Rombongan Audi yang mengantar sang mama pulang, kini sudah sampai rumah dengan selamat. Tak ada insiden atau kemacetan yang mereka alami di sepanjang jalan pulang menuju ke rumah. Sang papa, Kevin, datang ke rumah sakit sesaat Audi dan mamanya sudah mau ke mobil bersama Bagas. Lelaki lewat paruh baya itu kini kembali disibukkan dengan perusahaan yang akhirnya masih bisa bertahan karena 'kerja keras'nya. Kembali disibukkan membuatnya hampir tidak bisa menjemput atau mengantar istrinya pulang ke rumah."Maafkan Papa.""Tidak apa-apa, Pah. Aku dan Bagas masih bisa tangani."Rasa bersalah begitu Kevin rasakan. Tapi, dukungan dari anak dan istrinya membuat ia merasa bahagia dan tak lagi dihinggapi perasaan tak enak yang mendalam."Audi, bolehkah Papa bertanya sesuatu?" Saat sang istri sudah berada di kamar untuk istirahat, Kevin mengajak putrinya berbicara. "Mau tanya apa, Pah?" Audi berjalan menghampiri papanya yang duduk di teras belakang. Bagas sudah pergi ke kampus. Meski ujian diba
Audi masih menunggu Darren yang katanya akan menjemput sekalian menjelaskan sesuatu padanya. Tapi, sampai jam menunjukkan angka delapan malam, lelaki itu masih tak jua muncul. Makan malam bahkan sudah lewat sekian menit yang lalu, lelaki itu tak juga memberinya kabar meski hanya sebuah pesan singkat atas alasan apa sehingga ia masih belum juga datang menjemput. Hingga Audi memutuskan untuk menelepon Zain, tetapi keduluan sebuah pesan dari seseorang yang nomornya tidak ia simpan. "Apa Darren belum juga mengabari?" tanya Kevin saat Audi hendak membuka pesan dari anonim yang sepertinya juga mengirim sebuah gambar. "Baru mau, Pah. Tapi, palingan nelepon Mas Zain," sahut Audi tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponsel yang sedetik kemudian membuatnya kaget. 'Apa ini?' batinnya memekik saat melihat sebuah gambar yang sepertinya diambil oleh seseorang secara diam-diam. Di layar ponselnya terlihat seorang laki-laki tengah bersama seorang perempuan di sebuah hotel. Keluar dari bangunan
Waktu terus berlalu ketika Audi merasa jika mimpinya sudah semakin jauh dan dalam. Malam semakin larut ketika ia merasa ada sesuatu yang basah di pangkal kakinya. Entah apa yang terjadi, tetapi Audi merasa jika ia sedang tidak mengompol. Hingga sekian menit kemudian kembali berlalu ketika mendadak ia merasa kedinginan. Di dalam mimpinya ia bisa merasakan jika sosok di depannya tengah berusaha melepaskan semua pakaian yang ia kenakan. Pakaian tidur atau gaun berwarna merah jambu yang ia sangat ingat betul adalah pakaian yang ia pakai saat hendak tidur, kini terbang setelah sosok itu melepas dari raganya. 'Apa yang dia lakukan?' tanya Audi dalam pikirannya. Tapi, anehnya ia sama sekali tidak berdaya. Ia malah diam saja ketika sosok itu kembali mendekat dan menyentuhnya. Kembali Audi melenguh nikmat. Ia tidak tahu apa yang sosok itu lakukan terhadapnya, tetapi sentuhan yang selalu meninggalkan rasa geli itu seperti sebuah kegiatan intim yang kerap Audi lakukan bersama suaminya, Darre
Audi memekik kaget ketika Darren dengan cepat melepaskan gaun tidur dari tubuhnya. Ia terbelalak dan melotot, menatap suaminya itu. "Apa?" Darren bertanya sebab tatapan tajam yang Audi berikan. "Aku mau tidur! Jadi, tolong jangan membuatku durhaka karena enggan melayani kamu."Audi berkata tegas. Sepertinya ia betul-betul marah dan itu karena kebungkaman Darren yang tidak menyampaikan maaf atau minimal memberi tahunya tentang alasan keterlambatannya menjemput. Darren diam sekarang. Meski ia sudah membuat istrinya setengah telanjang setelah berhasil melepas pakaian merah muda yang saat ini tergeletak di atas lantai, lelaki itu tak lagi berbuat jauh. "Katakan padaku, ada apa sebenarnya?" tanya Darren yang kini sudah beranjak duduk menatap Audi. Namun, perempuan itu tetap diam. Bahkan untuk sekedar melihat dirinya saja, ia enggan. "Audi! Aku bertanya padamu.""Aku udah bilang, enggak ada apa-apa." Audi menjawab ketus. Darren mulai tidak bisa menahan diri. Selama ini ia sudah berte
