Audi sudah berdiri di depan Darren untuk pamit ketika sebuah panggilan dari Bagas mengganggunya. "Iya, hallo. Ada apa, Gas?" sapa Audi tak luput dari pengawasan kedua mata Darren. 'Ada sedikit problem, Mbak.'"Masalah apa?" tanya Audi belum paham. 'Ehm, Mbak lagi di mana? Bisa enggak pulang ke rumah sebentar.'Audi terlihat melirik pada Darren yang masih menatapnya intens. Ada keraguan di dalam diri perempuan itu jika harus meminta izin pada suaminya untuk mampir ke rumah menemui Bagas. "Ada masalah apa sebenarnya? Biar aku enak izinnya."Bagas tidak langsung menyahut ketika lelaki itu menyadari jika sang kakak sedang bersama suaminya saat ini. 'Ada Mas Darren di situ?'"Ehm, ya." Audi menyahut malas. Di seberang sana, Bagas sepertinya tengah berusaha mencari cara atau alasan yang tepat supaya sang kakak bisa menemuinya. Darren memang posesif, Bagas tahu itu. Tapi, tidak tahu kenapa mahasiswa tersebut sama sekali tidak terganggu atau mempermasalahkan sifat sang kakak ipar.'Aku
Pernyataan perempuan itu sebetulnya adalah tanda bahaya. Bisa saja Darren menganggap serius dan serta merta langsung menyergap Audi saking bahagianya. Tapi, lelaki itu tahu jika pekerjaan tetaplah lebih penting saat ini dan harus ia selesaikan cepat jika ingin menikmati waktu berdua dengan sang istri di bilik mewah mereka. "Hem. Aku pastikan tak akan telat."Audi beranjak pergi saat Zain izin masuk dan memberi laporan. 'Syukurlah. Darren memang selalu membuat aku cemas bila sudah beraksi,' gumam Audi yang merasa bersyukur karena kedatangan asisten pribadi Darren di saat salam perpisahan yang keduanya lakukan selesai. "Sepertinya keluarga Nayaka sudah tahu mengenai pembatalan pihak yang akan membeli rumah mereka." Zain datang mengabarkan berita mengenai usaha sang atasan membatalkan siapa saja yang akan membeli rumah Audi. "Kita memang belum memberi tahu mereka bukan?""Sesuai perintah Anda, Tuan."Darren mengangguk mengerti. Ia memang tidak mau mertuanya menjual rumah tersebut. Se
Marissa dan Audi saling menatap satu sama lain. Yang membuat keduanya tersenyum, lalu menggeleng. "Tumben sibuk di dapur. Emang kamu mau buat apa sih?" "Bikin kue, Mah.""Kue apa?" "Enggak tahu, apa aja yang sesuai sama bahan yang ada."Marissa yang masih terlihat lemah, kemudian memilih untuk duduk di seberang Audi yang kini mulai menakar bahan-bahan yang sudah ia ambil dari rak dapur. "Apa ini sogokan buat Darren?" tebak Marissa yang seketika mendapat tatapan bingung Audi. "Kok Mama tahu? Kayanya aku enggak bilang apa-apa deh. Si Bagas, yah?""Ih, kamu ini lucu. Mama 'kan baru turun, bisa-bisanya nuduh adik kamu itu!" sahut Marissa malah terkekeh. "Iya sih. Terus tahu dari mana dong?" Audi menatap penuh selidik. "Feeling seorang ibu itu kuat. Lagipula, Mama tahu Darren orang yang seperti apa. Dia yang tidak akan mudah memberikan izin jika alasannya tidak jelas."Audi masih diam. Penuturan Marissa masih dianggap tak masuk akal. "Jujur aja Mama kaget waktu dengar kamu sedang d
'Ya Tuhan! Sungguh aku ingin tenang kali ini. Jika memang aku ditakdirkan bersamanya hanya setahun saja, tolong beri aku kekuatan dan kesabaran. Tapi, jika kami harus berpisah, tolong permudah urusanku untuk menjual rumah ini supaya bisa mengembalikan uang yang aku pinjam darinya,' batin Audi berdoa. Audi tidak meminta perasaan cinta yang harus Darren miliki untuknya. Kalau benar tebakan papa dan mamanya, perempuan itu berpikir tak perlu berdoa dan meminta pada Tuhan sebab Tuhan sudah memberikan sendiri karunia untuk hambanya. Tasyi, nama itu terus berdengung di telinga Audi sampai perempuan itu selesai membersihkan diri. Berjalan keluar kamar mandi, Audi segera memakai pakaian terbaiknya yang masih rapi tersimpan di dalam lemari pakaian di rumahnya. Meski terus dibayang-bayangi nama Tasyi, Audi merasa jika ia perlu berpenampilan baik di depan Darren saat lelaki itu muncul nanti. Jam tujuh hampir mendekati waktu makan malam. Tapi, Darren masih juga belum datang, membuat Audi kembal
