"Kamu pikir kamu bisa menarik simpati dokter dengan bersikap manis padanya?" Rasa-rasanya Nova akan kesulitan bernapas setiap kali ia baru selesai membuka topengnya dari dunia Angga yang penuh kepalsuan.Di tengah sesi makan malam yang baru berlangsung, Angga masih sempat-sempatnya memercikan api peperangan dengannya. "Aku lapar dan butuh mengisi perutku dengan makanan, bukan dengan ocehanmu," balas Nova, langsung mematahkan niat Angga. Jawaban Niva cukup ampuh untuk membuat Angga merapatkan mulutnya. Sekali-kali suaminya memang perlu mendapatkan perlakuan yang sama dengan apa yang sudah ia lakukan pada orang-orang tertindas seperti Nova..Entah berapa banyak orang yang menanam dendam dalam hati mereka untuk sosok pebisnis yang digadang-gadang merupakan sosok pemimpin yang baik hati dan patut dijadikan panutan dalam dunia bisnis. "Kau selalu punya jawaban untuk melawanku, ya?" "Aku hanya membalas ucapanmu, tidak berniat untuk melawan. Jika itu salah, apakah itu kesalahan jawabanm
"Astaga, Nova. Kamu benar-benar membuatku gila!" Angga mengusap wajahnya frustasi. "Kamu yang memulai lebih dulu. Setiap apa yang aku lakukan selalu salah di matamu. Apalagi kalau berhubungan dengan laki-laki. Aku penasaran, sebenarnya kamu memikirkan nama baikmu atau kamu cemburu?" kata Nova heran. "Uhuk! Uhuk!" Angga baru saja menyuap suapan pertamanya namun ucapan Nova membuatnya tersedak. Kedua mata Nova membulat sempurna. Melihat Angga yang hampir kehabisan napas karena makanannya membuat Nova panik.“Angga! Astaga, kenapa tidak hati-hati, sih? Minum dulu. Pelan-pelan.” Meski diselingi omelan, Nova tetap menyodorkan segelas air putih untuk meredakan tenggorokan Angga.“Ah, cukup cukup,” kata Angga sambil mengangkat sebelah tangannya. Nova mundur selangkah, memberikan sedikit ruang untuk Angga menghirup udara. “Sebegitu terkejutnya kamu dengan ucapanku,” ucap Nova sedikit mengejek. Ia kembali ke kursinya. Menyelesaikan makan malam yang tak lagi hangat. “Apa itu artinya kamu
Entah apa yang ada di pikiran Angga, membawa Nova ke balkon hanya untuk bicara. Tak hanya kejam, Angga juga memiliki sisi plin-plan yang cukup besar. Awalnya, pria itu meminta Nova untuk tetap berada di atas kasur. Bahkan perlu menonjolkan sedikit otot-ototnya di leher hanya untuk menegaskan keinginannya. Tetapi, beberapa menit kemudian keputusannya berubah. "Aku tidak tahu kalau pebisnis terkenal sepertimu. Juga bisa membuat keputusan yang mudah goyah," sindir Nova. Satu kelemahan Angga yang Nova kantongi lagi. "Duduk saja di sana, tidak perlu banyak bicara," balas Angga ketus. Pegangan Angga di tangannya tak terlepas sedetikpun. Entah Angga yang tak menyadarinya atau memang itu hanya cara Angga untuk mengelabui Nova agar menuruti semua perintahnya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" "Apakah Aldo sedang mencoba mendekatimu?" tanya Angga terus terang.Bagaimana cara Angga menanyakan itu terdengar konyol di telinga Nova. Ia menahan tawa dengan merapatkan bibirnya, tetapi, raut waja
“Profit perusahaan bulan ini melonjak pesat Pak Angga. Ini semua berkat berita tentang penghargaan yang tuan peroleh.” Sejak lima belas menit lalu Aldo tak henti-hentinya menyuarakan kebanggaannya. Tak biasanya Angga tak terlalu antusias dengan apa yang didengarnya barusan. Alih-alih ikut menyuarakan kepuasannya atas hasil kerja yang membuatnya semakin gila. Angga hanya menampakkan raut wajah datar dan tak tertarik.“Apa yang salah denganmu, tuan? Apakah berita ini tidak menggugah kepuasanmu?” Aldo menyadari perubahan sikap Angga belakangan ini. Satu bulan berlalu setelah perdebatannya dengan Nova di balkon waktu itu, Angga tak banyak bicara. Ia menjalani hidupnya bagaikan seekor katak dalam tempurung. Berjalan terus tapi beban di pundaknya tak pernah habis.“Aku sudah biasa menerimanya, karena aku memang layak. Semua usaha aku kerahkan untuk memampang wajahku di majalah bisnis ternama itu. Tidak ada yang spesial lagi,” jawab Angga berbohong.Bukan itu yang menyita pikirannya saat i
Dua kali pukulan melandas tepat di kanan dan kiri pipi Aldo. Lebam membiru muncul di sekitar tulang pipi dan setetes darah mengalir di sudut bibir pria itu. Bersamaan dengan tangan Angga yang mulai melayang di udara, suara pintu yang dibuka tiba-tiba disusul pekikan seorang wanita menghentikan niat Angga untuk melayangkan pukulan ketiga.“Angga! Apa yang kamu lakukan?” Angga mengalihkan pandangan pada sosok wanita yang berlari memapah tubuh Aldo yang hampir limbung. Dengan wajah khawatir ia menatap wajah Aldo seraya berkata,“Astaga, kamu terluka cukup parah, Aldo,” kata Nova panik.“T-tidak perlu, nyonya. Aku baik-baik saja,” jawab Aldo. Nova lantas mengalihkan perhatiannya pada Angga yang diam mematung. Tak lama setelah itu, pandangannya menangkap dua tangan Angga yang masih terkepal erat. Nova tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. Dan mengapa Angga begitu tega menghajar sahabatnya sendiri.“Kenapa kamu memukul Aldo sampai dia babak belur seperti ini? Apa s
Suasana rumah sepi ketika Nova menginjakkan kakinya di sana. Hanya ada dua ajudan yang berjaga di pintu masuk utama rumah besar ini yang menyambut kedatangan Nova dengan senyum ramah. Ia melangkah masuk, berharap Angga ada di sekitarnya hanya untuk memberitahu pria itu akibat ulah kasarnya pada Aldo. “Angga?” “Angga?” Nama Angga digaungkan hingga terdengar ke seluruh penjuru rumah. Para pelayan yang biasanya berlalu lalang membereskan ruang demi ruang malam ini keberadaannya hampir lenyap. Tidak ada sahutan baik dari para pelayan atau bahkan Angga sendiri. Rumah ini seperti rumah kosong yang tak berpenghuni. Nova mengayuhkan langkahnya menuju ruang makan. Berharap menemukan sang suami di sana mengingat sekarang sudah waktunya makan malam. Namun, Nova kembali menelan kekecewaan yang begitu besar saat tak melihat siapapun di sana.Di atas meja makan sudah tersaji banyak pilihan lauk yang menggugah selera. Tetapi, tak satupun disentuh untuk dinikmati kelezatannya.“Sepertinya dia b
Suasana dapur bagaikan sebuah kapal yang baru saja menghantam terumbu karang. Berantakan di segala sisinya. Nova bergerak kesana kemari, terlihat panik mencari sesuatu.“Apa yang sedang kamu cari, nyonya? Mungkin aku bisa membantumu.” Kepala pelayan datang menawarkan bantuan. Saat masuk ke area dapur kepalanya menggeleng heran mendapati beberapa alat masak tergeletak sembarangan di atas meja servis. “Apakah baru saja terjadi peperangan di sini?” Beraninya kepala pelayan menyindir sang nyonya. Kalimat itu mungkin saja bisa membuat Nova murka, tetapi nyatanya, wanita itu justru menjawab sindiran bu kepala dengan kalimat yang lebih konyol.“Ya, ini adalah gambaran situasi jika Angga mengamuk,” jawabnya. Tiga orang pelayan yang membantunya sontak tertawa. Begitu juga dengan bu kepala. Suasana yang sebelumnya tegang perlahan mencair karena ulah dua orang itu. Nova masih sibuk menuangkan nasi goreng buatannya ke dalam piring. Sambil sesekali melirik ke arah jam di dinding. “Bu kepala, t
Suapan terakhir nasi goreng yang sempat mendapat protes dari Angga akhirnya kandas tak bersisa. Angga seolah tak mengingat apa yang ia lakukan sebelumnya. Pria itu mengelap mulutnya dengan napkin, kemudian merapikan posisi jasnya. "Bu kepala, kemarilah," perintah Angga seraya mengangkat sebelah tangannya. Bu kepala datang menghampirinya dengan sigap. Berdiri tepat di samping Angga dengan kepala yang tertunduk."Lain kali siapkan menu sarapan yang lebih menarik. Meski aku menghabiskannya dengan sangat baik, itu karena aku menghargai usahamu," kata Angga. Ia adalah sosok yang tak segan untuk berterus terang meski apa yang ia ucapkan menyakitkan."Baik, tuan, tolong maafkan kelalaian saya ini," jawab bu kepala. Nova masih ada di sana ketika Angga mengatakan itu, sesuatu dalam dirinya tak terima bu kepala harus menerima teguran untuk apa yang tidak ia lakukan. Rasa bersalah pun sudah membuat Nova hampir gila. Apalagi ketika bu kepala tak mengizinkannya untuk membongkar semuanya."Angg