Pagi menjelang, Darren yang tidur lebih awal karena tak jadi melakukan rutinitas malam, sudah membuka mata dan menyadari tak ada Audi di sebelahnya. Perlahan menguap dan meregangkan kedua tangan, ia kemudian tahu jika perempuan yang semalam marah kepadanya itu tengah berada di dalam kamar mandi. Terdengar suara gemericik air yang jatuh ke lantai, menandakan jika perempuan itu sedang mandi. Timbul ide isengnya tiba-tiba, di mana kemudian Darren beranjak bangun dan berjalan mendekati kamar mandi. 'Kebiasaanmu yang tak pernah berubah. Seperti sengaja supaya aku masuk ke dalam bukan?' gumam Darren begitu mengetahui pintu kamar mandi yang tidak dikunci. Kamar mandi di kamar Audi memang tidak seluas kamar mandi di rumah Darren. Tapi, ruangan itu cukup luas menurutnya dengan bath tub berbentuk oval yang berada di dekat wastafel, berwarna putih gading. Lalu, ruangan yang sedikit lebih sempit agak menjorok ke dalam, yang Darren tebak adalah tempat Audi mandi sebab ada tirai bening atau tra
Sore itu Darren mengabari Audi kalau ia akan pulang terlambat sebab ada undangan pesta yang harus ia datangi. Bukan sebuah pesta besar yang biasanya harus membawa pasangan, tetapi sebuah undangan makan malam dari salah seorang sahabat lama yang juga masih saudara jauhnya. 'Kamu tidak bilang waktu tadi pagi! Memang ke pesta siapa?'Audi menyahut sedikit kesal dan jelas terdengar di telinga Darren. "Ya, aku lupa kalau ada undangan pesta kepulangan Candra dan keluarganya."Audi diam. "Apakah kamu marah?"'Enggak. Siapa yang marah? Kalo gitu aku juga izin mau pergi makan malam sama temen.'"Teman? Teman yang mana? Setahuku kamu cuma punya teman yang namanya Sofi saja."Darren merasa heran dengan kalimat yang Audi sampaikan. Ia merasa istrinya tumben sekali akan pergi ke suatu tempat dengan temannya. Sebab setahu pengusaha itu, istrinya bukanlah seseorang yang memiliki banyak teman. Audi adalah perempuan pendiam, jarang bergaul atau bersosialisasi -itu yang Darren tahu selama ia menjadi
Tujuh tahun lalu, Darren harus memohon pada Tasyi untuk tidak pergi meninggalkannya. Perempuan itu bersikeras ingin melanjutkan sekolahnya ke luar negeri karena ingin mengasah bakat seni yang dimiliki. "Hanya dua tahun, Darren," ucap Tasyi waktu itu. "Aku akan kembali dan menerima lamaranmu. Saat itu juga kita akan menikah sesuai keinginanmu."Namun, apa yang terjadi? Janji yang Tasyi ucapkan tidak pernah perempuan itu tunaikan. Dua tahun Darren menunggu, tak ada kabar di mana katanya ia akan kembali ke tanah air. Sebetulnya bisa saja Darren menyusul dan menagih janji. Tapi, lelaki itu seperti ingin menguji seberapa serius perempuan itu atas janjinya. Hingga tahun ketiga perempuan itu muncul memberi kabar, tetapi seolah lupa dengan rencana menikah yang sudah keduanya rencanakan. Tasyi tetap tidak pulang. Ia seperti menikmati momen di luar negeri sana, tanpa peduli dengan Darren yang sudah waktunya untuk menikah. "Aku masih muda untuk menikah sekarang, Dar. Aku masih ingin mengemba
Audi bisa merasakan aliran listrik menerjang sekujur tubuhnya kala melihat sosok Darren berdiri di sisi bangku yang ia duduki. Meski ekspresi yang suaminya tunjukkan tenang, tetapi Audi sangat yakin jika lelaki itu tengah menahan amarah di dadanya. "Bolehkah aku ikut bergabung?" tanya Darren santai menatap sang istri. Ia juga bisa melihat respon lelaki di depan Audi yang terlihat tenang dan malah tersenyum menyilakan."Dengan senang hati. Sudah lama juga saya tidak berbincang dengan Anda," ucap Surya, lelaki yang ternyata adalah teman masa kecil Audi yang baru saja kembali dari luar negeri sebab urusan bisnis. Tanpa sungkan Darren duduk di bangku yang Zain tarik, bersebelahan dengan Audi seolah ingin menunjukkan pada lelaki di depannya bahwa perempuan yang malam itu terlihat cantik dengan dress putih dan celana panjang berwarna coklat susu adalah miliknya. Lalu, masih dengan senyum di bibirnya, Darren menatap teman Audi yang terlihat sama sekali tidak terintimidasi. "Apakah aku ter
Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo