Pagi menjelang, Audi terbangun setelah merasakan sesuatu yang berat menindih perutnya. Perlahan membuka mata seraya beradaptasi dengan pencahayaan dari sinar mentari yang menembus kamar yang gelap dari sisi tirai jendela. Saat Audi sudah membuka matanya sempurna, bisa dilihat ada tangan besar memeluknya. Darren. Suaminya itu entah sejak jam berapa pulang dan tidur sembari memeluknya. Audi sama sekali tidak tahu dan tidak ingat. Tidurnya terlampau nyenyak sampai-sampai tidak menyadari pergerakan di atas ranjang, tempat tidur mereka. Sejenak Audi melihat wajah Darren. Kedua mata yang tertutup dengan rambut yang sedikit menutupi wajah. Acak-acakan, tetapi tetap menarik. Semalam Audi sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk teguh pendirian. Mencoba melupakan permintaan Darren yang ingin agar mereka sama-sama membangun perasaan cinta di hati masing-masing. Untuk itulah, saat bangun itu meski Darren mencoba mendekatinya dengan memberikan sebuah pelukan, Audi tak mau lama-lama memandang
Audi mungkin terkejut akan kedatangan seorang perempuan cantik dan terlihat lebih dewasa darinya. Tapi, tidak bagi Darren yang tampak biasa saja, bahkan cenderung cuek ketika sapaan selamat pagi terdengar di telinganya. Pengusaha itu hanya melepas pelukan di tubuh istrinya ketika hadirnya orang lain di kediamannya. "Maaf, apakah aku terlalu pagi datang?" tanya perempuan itu menatap Darren, lalu Audi gantian. "Itu kamu tahu," balas Darren ketus. Namun, perempuan itu terlihat biasa saja dan malah tersenyum demi menanggapi respon yang Darren berikan. Perempuan itu adalah Tasyi. Mantan kekasih Darren yang pagi itu datang ke rumah pengusaha tersebut bersama seorang perempuan lainnya. "Hai, kamu pasti Audi bukan?"Di saat Audi masih diam dan tak tahu harus berkata atau bereaksi apa, tiba-tiba ia malah didekati seiring tangan putih mulus terulur ke arahnya. "Aku Tasyi. Teman Darren."Saat mendengar nama yang tak asing di telinganya itu, Audi seketika berubah ekspresinya. Lebih ke kage
Darren menoleh pada Audi, seolah tuli akan pertanyaan yang keluar dari mulut Tasyi. "Aku harus segera pergi ke kantor."Entah maksudnya apa, tetapi Audi dengan cakap langsung mengerti ucapan suaminya itu. "Apa yang mau kamu makan pagi ini?" tanya Audi sembari mengambil piring kosong di depannya. Ia pun mengikuti aksi Darren yang pura-pura tak peduli dengan lontaran pertanyaan dari perempuan di seberangnya. "Apapun yang kamu buat pagi ini, aku akan makan," balas Darren sembari tersenyum. Sebuah senyum yang sudah membuat Tasyi harus merasa keki sebab tangannya yang juga menggantung karena Darren yang tidak meresponnya. Pemandangan di depannya saat ini jelas membuatnya marah. Ia kesal bukan main karena kehadirannya pagi itu yang ingin membuat sedikit kehebohan di kediaman Darren, malahan berbalik kepadanya. Bukan dia yang berhasil membuat Audi kesal, tetapi justru aksi Darren yang membuat dirinya menelan kekecewaan. 'Baiklah. Ini baru hari pertama. Bukankah masih ada hari-hari yang
Audi harus menelan kecewa ketika Darren lebih memilih pergi. Bukan menerima tantangannya yang menginginkan kembali ke rumah demi membuat seorang perempuan tak tahu malu bernama Tasyi kesal. Meski pada akhirnya Darren duduk di sebelah Pak Lutfi, tetap bagi Audi lelaki itu tak lagi peduli padanya. 'Aku kalah. Wanita itu lebih berharga dariku. Bahkan, sampai sekarang pun masih belum ada kejelasan mengenai siapa dia dan apa maunya datang pagi-pagi ke sini, lalu sengaja pergi bersama Darren.'Audi pun kemudian memilih untuk bersiap pergi. Perasaan takut memang ia rasakan seandainya Darren tahu jika dirinya keluar rumah tanpa izin. Tapi, rasa kesal dan emosi membuatnya tak berpikir panjang. Ia berencana untuk menemui Surya ke kantornya. "Anda mau ke mana, Bu?"Pertanyaan itu terlontar dari mulut salah seorang pelayan senior ketika melihat Audi dengan penampilan rapi dan -tentu saja cantik, hendak bersiap keluar dari rumah. "Saya ada urusan sebentar dengan teman. Nanti setelah selesai lan
