Setelah membersihkan tubuhnya ia keluar dengan memakai bath robe, di kamar itu, ia tidak menemukan Manan, mungkin saja pria itu berada di ruangan kerjanya.Ia pun berjalan menuju kamarnya sendiri, dan mengambil pakaian, melihat isi lemarinya ia jadi sedih sendiri, ia berfikir. 'Sejak kapan isinya jadi berubah seperti ini.'Ia mengambil satu dan memakainya setelah itu memakainya kemudian ia kembali ke kamar Manan agar saat Amar bangun ia bisa mendengar tangisan Amar.Ia berjalan masuk ke kamar itu pikirannya masih berkutat dengan apa yang dikatakan Manan, hingga ia pun menyerah apa pun mengenai Akran karena untuk mengunjungi makamnya saja ia tidak bisa.Safia berjalan menuju ranjangnya, ia menatap langit-langit tak ada masa depan dalam rumah tangganya. dia menjalani ini semua hanya demi Amar dan juga anak yang dikandungnya jika memang sudah tumbuh di rahimnya.Safia memejamkan matanya tubuhnya terasa remuk redam, tak lama kemudian ia pun terlelap.Sementara itu Manan yang sudah selesa
"Mas sini, aku juga mau lihat," teriak Safia sambil terus meraih, tangan Manan tanpa disadari tubuhnya menempel pada manan. Seketika itu ia pun sadar dan berhenti kemudian.Safia pun ingat kalau di gelas masih ada lima yang sedang di rendam dalam air urin dan di ambil semua lalu didiamkan sejenak setelah itu ia pun melihatnya."Apa aku hamil? ini bagaimana kalau nanti Amar tidak mau minum ASIku," ucapnya sedih."Bukankah tadi malam masih mau ASimu, itu berarti tidak masalah dan aku juga masih suka Asimu," gurau Manan agar Safia tidak tertekan.Safia menoleh matanya melotot ke arah Manan, dan pria itu tertawa. "Seperti akan segera adzan subuh, aku mau ke masjid dulu, ngomong -ngomong kenapa semuanya kamu pakai, sebenarnya lima saja sudah cukup," ucap Manan sambil meletakkan testpack di nakas kembali.Safia menepuk keningnya, "Ah ... iya kenapa ku pakai semua," ucapnya lirih lalu ia memandang sepuluh testpack yang digunakannya itu dan di pun tertawa pada akhirnya.Ia membersihkan diriny
Mobil berjalan lamban karena lalu lintas padat, sedikit kesal dan menyesal karena berangkat terlalu pagi. "Ck, mengapa panjang sekali macetnya," gerutunya."Mas Manan, 'kan tahu kalau pagi hari itu selalu padat, kenapa berangkat pagi," timpal Safia."Agar kita bisa konsultasi agak lama dengan Anton, mengenai kehamilanmu itu macetnya sepanjang ini kita tidak mungkin sampai lebih awal," ucap Manan."Ya gak apa-apa Mas Manan juga kan gak ke kantor," ucap Safia.Manan hanya terdiam sambil mengumpat dalam hati, hingga tiga puluh menit kemudian lalu lintas terurai dan perjalanan normal kembali.Setelah perjalanan memakan waktu satu jam mereka pun sampai. Safia tidak kunjung keluar membuat Manan mengernyitkan dahinya."Kenapa? Apa yang kau tunggu? Ayo turunlah!" pinta Manan."Kenapa di dokter Anton tidak adakah dokter wanita?" tanya Safia pada Manan."Aku lebih percaya Anton dari pada dokter lainnya, ayolah turun!" ucap Manan.Dengan terpaksa ia pun mengikuti apa yang diperintahkan Manan. Ia
Hampir saja mobil Manan menabrak mobil di depannya yang tiba-tiba saja berhenti di depannya, untung saja mobilnya tidak sampai menabrak mobil di depannya itu."Mas Manan, hati-hati dong, jangan melamun!" tegur Safia sedikit keras karena ia pun terkejut."Iya, maaf, memangnya ada apa sih di depan? Kok tiba-tiba macet lagi," gerutu Manan ."Mungkin saja perbaikan jalan." jawab Safia sekenanya."Mungkin yah," gumamnya sendiri.Lalu lintas kembali padat merayap karena di depan sedang ada perbaikan jalan yang membuat kendaraan harus bergantian lewat jalur kanan.Setelah lima belas menit mobil di depan mulai bergerak pelan dan perlahan lancar kembali.Sesampainya di rumah ia mengambil alih Amar dari gendongan Safia dan turun dari mobil di ikuti oleh Safia."Fia, jika ambil suster untuk Amar apa kamu keberatan?" tanya Manan sambil berjalan masuk ke dalam rumah."Lebih baik gak usah, Mas," ucapnya sambil berjalan mendahului Manan pergi ke dalam kamarnya."Kenapa? Kamu itu hamil loh, Fi," tany
