif di awal tadi."Ragu Audi menarik semua selimut hi
Suasana bandara tampak sudah ramai meski waktu masih tergolong pagi. Jam setengah tujuh Audi telah sampai dengan ditemani Darren. Di sana ia bertemu dengan Surya yang rupanya sudah tiba lebih dulu sebab khawatir akan ketinggalan pesawat. "Maaf sudah merepotkan kamu datang kemari," ucap Surya tulus. Ia tak segan bicara santai kepada Darren meski sejatinya hubungan mereka tidaklah akrab. "Bukan masalah. Aku terlalu mencintai istriku sampai tidak rela melepasnya sendiri ke sini dan menemani kamu." Darren tetaplah Darren. Sikap ketusnya justru membuat Surya tersenyum. Surya lantas menatap Audi yang sepertinya kesal atas sikap dingin dan sinis Darren kepadanya. Tapi, respon lelaki itu yang sama sekali tidak marah atau pun tersinggung, membuat Audi sedikit lega. "Kamu seharusnya tidak perlu ke sini. Aku sudah cukup mengerti ketika kamu mengatakan hal itu semalam. Lagipula, aku tidak pernah menyuruhmu kemari bukan?" Surya seperti ingin meminta pertanggung jawaban Audi atas kemunculan san
"Kamu langsung pulang saja dengan Pak Lutfi. Aku tunggu Zain."Pasangan suami istri itu sudah berada di pelataran bandara. Pak Lutfi, supir pribadi mereka sudah menunggu dengan berdiri di sisi pintu mobil. "Ok!""Wah, semangat sekali. Apakah kamu begitu senang aku suruh pulang?" Darren pura-pura kesal. "Terus aku harus bagaimana dan kemana?" Audi menatap suaminya bingung. "Kamu 'kan memang harus ke kantor. Sedangkan aku, ehm ... apalagi selain diam di rumah dan menunggu kamu pulang."Dua orang itu masih saja terlibat dalam pembicaraan yang tak penting. Beberapa orang yang lewat di sekitar mereka, sempat menengok sebab aura Darren yang tidak bisa dianggap remeh. "Apakah kamu masih mau berdebat hal sepele seperti ini, Darren? Atau kamu memang sengaja ingin berlama-lama supaya orang-orang menatap kamu saking terpesonanya?" Audi berkata kesal. Sontak saja Darren tersenyum senang. Sang istri terlihat sekali cemburu karena pesona dirinya yang tak pernah bisa dibantah. "Aku 'kan sedang
Darren sudah sampai kantor satu jam yang lalu ketika Pak Lutfi menghubunginya. "Iya, Pak. Sudah sampai rumah?" tanya Darren yang sedikit heran sebab bukan istrinya yang menelepon, tetapi malah sang supir itu pun lebih lama dari yang ia bayangkan. 'Maaf, Tuan. Bu Audi ....'"Ada apa dengan Audi?" tanya Darren seketika cemas saat mendengar suara Pak Lutfi yang terdengar panik juga ketakutan. 'Itu Tuan. Ibu Audi diculik.'"Apa?"Zain yang sejak tadi berada di dekat Darren, sudah melihat gelagat tak baik saat sang tuan berbicara dengan nada khawatir. Lalu sekarang, pekikan Darren mampu membuat ruangan kantor tersebut bergetar saking kerasnya. "Jangan becanda, Pak. Ini bukan hal yang bisa Bapak buat candaan."Darren masih berusaha menampik jika yang supir pribadinya itu katakan adalah sebuah lelucon. Meski ia sadar, tak ada satu pun orang yang berani berbohong padanya, apapun situasinya. 'Saya tidak berani, Tuan.'Darren terlihat geram. Kesal, marah, sudah pasti. Tapi, ia tak bisa ser