Audi sudah pasti tahu hal gila lainnya yang Darren akan lakukan. Tapi, ia memilih diam ketika lelaki itu masih belum memulai. Pekik suaranya baru terdengar ketika Darren sudah menyerangnya tanpa aba-aba. "Here we go, Honey! Kita habiskan malam ini sampai kita mendapatkan pemenangnya."Audi hanya mampu merespon dengan ekspresi menggoda, yang jelas membuat Darren semakin menggila sebab melihat reaksi perempuan itu berikutnya yang betul-betul lain malam itu. Di sana ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Audi memainkan bagian tubuhnya yang sudah banyak tanda merah sebab ulahnya. "Ini jelas bahaya, Honey. Kamu sudah membuatku bersumpah untuk tidak akan berhenti.""Apapun yang kamu mau, ah!" balas Audi seraya memejamkan kedua matanya dramatis. Malam semakin larut ketika Darren berhasil membawa Audi ke dalam kamar. Sudah posisi berikutnya ketika Darren membuat sang istri berdiri di sudut ruangan. Jangan tanyakan bagaimana mereka beraksi malam itu. Suara desah dan lenguh saja sudah tak
"Apakah gerakan seperti ini yang kamu maksud?" tanya Audi yang kini bergerak lincah memainkan dua hal paling sensitif bagi keduanya, seolah memancing supaya suaminya menyerah dan mendapatkan pelepasannya. "Audi!"Kali ini Darren memanggil dengan nama asli istrinya. Tanpa ada panggilan sayang yang membuat Audi malah tergerak untuk mengubah kata itu kembali menjadi panggilan intim.Namun, hal tersebut malah membuat Darren memekik kaget, diiringi lenguhan panjang ketika ia mendapatkan puncak kenikmatan atas aksi gila yang rupanya bisa Audi lakukan."Kita seri sekarang," ucap Audi pada suaminya yang tengah terengah-engah. Beberapa waktu kemudian, Darren mendekati telinga Audi lalu berbisik. "Masih dua satu, Nyonya. Kamu masih harus membuatku mengalah untuk kedua kalinya."Tantangan itu rupanya Audi terima, ketika kemudian ia kembali ingin bergerak seperti sebelumnya. Tapi sayang, inisiatif-nya kurang cepat sebab Darren sudah membuatnya terkukung di bawah tubuhnya sekarang. "Aku akan me
Di salah satu klub malam yang ada di pusat kota, tampak Tasyi tengah berpesta dengan beberapa orang kawannya. Beberapa dari mereka adalah pasangan kekasih yang terlihat beraksi gila dengan melakukan adegan mesra tanpa malu. Namun, sepertinya hal tersebut adalah hal lumrah bagi semua orang yang ada di tempat tersebut. "Jadi, apakah kamu sudah berhasil menjerat Darren kembali, Tas?" tanya salah seorang teman perempuan yang sembari menenggak minuman beralkohol ke mulutnya. "Ehm, saat ini memang belum. Tapi, hal itu tidak akan lama lagi aku dapatkan.""Wah, percaya diri sekali nona kita ini. Padahal kita tahu siapa Darren sebenarnya," kekeh perempuan itu lagi menertawakan Tasyi. "Aku tahu Darren. Lelaki itu sangat mencintaiku. Bukan hal sulit bagiku untuk membuatnya kembali bertekuk lutut di hadapanku. Apalagi perempuan yang saat ini menjadi istrinya jelas-jelas bukan level-nya. Bukan tandingan ku juga."Kesombongan Tasyi jelas bukan tanpa sebab. Karena semua temannya tahu bagaimana bu
Suasana kantor menjelang waktu pulang terlihat sudah mulai sibuk dengan para karyawan yang merampungkan tugas dan merapikan alat kerja mereka di meja masing-masing. Tak terkecuali Zain yang sore itu sudah menyelesaikan beberapa laporan yang harus ia cek sebelum diserahkan kepada Darren. Lelaki itu terlihat senang sebab bisa melihat kebahagiaan yang tampak nyata di wajah sang tuan. Darren yang sejak beberapa hari ini selalu tersenyum sumringah seolah ingin memberi tahu jika hari-harinya penuh dengan warna juga kebahagiaan. Namun, sepertinya akan ada perubahan ekspresi kala Zain datang ke ruangannya."Selamat sore, Pak!" sapa lelaki itu yang sudah siap dengan berkas di tangan. "Sore, Zain. Masuk!"Lelaki itu berjalan mendekat, lalu duduk setelah sang pimpinan mempersilakan. "Maaf, izin melapor, proyek yang sedang Bu Sofi kerjakan ada sedikit kendala, Pak."Seketika Darren menghentikan kegiatannya di atas keyboard laptop demi memandang Zain yang sore itu memberikan sebuah kabar yang
