"Kamu mencari gara-gara dengan menemui aku ke sini, Di," ucap Surya yang pagi itu sudah kedatangan Audi di hotel milik keluarganya. Lelaki itu memang santai saja dengan apapun yang akan terjadi pada bisnisnya jika Darren tahu istrinya datang menemui. Yang Surya takutkan justru pada diri Audi sendiri yang mungkin akan menerima konsekuensi atas kecerobohannya itu. "Cari gara-gara apa? Darren sepertinya sudah tahu tentang rencana bisnis yang akan aku jalani dengan kamu." Audi menjawab cuek, sembari mata yang mengincar sesuatu di atas meja di depannya. "Kamu jangan nekat. Darren belum memberi restu. Dia bisa saja marah dan merasa dilangkahi.""Jadi kamu takut?" sahut Audi yang pagi-pagi sudah dibuat kesal oleh kedatangan Tasyi di rumah suaminya itu. Rupanya kejengkelan Audi bisa Surya sadari. Sebab raut wajah temannya yang sejak datang sudah cemberut dan kesal. "Ceritakan padaku. Ada apa sebenarnya?" Pada akhirnya Surya memilih berkata lembut demi mengetahui hal yang sedang temannya
"Aku tidak tahu siapa nama panjangnya. Entah Saswita, Sawitri, atau Saeful," sahut Audi asal, membuat Surya sontak tertawa. "Kamu ini ada-ada saja," sahut Surya masih menyisakan tawa. "Aku cuma mau kasih tahu saja, seandainya Tasyi yang kamu maksud adalah benar Tasyi Saswita, sepertinya kamu harus ekstra menahan cemburu."Audi tampak menautkan kedua alisnya. "Cemburu? Aku harus cemburu ke siapa?""Ya, ke si Tasyi itu. Soalnya yang aku tahu, dulu Darren pernah punya kekasih. Kalau tidak salah namanya Tasyi dari keluarga Saswita.""Kok kamu bisa tahu? Kalian 'kan bukan teman atau sahabat. Kolega bisnis juga bukan." Audi menatap Surya heran. Terlihat sang kawan hanya menarik napas, lalu mengeluarkan perlahan. "Aku memang bukan kolega atau pernah berbisnis dengannya, tetapi siapa yang tak mengenal seorang Darren El Syauqi? Yang jumlah kekayaannya masuk dalam lima besar jajaran orang terkaya di tanah air," sahut Surya yang mengakhiri kalimatnya dengan sebuah sindiran, "Aku rasa hanya k
Darren sudah mengunci pergerakan Audi ketika keduanya sudah masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu bisa melihat kegugupan yang tampak pada wajah istrinya ketika ia mendorongnya ke dinding. "Dar-Darren, aku bisa ceritakan semuanya. Tapi, jangan begini. Aku merasa sesak.""Sesak? Sesak kenapa?"Audi menggeleng lemah. "Apakah karena ini?" tanya Darren sembari menempelkan tubuhnya sehingga mereka begitu dekat sekarang. "Dar, please ....""Atau karena ini?" Darren kembali bertanya dengan tangan yang sudah mulai terangkat menyentuh pipi Audi. Sudah tak mengerti lagi bagaimana perasaan Audi sekarang. Sang suami seperti sengaja menempatkan dirinya dalam 'bahaya'. "Waktu satu jam akan habis kalau kamu bersikap begini, Darren.""Bukan masalah." Darren menyahut cepat. Sontak Audi mendongak. Ia tidak menduga jika Darren menipunya dengan mengatakan bahwa mereka akan mengobrol sembari menunggu makan siang tersedia. Padahal kenyataannya, lelaki itu selalu mencuri kesempatan dalam kesempitan dengan
"Darren sudah cukup, aku mohon," ucap Audi ketika rasa gila kini mulai hadir seiring sentuhan Darren di seluruh tubuhnya. Meja tempat di mana kertas dan map berisi laporan milik Darren yang tampak tersingkir karena ada tubuh Audi duduk di atasnya, menjadi saksi di mana sang pemilik seolah lupa ingatan akan keberadaan mereka di ruangan kantor tersebut. "Apakah kamu sudah bisa melupakan semuanya? Apakah trauma itu masih membayangi pikiranmu?" tanya Darren masih asik dengan dua bongkahan lembut di bibirnya. "I-iya, hampir lupa," ujar Audi terbata. Ia merasa sesak napas sebab aksi sentuhan Darren yang menggila dengan lidahnya. "Hampir? Jadi belum hilang seutuhnya?" Darren merasa kecewa dan bersalah dalam waktu yang bersamaan. Audi sudah tak kuat lagi membuka mata. Respon atas sensasi geli yang tubuhnya rasakan, membuat matanya terpejam dengan napas terengah-engah. "Bagaimana aku bisa mengatakan hilang jika kamu terus menyentuhku seperti ini.""Apakah ini membuatmu sakit?""Tidak. Ta
