Audi tampak bersiap ketika dokter yang merawat sang mama mengatakan jika pasien sudah diperbolehkan pulang. Senang, jelas perasaan Audi. Sebab ia lebih santai jika merawat sang mama di rumah. Dengan sisa uang yang dimilikinya untuk kebutuhan sang mama di rumah sakit, bisa ia pergunakan dengan menyewa perawat selama masa pemulihan nanti. Saat ini ia sudah berada di loket administrasi. Sudah izin pada mamanya yang tengah ditemani oleh Bagas sebelum adiknya itu pergi ke kampus. Sekian menit Audi menunggu sampai seorang staf perempuan bagian pembayaran mendekatinya. Bukan orang yang sebelumnya Audi temui. Wanita dengan pakaian berwarna hijau muda yang saat ini berdiri di depan Audi dengan bilik kaca yang membatasi keduanya, tersenyum pada Audi lalu mengatakan sesuatu. "Ibu Audi, keluarga dari pasien Ibu Marissa, betul?""Iya, saya anaknya. Wakil keluarga dari Ibu Marissa."Sejenak wanita itu melihat sebuah map yang ada di tangannya. Lalu, sebuah informasi yang disampaikan berikutnya me
Rombongan Audi yang mengantar sang mama pulang, kini sudah sampai rumah dengan selamat. Tak ada insiden atau kemacetan yang mereka alami di sepanjang jalan pulang menuju ke rumah. Sang papa, Kevin, datang ke rumah sakit sesaat Audi dan mamanya sudah mau ke mobil bersama Bagas. Lelaki lewat paruh baya itu kini kembali disibukkan dengan perusahaan yang akhirnya masih bisa bertahan karena 'kerja keras'nya. Kembali disibukkan membuatnya hampir tidak bisa menjemput atau mengantar istrinya pulang ke rumah."Maafkan Papa.""Tidak apa-apa, Pah. Aku dan Bagas masih bisa tangani."Rasa bersalah begitu Kevin rasakan. Tapi, dukungan dari anak dan istrinya membuat ia merasa bahagia dan tak lagi dihinggapi perasaan tak enak yang mendalam."Audi, bolehkah Papa bertanya sesuatu?" Saat sang istri sudah berada di kamar untuk istirahat, Kevin mengajak putrinya berbicara. "Mau tanya apa, Pah?" Audi berjalan menghampiri papanya yang duduk di teras belakang. Bagas sudah pergi ke kampus. Meski ujian diba
Audi masih menunggu Darren yang katanya akan menjemput sekalian menjelaskan sesuatu padanya. Tapi, sampai jam menunjukkan angka delapan malam, lelaki itu masih tak jua muncul. Makan malam bahkan sudah lewat sekian menit yang lalu, lelaki itu tak juga memberinya kabar meski hanya sebuah pesan singkat atas alasan apa sehingga ia masih belum juga datang menjemput. Hingga Audi memutuskan untuk menelepon Zain, tetapi keduluan sebuah pesan dari seseorang yang nomornya tidak ia simpan. "Apa Darren belum juga mengabari?" tanya Kevin saat Audi hendak membuka pesan dari anonim yang sepertinya juga mengirim sebuah gambar. "Baru mau, Pah. Tapi, palingan nelepon Mas Zain," sahut Audi tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponsel yang sedetik kemudian membuatnya kaget. 'Apa ini?' batinnya memekik saat melihat sebuah gambar yang sepertinya diambil oleh seseorang secara diam-diam. Di layar ponselnya terlihat seorang laki-laki tengah bersama seorang perempuan di sebuah hotel. Keluar dari bangunan
Waktu terus berlalu ketika Audi merasa jika mimpinya sudah semakin jauh dan dalam. Malam semakin larut ketika ia merasa ada sesuatu yang basah di pangkal kakinya. Entah apa yang terjadi, tetapi Audi merasa jika ia sedang tidak mengompol. Hingga sekian menit kemudian kembali berlalu ketika mendadak ia merasa kedinginan. Di dalam mimpinya ia bisa merasakan jika sosok di depannya tengah berusaha melepaskan semua pakaian yang ia kenakan. Pakaian tidur atau gaun berwarna merah jambu yang ia sangat ingat betul adalah pakaian yang ia pakai saat hendak tidur, kini terbang setelah sosok itu melepas dari raganya. 'Apa yang dia lakukan?' tanya Audi dalam pikirannya. Tapi, anehnya ia sama sekali tidak berdaya. Ia malah diam saja ketika sosok itu kembali mendekat dan menyentuhnya. Kembali Audi melenguh nikmat. Ia tidak tahu apa yang sosok itu lakukan terhadapnya, tetapi sentuhan yang selalu meninggalkan rasa geli itu seperti sebuah kegiatan intim yang kerap Audi lakukan bersama suaminya, Darre
Audi memekik kaget ketika Darren dengan cepat melepaskan gaun tidur dari tubuhnya. Ia terbelalak dan melotot, menatap suaminya itu. "Apa?" Darren bertanya sebab tatapan tajam yang Audi berikan. "Aku mau tidur! Jadi, tolong jangan membuatku durhaka karena enggan melayani kamu."Audi berkata tegas. Sepertinya ia betul-betul marah dan itu karena kebungkaman Darren yang tidak menyampaikan maaf atau minimal memberi tahunya tentang alasan keterlambatannya menjemput. Darren diam sekarang. Meski ia sudah membuat istrinya setengah telanjang setelah berhasil melepas pakaian merah muda yang saat ini tergeletak di atas lantai, lelaki itu tak lagi berbuat jauh. "Katakan padaku, ada apa sebenarnya?" tanya Darren yang kini sudah beranjak duduk menatap Audi. Namun, perempuan itu tetap diam. Bahkan untuk sekedar melihat dirinya saja, ia enggan. "Audi! Aku bertanya padamu.""Aku udah bilang, enggak ada apa-apa." Audi menjawab ketus. Darren mulai tidak bisa menahan diri. Selama ini ia sudah berte
Pagi menjelang, Darren yang tidur lebih awal karena tak jadi melakukan rutinitas malam, sudah membuka mata dan menyadari tak ada Audi di sebelahnya. Perlahan menguap dan meregangkan kedua tangan, ia kemudian tahu jika perempuan yang semalam marah kepadanya itu tengah berada di dalam kamar mandi. Terdengar suara gemericik air yang jatuh ke lantai, menandakan jika perempuan itu sedang mandi. Timbul ide isengnya tiba-tiba, di mana kemudian Darren beranjak bangun dan berjalan mendekati kamar mandi. 'Kebiasaanmu yang tak pernah berubah. Seperti sengaja supaya aku masuk ke dalam bukan?' gumam Darren begitu mengetahui pintu kamar mandi yang tidak dikunci. Kamar mandi di kamar Audi memang tidak seluas kamar mandi di rumah Darren. Tapi, ruangan itu cukup luas menurutnya dengan bath tub berbentuk oval yang berada di dekat wastafel, berwarna putih gading. Lalu, ruangan yang sedikit lebih sempit agak menjorok ke dalam, yang Darren tebak adalah tempat Audi mandi sebab ada tirai bening atau tra
Sore itu Darren mengabari Audi kalau ia akan pulang terlambat sebab ada undangan pesta yang harus ia datangi. Bukan sebuah pesta besar yang biasanya harus membawa pasangan, tetapi sebuah undangan makan malam dari salah seorang sahabat lama yang juga masih saudara jauhnya. 'Kamu tidak bilang waktu tadi pagi! Memang ke pesta siapa?'Audi menyahut sedikit kesal dan jelas terdengar di telinga Darren. "Ya, aku lupa kalau ada undangan pesta kepulangan Candra dan keluarganya."Audi diam. "Apakah kamu marah?"'Enggak. Siapa yang marah? Kalo gitu aku juga izin mau pergi makan malam sama temen.'"Teman? Teman yang mana? Setahuku kamu cuma punya teman yang namanya Sofi saja."Darren merasa heran dengan kalimat yang Audi sampaikan. Ia merasa istrinya tumben sekali akan pergi ke suatu tempat dengan temannya. Sebab setahu pengusaha itu, istrinya bukanlah seseorang yang memiliki banyak teman. Audi adalah perempuan pendiam, jarang bergaul atau bersosialisasi -itu yang Darren tahu selama ia menjadi
Tujuh tahun lalu, Darren harus memohon pada Tasyi untuk tidak pergi meninggalkannya. Perempuan itu bersikeras ingin melanjutkan sekolahnya ke luar negeri karena ingin mengasah bakat seni yang dimiliki. "Hanya dua tahun, Darren," ucap Tasyi waktu itu. "Aku akan kembali dan menerima lamaranmu. Saat itu juga kita akan menikah sesuai keinginanmu."Namun, apa yang terjadi? Janji yang Tasyi ucapkan tidak pernah perempuan itu tunaikan. Dua tahun Darren menunggu, tak ada kabar di mana katanya ia akan kembali ke tanah air. Sebetulnya bisa saja Darren menyusul dan menagih janji. Tapi, lelaki itu seperti ingin menguji seberapa serius perempuan itu atas janjinya. Hingga tahun ketiga perempuan itu muncul memberi kabar, tetapi seolah lupa dengan rencana menikah yang sudah keduanya rencanakan. Tasyi tetap tidak pulang. Ia seperti menikmati momen di luar negeri sana, tanpa peduli dengan Darren yang sudah waktunya untuk menikah. "Aku masih muda untuk menikah sekarang, Dar. Aku masih ingin mengemba