Di tengah canda tawa yang masih berlangsung di meja keduanya, tiba-tiba sosok Pak Lutfi muncul dan menyapa. "Eh, sore juga, Pak. Kok ada di sini? Saya 'kan enggak minta jemput?" Audi menatap sang supir heran. "Iya, Bu. Tapi, saya diminta Pak Darren untuk menjemput Ibu dan mengantar Ibu untuk ketemu Bapak."Audi menengok Surya yang juga melihat ke arahnya sambil tersenyum. "Antar kemana? Kantor maksudnya?""Bukan, Bu. Saya diminta untuk antar Ibu ke restoran.""Oh. Restoran!" seru Audi. "Sekarang?""Setelah Ibu selesai saja kata bapak. Saya akan menunggu di parkiran kalau Ibu belum selesai dengan Pak Surya."Surya tersenyum ketika Pak Lutfi menengok padanya. "Ya sudah. Saya akan menyusul Pak Lutfi sebentar lagi. Bapak bisa duluan aja.""Baik, Bu."Lelaki paruh baya itu pun segera beranjak pergi. Pesan dari sang tuan sudah tersampaikan, sekarang tugas mengantar sang nyonya menuju satu tempat yang harus terjeda sebab obrolan yang mungkin belum selesai. "Kayanya suami kamu ngakak mak
'Audi,' gumam Sofi yang mendadak emosi. Ia tiba-tiba marah sebab kemunculan wanita itu di depannya. Dua pasang mata yang sama-sama menatap tajam juga terkejut, menjadi pemandangan baru di ruangan tersebut. Sofi kemudian berpaling menatap Darren yang juga melihat ke arah pintu. Namun bedanya, laki-laki itu menatap penuh damba pada wanita yang telah kembali menjadi istrinya itu. 'Apa maksudnya ini? Apakah sebetulnya yang tengah Darren rencanakan?' batin Sofi geram seraya pandangan matanya yang terus menatap ke arah Audi. Mantan sahabat yang kini berjalan perlahan menuju sang suami, yang selalu ingin ia hancurkan karena hubungannya dengan Darren, yang sesekali mencuri pandangan ke arahnya. "Hai, Honey. Apakah ada masalah di jalan? Mengapa lama sekali sampai?" sapa Darren yang kemudian menarik tubuh Audi ke atas pangkuannya.Sungguh tak tahu malu, begitu ucapan Audi ketika suaminya tanpa sungkan membawa tubuhnya ke atas pangkuan. Bahkan, dengan keberadaan Sofi di depan mereka seolah bu
Rencana pembangunan bisnis kue dan roti yang sudah lama Audi impikan saat ini sudah berdiri sembilan puluh persen. Sisa sedikit lagi yakni finishing demi memantapkan apapun yang kurang demi kelancaran usahanya. Bahkan, Audi harus rela lembur sampai sore hari setelah ia selesai merekrut beberapa pegawai untuk membantunya menjalankan usaha. Sore itu ia tak sengaja ditemani Surya yang datang karena ingin pamit ke luar negeri untuk urusan bisnis hotel keluarganya. "Jadi, kamu tidak bisa menghadiri acara peresmian bisnisku ini?" tanya Audi tampak sekali kecewa. "Sorry, Di. Sungguh aku ingin sekali, tapi masalah hotel jauh lebih membutuhkan aku sekarang. Aku tidak bisa membiarkan papa mengurusnya sendirian di sana."Ya, mau tidak mau Audi harus rela melakukan grand opening bisnisnya tanpa Surya. Lelaki itu memang harus berada di tempat di mana ia dibutuhkan. Jelas Audi tak boleh egois. Setelah beberapa bulan Surya membantu, sudah cukup baginya untuk berjalan sendiri tanpa temannya itu.
Pada akhirnya justru Audi yang harus mengibarkan bendera putih. Darren tak pernah bisa ia kalahkan, bahkan meski ia sudah membuat lelaki itu kepayahan saat dirinya mencoba menstimulasi miliknya yang perkasa. "Jadi, apa yang kamu inginkan sebenarnya?" tanya Darren setelah ia mendapat pelepasan yang pertama dan ketiga bagi Audi. Perempuan itu masih bersembunyi di balik selimut setelah napas yang dihirupnya seolah menipis. Darren betul-betul menyiksanya, dan bukan ia yang melakukan sesuai rencana. Menarik sedikit selimut ke bawah dagu, Audi menatap wajah Darren yang tersenyum menatap padanya. "Aku takut kamu menolak dan tidak izinkan. Terlebih setelah lagi-lagi kamu memenangkan permainan malam ini."Mau tertawa, tetapi sikap itu hanya akan membuat istrinya terus bungkam. Untuk itulah Darren memilih diam dan tidak bereaksi atas pujian yang sang istri berikan. "Katakan saja dulu, aku ingin tahu apa yang sudah membuatmu bersikap agresif di awal tadi."Ragu Audi menarik semua selimut hi
Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo