"Mas sini, aku juga mau lihat," teriak Safia sambil terus meraih, tangan Manan tanpa disadari tubuhnya menempel pada manan. Seketika itu ia pun sadar dan berhenti kemudian.Safia pun ingat kalau di gelas masih ada lima yang sedang di rendam dalam air urin dan di ambil semua lalu didiamkan sejenak setelah itu ia pun melihatnya."Apa aku hamil? ini bagaimana kalau nanti Amar tidak mau minum ASIku," ucapnya sedih."Bukankah tadi malam masih mau ASimu, itu berarti tidak masalah dan aku juga masih suka Asimu," gurau Manan agar Safia tidak tertekan.Safia menoleh matanya melotot ke arah Manan, dan pria itu tertawa. "Seperti akan segera adzan subuh, aku mau ke masjid dulu, ngomong -ngomong kenapa semuanya kamu pakai, sebenarnya lima saja sudah cukup," ucap Manan sambil meletakkan testpack di nakas kembali.Safia menepuk keningnya, "Ah ... iya kenapa ku pakai semua," ucapnya lirih lalu ia memandang sepuluh testpack yang digunakannya itu dan di pun tertawa pada akhirnya.Ia membersihkan diriny
Mobil berjalan lamban karena lalu lintas padat, sedikit kesal dan menyesal karena berangkat terlalu pagi. "Ck, mengapa panjang sekali macetnya," gerutunya."Mas Manan, 'kan tahu kalau pagi hari itu selalu padat, kenapa berangkat pagi," timpal Safia."Agar kita bisa konsultasi agak lama dengan Anton, mengenai kehamilanmu itu macetnya sepanjang ini kita tidak mungkin sampai lebih awal," ucap Manan."Ya gak apa-apa Mas Manan juga kan gak ke kantor," ucap Safia.Manan hanya terdiam sambil mengumpat dalam hati, hingga tiga puluh menit kemudian lalu lintas terurai dan perjalanan normal kembali.Setelah perjalanan memakan waktu satu jam mereka pun sampai. Safia tidak kunjung keluar membuat Manan mengernyitkan dahinya."Kenapa? Apa yang kau tunggu? Ayo turunlah!" pinta Manan."Kenapa di dokter Anton tidak adakah dokter wanita?" tanya Safia pada Manan."Aku lebih percaya Anton dari pada dokter lainnya, ayolah turun!" ucap Manan.Dengan terpaksa ia pun mengikuti apa yang diperintahkan Manan. Ia
Hampir saja mobil Manan menabrak mobil di depannya yang tiba-tiba saja berhenti di depannya, untung saja mobilnya tidak sampai menabrak mobil di depannya itu."Mas Manan, hati-hati dong, jangan melamun!" tegur Safia sedikit keras karena ia pun terkejut."Iya, maaf, memangnya ada apa sih di depan? Kok tiba-tiba macet lagi," gerutu Manan ."Mungkin saja perbaikan jalan." jawab Safia sekenanya."Mungkin yah," gumamnya sendiri.Lalu lintas kembali padat merayap karena di depan sedang ada perbaikan jalan yang membuat kendaraan harus bergantian lewat jalur kanan.Setelah lima belas menit mobil di depan mulai bergerak pelan dan perlahan lancar kembali.Sesampainya di rumah ia mengambil alih Amar dari gendongan Safia dan turun dari mobil di ikuti oleh Safia."Fia, jika ambil suster untuk Amar apa kamu keberatan?" tanya Manan sambil berjalan masuk ke dalam rumah."Lebih baik gak usah, Mas," ucapnya sambil berjalan mendahului Manan pergi ke dalam kamarnya."Kenapa? Kamu itu hamil loh, Fi," tany
Hanie telah memasuki taksi yang telah dipesannya itu dan melaju ke hotel dimana saat ini Brian tengah menunggunya.Tiga puluh menit kemudian ia pun sampai di sebuah hotel berbintang ia pun keluar dari taksi yang ditumpanginya dan berjalan masuk ke dalam hotel lalu masuk dalam lift, hingga mencapai lantai sepulu lift berhenti bergerak dan pintu terbuka dan ia pun keluar lalu berjalan mencari kamar 234 setelah sampai di depan pintu ia pun berhenti dan menekan bel, tak perlu menunggu lama pintu terbuka dan seorang pria bertelanjang dada berdiri di hadapannya dan langsung meraih pinggang wanita itu dan membawa kepelukannya lalu menyeretnya masuk dan pintu tertutup rapat dan terkunci.Brian meraup bibir wanita yang sudah sangat dirindukannya itu, tanpa melepas tautan di bibirnya ia melucuti pakaian Hanie terpampang jelas tubuh tanpa busana dihadapannya dan lelaki itu mulai mencumbunya lalu membawanya ke perduannya. Sementara Akran masih dengan penyesalannya, semua ini karena Hanie andai d
Manan hari itu memutuskan untuk tidak pergi ke kantor karena ingin membahas tentang mengambil Art dan suster, tetapi saat ini Safia tidak bisa diajak bicara sama sekali, ia dalam mode marah membuat Manan bingung harus bagaimana.Pria itu berjalan mondar-mandir untuk berfikir bagaimana cara berbicara dengan Safia. Ia memeras otaknya dengan sangat keras.Lalu dengan langkah lebarnya ia pun berjalan menuju dapur membuat sesuatu yang disukai Safia. Seingat dia Safia sangat suka dengan makanan manis ia pun memeriksa lemari penyimpanan makanan apakah masih ada sagu balok kering.'Dulu Laila menyimpan bahan itu khusus untuk adiknya itu, wanita itu akan sibuk di dapur saat Safia berjanji akan berkunjung ke rumah ini dan membuat bubur sagu dengan kuah gula santan.' pikirnyaIa pun menemukan bahan-bahan itu dan mengelolanya menjadi bubur, lalu membuat kuah santan dengan santan bubuk yang masih ada dua di lemari pendingin.Tiga puluh menit berlalu ia pun selesai dan memindahkan ke dalam mangkuk
Di kamar hotel itu Brian dan Hanie menuntaskan rasa rindu yang bergejolak, setelah mencapai puncak kenikmatan mereka saling berpelukan di satu selimut. tiba-tiba ia teringat Akran belum makan apa-apa tadi, segera ia meminta mengambil tasnya yang ada di meja."Untuk apa sih ambil tas?" tanya Brian sambil mengecup bahu polos hani."Mau ambil handphone yang ada di dalam, tadi Akran belum makan apa pun," ucap Hanie."Aku juga belum makan loh sayang, baru makan kamu ini, tapi kamu lebih perhatian ke dia," ucap Brian mengambilkan tas sambil cemberut."Kamu tinggal telpon, sambil mainin aku," ucap Hanie terkekeh."Iya betul sih," ucap Brian terkekeh sambil memeluk erat sambil menaruh dagunya di atas bahu polos Hanie Hanie mengambil handphonenya dan memesan makanan kesukaan Akran setelah itu memasukan kembali di dalam tasnya dan memberikannya pada Brian untuk di taruh di atas meja dan mereka kembali melanjutkan kegiatan hangatnya.Sementara itu di depan Apartemen yang di tempati Hani dan Ak
Iya aku tidak apa-apa," ucap Akran dengan tersenyum."syukurlah kalau begitu saya takut kalau kepala bapak juga mengalami masalah karena terbentur lantai bapak masih ingat nama Bapak kan?" tanya wanita itu dengan lugunya."Tentu aku masih ingat. Tak mungkin aku amnesia hanya sekedar terbentur lantai," ucapnya sambil berusaha bangun dan gadis itu membantunya dengan sangat cekatan."Kukira Bapak sudah baik-baik saja, jadi saya bisa pulang karena ini sudah sangat larut malam, tempat Bapak ini adalah lokasi terakhir yang harus saya antarkan pesanannya bapak," ucap gadis itu dengan sangat formilnya."Tetapi saya tidak memesan makanan," ucap Akran dengan dahi yang mengkerut."mungkin istri bapak atau pacar bapak yang memesankan makanan untuk bapak," ucap gadis itu. "Oh begitu, kalau tidak keberatan bermalam di sini saja, istriku mungkin tidak akan kembali malam ini, jika kau nekat pulang saya kuatir terjadi apa-apa denganmu," ucap Akran sambil beranjak dari tempat tidurnya."Apa di sini me
Akran menatap gadis itu, lalu menghelah napas panjang. "Kamu mirip dia. Mirip sekali dengan kakak Iparku yang sudah meninggal dari istri keduaku.""Apa istri kedua? Kau punya istri dua?" tanya gadis itu sambil membelalakkan matanya."Hem, tetapi dia sudah mantan aku sekarang, mertua istri pertamaku yang memisahkan aku dan dia, padahal aku sangat mencintainya," ucapnya sambil terus menyuapkan makanannya di mulutnya."Itu salah Bapak kenapa menikah lagi, padahal masih ada istri pertama," ucapnya"Istrikku yang minta untuk mendekatinya dan menikahinya untuk sebuah misi aku tidak berdaya saat itu aku masih butuh jabatan dan uang untuk biaya pengobatan ibuku juga biaya studi adikku," jawabnya sambil mengambil tisu dengan tangan kiri dan mengelap bibirnya serta menyudahi makannya."Aku sudah selesai, kalau kamu sudah selesai tolong simpan makanannya di lemari pendingin, setelah itu tidurlah di kamar itu," ucapnya sambil bangun dari duduknya dan hendak pergi ke kamarnya."Bapak tidak takut s