Dada Audi mendadak bergemuruh. Ungkapan rindu yang Darren ucapkan, seperti oase di padang sahara baginya. Menyegarkan di tengah dahaga tak berkesudahan. Meski ungkapan tersebut tak ubahnya sebuah kalimat lalu, yang mungkin sedetik kemudian akan hilang seiring sikap lelaki itu yang kembali dingin, biasa saja. "Maaf karena aku datang terlambat?" ucap Darren setelah menarik tubuh Audi ke dalam pelukannya. Perempuan itu hendak menarik diri, tetapi tak kuasa ketika dekapan itu terasa begitu kuat dan lekat. "Sebentar lagi. Biarkan aku menerima kenyamanan dengan memelukmu seperti ini."Audi akhirnya memilih diam. Tapi, ia tidak serta merta menganggap lalu sikap Darren yang menurutnya malam itu terasa lain. "Darr ...?""Hem?"Audi tampak ragu. Inginnya ia bertanya pada Darren mengenai sikap atau tingkahnya yang terlihat lain, cenderung pendiam. "Bolehkah aku tanya sesuatu?""Apa?""Eh, itu ... kamu kenapa?" tanya Audi setelahnya memejamkan mata, merasa malu dan tegang dalam tempo bersama
Pada kenyataannya Audi sama sekali tak berani merayu Darren yang sudah sangat jelas begitu ingin mendapat perhatian dari istrinya itu. Rasa malu yang amat sangat, membuat perempuan itu memilih berlalu dan pergi meninggalkan suaminya dalam diam. Sekarang keduanya sudah berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang. Kue yang sudah Audi buat khusus untuk Darren, ia pegang di atas pangkuan untuk dibawa ke rumah. Sepanjang jalan tak ada obrolan atau percakapan apapun yang terjadi di antara suami istri tersebut. Audi yang memang sudah menduga jika Darren tengah memiliki masalah, memilih untuk tidak memulai pembicaraan dan bersikap diam mengimbangi sikap Darren sejak keduanya masuk ke mobil. Di tengah perjalanan yang Audi rasakan hening meski ada Zain yang duduk bersebelahan dengan Pak Lutfi, mendadak mereka semua dikagetkan suara dering ponsel milik Darren. Lelaki itu kemudian mengambil smartphone miliknya dari balik saku jas, lalu melihat nama di layar ponsel yang tidak bisa Audi lihat
Malam semakin larut ketika akhirnya Audi memutuskan untuk tidur duluan setelah lelah menunggu Darren. Sudah sejak pukul sembilan ketika ia sampai rumah, sampai jam menunjuk ke angka dua belas malam, lelaki itu masih belum juga kembali. 'Mungkin ia memang sedang bersama perempuan itu sekarang.'Sakit? Sedikit perasaan itu Audi rasakan saat ini. Demi membayangkan kebersamaan Darren dengan perempuan bernama Tasyi, secuil hatinya merasa tak nyaman akan kemungkinan hal tersebut benar-benar terjadi. 'Harus meyakinkan hatiku sekarang bukan?' batin Audi lagi. Sejauh ini ia memang belum terlalu jauh terjerumus dalam jerat pesona Darren. Dulu ketika ia masih berstatus istri Darren di pernikahan pertama saja, Audi sama sekali tidak terpengaruh dengan sosok Darren yang katanya banyak digandrungi wanita-wanita cantik. Baik dari kalangan selebritis atau para wanita sosialita yang kerap berhubungan bisnis dengannya. Bagi Audi saat itu, ia hanya ingin berbakti dengan menyetujui permintaan kedua or
Pagi menjelang, Audi terbangun setelah merasakan sesuatu yang berat menindih perutnya. Perlahan membuka mata seraya beradaptasi dengan pencahayaan dari sinar mentari yang menembus kamar yang gelap dari sisi tirai jendela. Saat Audi sudah membuka matanya sempurna, bisa dilihat ada tangan besar memeluknya. Darren. Suaminya itu entah sejak jam berapa pulang dan tidur sembari memeluknya. Audi sama sekali tidak tahu dan tidak ingat. Tidurnya terlampau nyenyak sampai-sampai tidak menyadari pergerakan di atas ranjang, tempat tidur mereka. Sejenak Audi melihat wajah Darren. Kedua mata yang tertutup dengan rambut yang sedikit menutupi wajah. Acak-acakan, tetapi tetap menarik. Semalam Audi sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk teguh pendirian. Mencoba melupakan permintaan Darren yang ingin agar mereka sama-sama membangun perasaan cinta di hati masing-masing. Untuk itulah, saat bangun itu meski Darren mencoba mendekatinya dengan memberikan sebuah pelukan, Audi tak mau lama-lama memandang