"Kamu mencari gara-gara dengan menemui aku ke sini, Di," ucap Surya yang pagi itu sudah kedatangan Audi di hotel milik keluarganya. Lelaki itu memang santai saja dengan apapun yang akan terjadi pada bisnisnya jika Darren tahu istrinya datang menemui. Yang Surya takutkan justru pada diri Audi sendiri yang mungkin akan menerima konsekuensi atas kecerobohannya itu. "Cari gara-gara apa? Darren sepertinya sudah tahu tentang rencana bisnis yang akan aku jalani dengan kamu." Audi menjawab cuek, sembari mata yang mengincar sesuatu di atas meja di depannya. "Kamu jangan nekat. Darren belum memberi restu. Dia bisa saja marah dan merasa dilangkahi.""Jadi kamu takut?" sahut Audi yang pagi-pagi sudah dibuat kesal oleh kedatangan Tasyi di rumah suaminya itu. Rupanya kejengkelan Audi bisa Surya sadari. Sebab raut wajah temannya yang sejak datang sudah cemberut dan kesal. "Ceritakan padaku. Ada apa sebenarnya?" Pada akhirnya Surya memilih berkata lembut demi mengetahui hal yang sedang temannya
"Aku tidak tahu siapa nama panjangnya. Entah Saswita, Sawitri, atau Saeful," sahut Audi asal, membuat Surya sontak tertawa. "Kamu ini ada-ada saja," sahut Surya masih menyisakan tawa. "Aku cuma mau kasih tahu saja, seandainya Tasyi yang kamu maksud adalah benar Tasyi Saswita, sepertinya kamu harus ekstra menahan cemburu."Audi tampak menautkan kedua alisnya. "Cemburu? Aku harus cemburu ke siapa?""Ya, ke si Tasyi itu. Soalnya yang aku tahu, dulu Darren pernah punya kekasih. Kalau tidak salah namanya Tasyi dari keluarga Saswita.""Kok kamu bisa tahu? Kalian 'kan bukan teman atau sahabat. Kolega bisnis juga bukan." Audi menatap Surya heran. Terlihat sang kawan hanya menarik napas, lalu mengeluarkan perlahan. "Aku memang bukan kolega atau pernah berbisnis dengannya, tetapi siapa yang tak mengenal seorang Darren El Syauqi? Yang jumlah kekayaannya masuk dalam lima besar jajaran orang terkaya di tanah air," sahut Surya yang mengakhiri kalimatnya dengan sebuah sindiran, "Aku rasa hanya k
Darren sudah mengunci pergerakan Audi ketika keduanya sudah masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu bisa melihat kegugupan yang tampak pada wajah istrinya ketika ia mendorongnya ke dinding. "Dar-Darren, aku bisa ceritakan semuanya. Tapi, jangan begini. Aku merasa sesak.""Sesak? Sesak kenapa?"Audi menggeleng lemah. "Apakah karena ini?" tanya Darren sembari menempelkan tubuhnya sehingga mereka begitu dekat sekarang. "Dar, please ....""Atau karena ini?" Darren kembali bertanya dengan tangan yang sudah mulai terangkat menyentuh pipi Audi. Sudah tak mengerti lagi bagaimana perasaan Audi sekarang. Sang suami seperti sengaja menempatkan dirinya dalam 'bahaya'. "Waktu satu jam akan habis kalau kamu bersikap begini, Darren.""Bukan masalah." Darren menyahut cepat. Sontak Audi mendongak. Ia tidak menduga jika Darren menipunya dengan mengatakan bahwa mereka akan mengobrol sembari menunggu makan siang tersedia. Padahal kenyataannya, lelaki itu selalu mencuri kesempatan dalam kesempitan dengan
"Darren sudah cukup, aku mohon," ucap Audi ketika rasa gila kini mulai hadir seiring sentuhan Darren di seluruh tubuhnya. Meja tempat di mana kertas dan map berisi laporan milik Darren yang tampak tersingkir karena ada tubuh Audi duduk di atasnya, menjadi saksi di mana sang pemilik seolah lupa ingatan akan keberadaan mereka di ruangan kantor tersebut. "Apakah kamu sudah bisa melupakan semuanya? Apakah trauma itu masih membayangi pikiranmu?" tanya Darren masih asik dengan dua bongkahan lembut di bibirnya. "I-iya, hampir lupa," ujar Audi terbata. Ia merasa sesak napas sebab aksi sentuhan Darren yang menggila dengan lidahnya. "Hampir? Jadi belum hilang seutuhnya?" Darren merasa kecewa dan bersalah dalam waktu yang bersamaan. Audi sudah tak kuat lagi membuka mata. Respon atas sensasi geli yang tubuhnya rasakan, membuat matanya terpejam dengan napas terengah-engah. "Bagaimana aku bisa mengatakan hilang jika kamu terus menyentuhku seperti ini.""Apakah ini membuatmu sakit?""Tidak. Ta