Audi tampak lemas setelah Darren mengajaknya berolahraga di hari menjelang makan siang. Meski kepayahan, perempuan itu berusaha untuk tetap terjaga dan tidak terlelap karena kecapekan. Di atasnya, Darren yang baru mendapat pelepasannya, begitu intens memandang Audi seraya bibir yang tak berhenti mengecup telapak tangan istrinya itu. "Andai bukan di kantor, mungkin aku akan melewati momen ini hingga kamu tak sadarkan diri.""Jangan gila. Kalau itu kamu lakukan, walau di rumah sekali pun, aku yakin bukan hanya tak sadarkan diri karena tidur atau pingsan, tetapi tak sadarkan diri yang benar-benar tak bangun lagi."Bukan takut atau khawatir, Darren justru tertawa mendengar kalimat Audi yang dilontarkan dengan nada kesal itu. Ia lantas mendekatkan kepala untuk mencium pipi istrinya. "Tidak mungkin aku dengan sengaja melakukan hal itu. Lagi pula apakah dulu ketika aku bertindak kasar padamu, hal itu sampai membuatmu mati? Tidak bukan? Kamu masih hidup sampai sekarang, 'kan? Bahkan, kita k
Santapan makan siang yang Zain hidangkan di atas meja, tampak bersih setelah Audi dan Darren menyantapnya. Tersisa beberapa hidangan pendamping yang asisten pribadi itu siapkan cukup banyak, yang mungkin akan segera berpindah ke pantry saat petugas kebersihan merapikan semuanya. Audi sedang berada di toilet kantor suaminya, membersihkan sisa-sisa minyak atau kotoran setelah makan siang sekaligus melakukan hajat kecil yang sudah ia tahan sejak tadi. Di tempat lain, Darren terlihat serius berbicara dengan Zain yang sambil mengawasi seorang OB dan cleaning service membersihkan area bekas Darren dan Audi makan. "Beberapa proyek yang kita sedang kerjakan sudah bisa Anda lihat, Pak. Para staf di lapangan sejauh ini bekerja dengan sangat baik," lapor Zain setelah Darren menanyakan proyek pembangunan yang sedang berjalan, termasuk salah satunya kerja sama yang sedang ia jalani dengan perusahaan milik keluarga Sofi. "Bagaimana dengan Pak Gunawan, apakah beliau turut terlibat dalam kerja sam
Mendapat ciuman penuh penghayatan dari sosok Audi setelah ia mengungkapkan perasaan cinta yang sebenarnya, membuat Darren teramat bahagia. "Aku tidak akan memaksa untuk kamu mencintaiku, tetapi dengan kamu mau tetap bersama dan melewati hari-hari denganku, itu semua sudah cukup. Aku tak mau menjadi manusia yang serakah asalkan bisa membuat kamu bahagia dengan segala hal yang apapun akan aku lakukan, tak ada hal lain yang aku mau selain dirimu terus berada di sisiku."Kalimat itu terus berdengung di telinga Audi sampai ia kemudian dikejutkan dengan kedatangan Tasyi yang entah apakah sudah memiliki janji atau belum dengan suaminya, masuk tanpa mengetuk pintu atau pun izin. "Darren, aku nunggu kamu lama banget loh! Aku pikir kamu lagi meeting, tahunya ..." Datang-datang Tasyi langsung berkata kesal. Tampak ekspresinya memandang malas Audi."Bukannya tadi kamu bilangnya begitu? Kok malahan mesra-mesraan sama istri kamu." Tasyi masih saja bicara, bahkan ia seperti tak peduli ketika Darr
Jalan raya menjelang sore hari sudah mulai terpantau padat ketika mobil yang Audi kendarai masih berjibaku dengan kendaraan yang lain. Saat matanya fokus menatap jalan, pikirannya juga seolah masih ingin melanglang buana ke cerita serunya di kantor Darren. "Tasyi adalah kekasih pertamaku. Mungkin bisa dibilang mantan terindah sebelum wanita itu mengubah perasaan dan pikiranku setelahnya."Kalimat yang Darren sampaikan masih berdengung di telinga Audi sampai perempuan itu sudah duduk di balik kemudi menuju perjalanan pulang. Ya, pembicaraan antara Audi dan Darren harus terhenti sebab panggilan dari seorang rekan kerja pengusaha itu untuk pertemuan dadakan. Alhasil, Audi harus pulang lebih dulu yang sebelumnya berencana menunggu suaminya itu selesai bekerja. Obrolan yang masih berfokus pada sosok Tasyi, sebetulnya amat sangat membuat Audi penasaran. Informasi mengenai status perempuan itu yang adalah benar mantan kekasih suaminya, bukanlah sebuah isapan jempol. Mungkin ia masih menco