Hanie telah memasuki taksi yang telah dipesannya itu dan melaju ke hotel dimana saat ini Brian tengah menunggunya.Tiga puluh menit kemudian ia pun sampai di sebuah hotel berbintang ia pun keluar dari taksi yang ditumpanginya dan berjalan masuk ke dalam hotel lalu masuk dalam lift, hingga mencapai lantai sepulu lift berhenti bergerak dan pintu terbuka dan ia pun keluar lalu berjalan mencari kamar 234 setelah sampai di depan pintu ia pun berhenti dan menekan bel, tak perlu menunggu lama pintu terbuka dan seorang pria bertelanjang dada berdiri di hadapannya dan langsung meraih pinggang wanita itu dan membawa kepelukannya lalu menyeretnya masuk dan pintu tertutup rapat dan terkunci.Brian meraup bibir wanita yang sudah sangat dirindukannya itu, tanpa melepas tautan di bibirnya ia melucuti pakaian Hanie terpampang jelas tubuh tanpa busana dihadapannya dan lelaki itu mulai mencumbunya lalu membawanya ke perduannya. Sementara Akran masih dengan penyesalannya, semua ini karena Hanie andai d
Manan hari itu memutuskan untuk tidak pergi ke kantor karena ingin membahas tentang mengambil Art dan suster, tetapi saat ini Safia tidak bisa diajak bicara sama sekali, ia dalam mode marah membuat Manan bingung harus bagaimana.Pria itu berjalan mondar-mandir untuk berfikir bagaimana cara berbicara dengan Safia. Ia memeras otaknya dengan sangat keras.Lalu dengan langkah lebarnya ia pun berjalan menuju dapur membuat sesuatu yang disukai Safia. Seingat dia Safia sangat suka dengan makanan manis ia pun memeriksa lemari penyimpanan makanan apakah masih ada sagu balok kering.'Dulu Laila menyimpan bahan itu khusus untuk adiknya itu, wanita itu akan sibuk di dapur saat Safia berjanji akan berkunjung ke rumah ini dan membuat bubur sagu dengan kuah gula santan.' pikirnyaIa pun menemukan bahan-bahan itu dan mengelolanya menjadi bubur, lalu membuat kuah santan dengan santan bubuk yang masih ada dua di lemari pendingin.Tiga puluh menit berlalu ia pun selesai dan memindahkan ke dalam mangkuk
Di kamar hotel itu Brian dan Hanie menuntaskan rasa rindu yang bergejolak, setelah mencapai puncak kenikmatan mereka saling berpelukan di satu selimut. tiba-tiba ia teringat Akran belum makan apa-apa tadi, segera ia meminta mengambil tasnya yang ada di meja."Untuk apa sih ambil tas?" tanya Brian sambil mengecup bahu polos hani."Mau ambil handphone yang ada di dalam, tadi Akran belum makan apa pun," ucap Hanie."Aku juga belum makan loh sayang, baru makan kamu ini, tapi kamu lebih perhatian ke dia," ucap Brian mengambilkan tas sambil cemberut."Kamu tinggal telpon, sambil mainin aku," ucap Hanie terkekeh."Iya betul sih," ucap Brian terkekeh sambil memeluk erat sambil menaruh dagunya di atas bahu polos Hanie Hanie mengambil handphonenya dan memesan makanan kesukaan Akran setelah itu memasukan kembali di dalam tasnya dan memberikannya pada Brian untuk di taruh di atas meja dan mereka kembali melanjutkan kegiatan hangatnya.Sementara itu di depan Apartemen yang di tempati Hani dan Ak
Iya aku tidak apa-apa," ucap Akran dengan tersenyum."syukurlah kalau begitu saya takut kalau kepala bapak juga mengalami masalah karena terbentur lantai bapak masih ingat nama Bapak kan?" tanya wanita itu dengan lugunya."Tentu aku masih ingat. Tak mungkin aku amnesia hanya sekedar terbentur lantai," ucapnya sambil berusaha bangun dan gadis itu membantunya dengan sangat cekatan."Kukira Bapak sudah baik-baik saja, jadi saya bisa pulang karena ini sudah sangat larut malam, tempat Bapak ini adalah lokasi terakhir yang harus saya antarkan pesanannya bapak," ucap gadis itu dengan sangat formilnya."Tetapi saya tidak memesan makanan," ucap Akran dengan dahi yang mengkerut."mungkin istri bapak atau pacar bapak yang memesankan makanan untuk bapak," ucap gadis itu. "Oh begitu, kalau tidak keberatan bermalam di sini saja, istriku mungkin tidak akan kembali malam ini, jika kau nekat pulang saya kuatir terjadi apa-apa denganmu," ucap Akran sambil beranjak dari tempat tidurnya."Apa di sini me
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan