Bryan sampai di kantor dengan wajah ditekuk berkali-kali lipat. Tak ada senyum maupun balasan atas sapaan hangat yang dilayangkan para pegawai untuknya. Di belakangnya Alex menjadi tameng Bryan untuk menjaga nama baik sang bos besar dengan membalas sapaan para staf. Bryan tidak peduli dengan hal itu, ia terus memacu langkahnya semakin cepat menuju ruang kerjanya di lantai teratas gedung ini. Sesampainya di ruangan super besar itu, Bryan mengenyahkan tubuhnya ke sofa malas. Bukannya ke kursi kerja yang telah menjadi singgasana abadinya. "Apa yang sedang terjadi? Lo terlihat sangat frustasi hari ini."Alex ikut duduk di sofa malas, menatap bosnya dengan wajah bingung. Bryan mengusap wajahnya dengan kasar. Semakin membuat Alex bingung dengan sikapnya."Apa yang akan lo lakukan kalau seorang wanita menjaga jarak dari lo?" tanya Bryan terus terang. Dahi Alex mengernyit bingung diberikan pertanyaan yang membingungkan ini."Tunggu, lo belum menjawab pertanyaan gue.""Kania tiba-tiba men
Diam termangu di tempatnya, Nova menelan ludah berat melihat kepergian Mark barusan. Namun tubuh Nova tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Seharusnya ia menghalau Mark agar tidak pergi dari hadapannya dengan perasaan marah yang membuat suasana berubah mencekam. Apa salahku? batinnya. Nova hanya memberikan reaksi yang seharusnya . Tidak ada niatan untuk membuat Mark tersinggung. Brak! Emosi Mark memuncak, dan pintu unit apartemen Nova menjadi sasarannya. Hampir saja jantung Nova mencelos mendengar suara debuman kasar yang juga menciptakan efek kejut dari perutnya. Sambil mengelus perut dengan sayang, memberikan sedikit kenyamanan agar bayi di kandungannya sedikit tenang, hanya itu yang bisa Nova lakukan. “Maafkan mama dan om Mark, ya. Tidak sengaja membuat kamu kaget, sayang,” katanya. sekali lagi Nova menoleh ke arah pintu. Bayangan Mark sudah hilang dari pandangan, ia bernapas lega. Setidaknya kali ini jantungnya tidak perlu berlama-lama bersitegang dengan kekhawatiran yang mem
Dua lilin bergoyang mendayu-dayu saat angin tipis berhembus. Nova menaikkan sedikit resleting jaket yang ia pakai. Satu-satunya penyelamat di tengah hawa dingin yang terasa menusuk tulang. “Maaf, tidak seharusnya aku mengajakmu kesini.” Mario menatap Nova sendu. Ada sorot sendu yang begitu besar berusaha disembunyikan oleh pria itu. Nova mengulas senyum, berusaha menunjukkan bahwa keputusan Mario mengajaknya ke sini bukanlah keputusan yang salah. “Ini bukan salah kamu. Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi cuaca yang sesungguhnya,” balas Nova bijak. Ia cukup pandai untuk membuat orang lain nyaman dengan sisi perhatiannya. Tak heran baik Mark maupun sang mantan suami–katakan saja mantan–kerap kali gagal berpindah hati. Suara deburan ombak pantai. tak jauh dari tempat mereka duduk terdengar menyelinap diantara perbincangan Mario dan Nova. Keduanya bungkam, sesekali saling melempar pandang satu sama lain. Memenjarakan pikiran nakal yang berkeliaran di kepala adalah hal yang paling
Angga memandangi selembar tiket pesawat dengan destinasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun kini, pria itu sudah berada di lounge bandara khusus untuk para penumpang elit seperti dirinya. Ia menghembuskan napas pelan, menyaring semua energi yang bergumul dalam dirinya sekaligus menyegarkan otak dengan pemandangan lapangan parkir pesawat di depannya, “Satu cangkir cappucino panas, selamat menikmati Pak Angga.” senyuman manis salah satu staf lounge seharusnya bisa sedikit mengalihkan penat di pikiran Angga saat ini. Dulu, ia bisa dengan mudah tertarik oleh wanita manapun yang menggodanya. Meski tak satupun dari wanita itu bisa meluluhkan perasaan Angga yang keras hati. Bagi Angga, semua wanita adalah investasi. tapi itu adalah prinsipnya dulu. Sebelum ia benar-benar menemukan sebuah alasan untuk mencintai. “Terima kasih,” balas Angga. Memberikan senyum tipis tetapi kekuatannya mampu membuat sang pegawai lounge salah tingkah di tengah tuntutan dirinya yang harus bersikap
“Silahkan masuk, Tuan. Ini adalah kediaman pribadi tuan Lee. Beliau berpesan Anda akan tinggal di sini selama berada di Korea. Kelihatannya beliau ingin menghabiskan waktu bersama anda. sahabatnya.” Angga memasuki sebuah penthouse berukuran besar dengan model interior yang tidak jauh berbeda dengan miliknya di Jakarta. Kepalanya mengangguk-angguk paham. Mereka berdua memiliki selera desain yang hampir sama. Tidak heran jika Dae Hyun memilih untuk membiarkan Angga tinggal di sini. “Terima kasih, Yeon Ji.”“Sama-sama, tuan. Semua kebutuhan anda sudah saya siapkan di kamar,” kata Yeon Ji , mengarahkan sebelah tangannya menunjuk ke satu kamar yang memiliki dua daun pintu besar. Bukankah itu kamar Dae Hyun? batinnya. Seakan bisa membaca pikiran Angga, Yeon Ji kembali bersuara, “Itu kamar utama di unit ini. Tapi Tuan Lee tidak menggunakannya. Beliau lebih memilih untuk menggunakan kamar tamu yang lebih kecil.” “Selalu seperti itu. Kalau tidak betah tidur di ruangan berukuran besar, kena
“Ck! Kau menantangku, hm? Aku tahu kau tidak akan mudah menaruh hati pada wanita. Jangan-jangan kau hanya penasaran padanya.” Kedua tangan Angga dilipat di depan dada. Melemparkan pandangan mengejek sekaligus skeptis pada sahabatnya. “Ini berbeda. Dia sudah menarik perhatianku sejak pertemuan pertama. Dia cantik, sopan, penuh perhatian dan pandai menempatkan diri. Kalau aku hanya penasaran, satu hal yang ingin kuketahui.” Wajah Dae Hyun berubah serius. Sebelah tangannya mengusap dagu dengan pandangan ke langit-langit ruangan. Seakan apa yang ada di pikirannya saat ini adalah sebuah fenomena alam yang sulit untuk dipecahkan. Gelas wine di kedua tangan pria itu kompak digoyangkan demi menambah sensasi nikmat saat di tenggak. Pemandangan kota Seoul dan pantulan cahaya gedung-gedung pencakar langit di sungai Han mempercantik lukisan malam dari jendela unit penthouse ini. “Apa? Kenapa kau berpikir keras begitu?” “Aku penasaran, alasan apa yang membuat dia meninggalkan mantan suaminya.
Kejadian kemarin malam membuat Nova menimbun rasa sungkan yang semakin besar pada Mario. Kejadian yang baginya sangat memalukan karena semalam, kecemasan Nova mendadak kambuh di momen yang tidak terduga. Nova keluar dari unit apartemennya. Tas selempang sudah tersampir di pundak siap untuk pergi ke restoran dan mengisi perut. Ting! Langkah Nova menuju lift terhenti, saat nyeri mulai menjalar di perut bagian bawahnya. “Akh! Aw, ya Tuhan. Sakit sekali.” Nova meringis. Bersandar di dinding koridor sambil memegangi perutnya. Rasanya seperti dicabik-cabik. Deretan tulangnya seakan dipatahkan secara bersamaan. Berusaha tetap dalam keadaan ini, pandangan Nova mengedar ke sekeliling. Berharap ada seseorang yang muncul untuk menolongnya. Tetapi sekian lama penantian sambil meringis ngilu, tidak ada sedikitpun tanda-tanda pertolongan. Nova hampir putus asa. Tubuhnya limbung. Kedua kakinya tidak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri. Nova luruh ke lantai, ringisan pilu terdengar kian kencan
Mario kikuk. Bagaimana cara perawat itu memandangnya terasa menguliti Mario hidup-hidup. Salah tingkah, seharusnya ia sadar diri sejak awal. “Um, jadi begini. Aku dan ibu bayi ini–” “Mario, sedang apa kau di sini?” Dua orang yang terlibat obrolan dalam suasana tegang itu menoleh bersamaan ke arah sosok yang tiba-tiba menyoroti mereka dengan pandangan penuh curiga. “Mark?” gumam Mario lirih. “Sedang apa kamu di sini? Dan ini, anak siapa?” Padahal rasa-rasanya Mario tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi kenapa pertanyaannya terdengar sebagai sebuah tuduhan. “Bukan urusanmu,” balas Mario. Sikapnya berubah dingin, begitu juga dengan gestur tubuhnya yang defensif. “Mohon maaf, tuan. Sudah waktunya bayi anda untuk kami tangani lebih lanjut. Dimohon untuk tidak menimbulkan ketidaknyamanan diantara sesama pengunjung rumah sakit,” ucap perawat. Ia mengambil alih bayi dalam gendongan Mario. Menghindari perdebatan antara dua pria di sekitarnya.“Tolong kabari aku jika terjadi sesuatu
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.