Gelagat aneh yang Angga tunjukan semakin mengundang rasa penasaran Nova. Wanita itu menaruh secangkir teh hangat di atas meja kerja, tepat di hadapan Angga. Masih dengan tatapan penuh selidik, ia menatap sang suami bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memberondongi pria itu. “Siapa yang membuatmu tertarik? Kamu punya wanita lain di belakangku?” Tuduh Nova dan langsung disangkal dengan gerakan tangannya di depan wajah. Menyangkal tuduhan istrinya yang tak berlandaskan kebenaran.“Tidak ada. Tadi Chris memberikan referensi asuransi padaku. Dan tidak ada satupun yang menarik perhatianku,” jawab Angga mulus. Bakat terhebat yang ia miliki adalah mampu meminimalisir raut wajahnya yang tegang. Nova tetap tak bisa mempercayai jawaban Angga, pria itu terlalu mencurigakan untuk sekedar menutupi kebohongan kecil. “Yakin?” Angga mengangguk lemah. Tatapannya dikunci oleh Nova agar pria itu tak bisa berkutik ataupun mencoba mengalihkan perhatiannya. “Awas kalau kamu tertarik dengan wan
Nova tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya tak lagi ramah, berganti menjadi sorot licik yang mengerikan. Di mata Angga, saat ini Nova lebih mirip dengan wanita-wanita yang dulu seringkali menggodanya. Mengajak Angga untuk melakukan hubungan satu malam hanya demi kepuasan gairah yang menuntut untuk dilepaskan.“Jawab aku, Nova. Apa yang kau lakukan padaku?”Pertanyaan itu terus saja dilontarkan Angga namun Istrinya tak kunjung memberi jawaban. Kekesalannya semakin memuncak kala melihat seringai tipis yang muncul di wajah Nova. Wanita itu seolah sedang menertawakan kekalahan Angga melawan nafsu. Emosi Angga tak bisa ia kendalikan, begitu juga dengan gairah yang semakin membuncah. Seruput teh tadi mengundang jiwa-jiwa dalam diri Angga yang sempat mati. Antara tuntutan gairah dan upaya melepaskan diri dari jebakan Nova bertolak belakang dalam dirinya. Sekujur tubuh Angga mendidih dibuatnya. Semakin ia menolak, semakin besar tuntutan di bawah sana untuk dilampiaskan. Di saat Angga mati
Angga menciptakan jarak untuk dirinya dan Nova. Miliknya yang masih berada di tubuh Nova ditarik kasar, menimbulkan erangan perih dari mulut Nova. Ia memakai kembali celana piyama tidurnya. Beralih melangkah menuju jendela besar dengan pemandangan langit malam yang indah. “Bukankah kamu yang ingin memantaskan diri sebagai seorang istri? Aku hanya mengikuti kemauanmu. Lantas kenapa sekarang kamu justru memojokkanku?” Ada nada kecewa dalam ucapan Angga. Sengaja ia tekankan kekecewaannya karena tak ingin harga diri sebagai suami turun di mata Nova. Angga sendiri tak tahu sejak kapan dirinya mulai sering memperhatikan setiap detail tengan Nova. Atas dasar memantaskan diri menjadi sepasang suami istri, Angga hanya perlu memenuhi nafkah lahir dan batin untuk Angga.Tetapi kini, wanita itu justru menyudutkan Angga dengan pertanyaan konyolnya. “Salahkah jika aku berharap kita bisa menikmati rumah tangga ini? Aku tidak akan memaksa kamu untuk mencintaiku. Aku hanya minta kamu mengakui bahw
Dinginnya ruangan memanggil seluruh kesadaran Angga untuk segera membuka mata. Suara gemericik air hujan menggoda pendengarannya. Di luar hujan masih setia membasahi bumi. Menumpaskan kesedihan dalam hati setiap orang tak terkecuali Angga.Ia belum sepenuhnya membuka mata saat merasakan kepalanya berada di tempat yang terasa asing. Sialnya, meski asing, pijakan kepalanya saat ini justru membawa Angga pada mimpi indah yang belum pernah ia jamah sebelumnya. Angga mengumpulkan serpihan-serpihan kesadarannya. Langit-langit kamar adalah yang pertama kali Angga lihat. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul enam. Ia baru menyadari, tempat tidur yang seharusnya ia jelajahi sendirian, kini terasa sempit. Bersama segenap kekuatan yang sudah terkumpul Angga menoleh ke samping. Pandangannya beradu dengan dua gundukan kembar yang membuatnya langsung membelalakkan kedua bola matanya. Refleks keterkejutannya membawa Angga merubah posisinya menjadi duduk. Dahi berkerut dan wajahnya menegang saa
Nova tidak mengerti dengan maksud ucapan suaminya. Angga terlalu banyak menyimpan rahasia. Baru saja Nova hendak membuka mulut, dering ponsel Angga membuatnya kembali mengatupkan mulutnya. Ditambah lagi isyarat tangan Angga yang terpampang di depan wajah Nova semakin menghalau niatnya untuk bicara. Apa lagi yang bisa Nova lakukan selain diam dan membiarkan Angga menerima panggilan telepon dahulu. Padahal, Nova sangat ingin tahu bagaimana Angga bisa mengatakan sebuah hal tanpa bukti seakan menuduhnya melakukan pengkhianatan di belakang? Sungguh, Nova seperti tak bisa menjamah isi pikiran suaminya saat ini. Terlalu banyak hal yang Angga sembunyikan. Semakin banyak ia mempertanyakan sikap suaminya, semakin sakit pula hasil yang ia terima. “Apa?! Kenapa kau tidak memeriksanya terlebih dahulu? Apa saja yang kau lakukan selama ini hah?!” Makian Angga pada seseorang di telepon membuat Nova berjengit kaget. Pagi yang harusnya dilewati oleh kebahagiaan berubah kelabu. Bentakan Angga tadi c
Kurang tidur tidak menghalangi Nova untuk tetap bergerak aktif di dapur. Menyiapkan sarapan untuk seseorang yang tengah berjuang mempertahankan seluruh aset yang ia punya.Meski semalam Chris tak memberitahu Nova tentang masalah perusahaan yang dihadapi Angga, instingnya mampu bekerja lebih cepat dari kenyataan yang kerap kali datang terlambat. “Semuanya sudah siap. Aku hanya perlu menyiapkan hidangan penutup.” Seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan, Nova bertepuk tangan saat semua makanan yang ia masak sejak subuh terhidang dengan sempurna di dalam kotak makan. Usahanya untuk menyajikan makanan terbaiknya telah selesai. Ia mengemas makanan itu ke dalam tas khusus kotak makan. Lalu beralih ke toilet untuk mempercantik diri.Parfum beraroma cherry yang segar dan lipstik merah muda merona menyempurnakan penampilan Nova hari ini. Suara tangisan Celva menggema ketika ia baru saja keluar dari toilet tamu.Bocah kecil itu merajuk dalam gendongan pengasuh. Saat melihat Nova kedua tan
Setiap kali digerakkan, rasanya ngilunya sampai ke dasar tulang. Sekujur tubuh Angga rasanya bak dihantam puluhan kilo beban berat secara bersamaan.Butuh usaha lebih untuk membuka mata. Sinar lampu di ruangan itu membuat pandangan Angga semakin mengabur. Cahayanya terlalu terang. Pening di kepalanya pun tak kunjung reda. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar ruang kerjanya. Terakhir kali yang Angga ingat, ruangan itu dipenuhi oleh berbagai tumpukkan kertas dan sampah. Tetapi, ketika kedua matanya terbuka lebar, apa yang ada di depannya kini rapi seperti sedia kala. Tak hanya itu, Angga juga baru menyadari posisi tidurnya telah berpindah dari lantai ke sofa tamu. “Bagaimana aku bisa pindah ke sini?” tanyanya pada diri sendiri. Pertanyaan itu tak kunjung mendapatkan jawaban dan berakhir menguap begitu saja di udara.Sekali lagi Angga mengedarkan pandangannya ke sekitar. Memastikan apa yang ia lihat saat ini bukanlah mimpi. Semua benar-benar sudah tertata rapi. “Apa mungkin petugas
Sudah satu jam lamanya Chris bersembunyi di balik layar komputer. Sesekali mengintip adegan romantis di depannya dari salah satu sisi komputer.“Kamu tega sekali mengasingkan Chris di sana. Kasihan dia makan sendiri di pojokan,” ucap Nova seraya memandang asisten pribadi suaminya denganpandangan iba. Angga menoleh, mengikuti arah pandang istrinya selama beberapa detik lalu kembali menikmati makanan di tangannya, “biarkan saja. Itu memang tempatnya,” jawab Angga tak peduli. “Tetap saja, dia adalah orang yang berdiri paling depan untuk membantumu di kantor. Sudah sewajarnya kamu mengundang Chris untuk bergabung bersama kita.” Nova dengan sifat keras kepala dan empatinya yang tinggi. Tidak akan membiarkan siapapun terasingkan oleh keadaan. Semua manusia sama derajatnya, yang membedakan hanya bagaimana persona mereka di masyarakat dan kualitas pribadi masing-masing. “Mas Angga, kamu mendengarkan aku tidak, sih?” Nova berdecak sebal melihat sikap acuh Angga pada sekitarnya. Dua manik k
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.
Angga menurunkan pandangan cukup lama. Bukan kehilangan kepercayaan diri namun, tak kuasa melihat keintiman diantara dua sejoli yang bertemu malam ini. “Untung kamu sama om, Noa,” ucap Angga bermonolog. Bayi di dalam stroller itu menatap Angga lama. Seakan setuju dengan pernyataan omnya. Sedangkan, di seberang meja Angga saat ini. Ada dua sejoli yang sedang melakukan pendekatan satu sama lain. Mario nampak memamerkan senyum terbaiknya di depan Nova. Sedangkan Angga berusaha menahan napas karena pemandangan romantis itu menyakiti hatinya. Ya, Angga cemburu. “Ini untuk aku, Mario?” suara lemah lembut yang khas, menjalar disekitar telinga Angga. Terasa menggelitik hatinya meski pertanyaan itu ditujukan untuk Mario. “Iya, Nova. Ini untuk kamu. Kamu sudah berjuang sejauh ini, kamu wanita hebat.” Angga tidak tidak memiliki masalah dengan pendengaran. Tetapi ia sengaja menutup kedua telinga dengan penyumbat tak kasat mata. Dikala pujian demi pujian dilontarkan Mario untuk Nova, Angga m
Bab 31“Saya hanya berniat mengingatkan saja, tanpa bermaksud untuk ikut campur lebih jauh urusan nona dan tuan. Maafkan saya,” kata Astri merasa bersalah.Sarah berusaha untuk memaklumi kekhawatiran Astri. Tapi untuk seseorang yang cukup peka, Sarah tidak menelan mentah-mentah ucapan Astri tadi. Instingnya mengatakan Astri tahu hal lain yang disembunyikan oleh semua orang. Dan Astri penasaran akan hal itu.“Tidak masalah, aku senang kamu mengkhawatirkanku. Artinya kamu peduli padaku,” balas Sarah. Ia menampilkan senyumnya yang terpantul dari cermin di hadapannya. Dari sana terlihat Astri yang juga membalas senyuman Sarah.“Saya sangat peduli dengan nona. Dari sekian banyak wanita yang menjadi selir tuan, cuma nona Sarah yang sangat rendah hati.” Astri mengakui. Sambil menata rambut Sarah, sang asisten dengan cekatan memberikan polesan-polesan riasan tipis di wajah Sarah. Setengah jam sudah berlalu, namun dua wanita itu masih sibuk dengan segala tetek bengek bersolek. Brak!!Sarah da
“Bagaimana menurutmu, mana hadiah yang cocok untuk wanita pujaanku?” tanya Mario pada Angga. Sahabatnya itu tersenyum lebar tanpa beban. Menyeret Angga ke dalam sebuah toko perhiasan ternama.Angga belum sepenuhnya mengerti maksud Mario, hanya mengernyitkan dahi. “Untuk siapa?” Mario menghembuskan napas lelah. “Jadi, sejak tadi aku mengoceh di jalan, kau tidak mendengarkan aku?” keluh Mario kecewa. Wajahnya berubah masam. “Um, itu–” “Sudahlah, aku tahu apa yang mau kamu ucapkan. Sekarang bantu aku.memilih perhiasan yang cocok untuk Nova.” Deg! Berat rasanya menelan ludah saat mendengar nama Nova terlontar dari mulut Mario. Tatapan Mario yang dalam menyiratkan cinta yang besar untuk wanita yang justru masih berstatus sebagai istri Angga.Andai Mario tahu kebenarannya, apakah pria itu masih bisa bersikap hangat pada Angga dan menganggapnya sebagai sahabat?Belum tentu. Sebuah kenyataan pahit yang harus siap Angga telan mentah-mentah. “Diantara dua kalung ini, menurutmu, mana yang
Duduk diantara banyak pepohonan rimbun demi kenyamanan bayi mungil yang terlelap dalam stroller. Dua orang yang sempat terlibat perang dingin memilih taman di belakang swalayan untuk sekedar menghalau ego yang menggebu. Atas saran Nova, Mark dan Angga diasingkan ke tempat ini. Supaya kalian tahu, bagaimana seharusnya menjadi pria dewasa. Itu pesan Nova saat menengahi perseteruan diantara dua pria yang menggilainya. Sedangkan wanita itu, memilih untuk menyendiri di bagian lain swalayan. Mark berinisiatif mengambil alih penjagaan atas Noa dari Nova setelah melakukan bujuk rayu yang kesekian hingga akhirnya Nova luluh juga. Itu Mark lakukan demi kenyamanan kekasihnya. “Setelah kau melakukan itu pada Nova, kau masih punya nyali untuk menemuinya?” Mark membuka obrolan di tengah keheningan sebelumnya mencabik batin dua pria itu. “Tahu apa kau tentang aku?” “Banyak hal. Banyak yang Nova bagikan padaku, termasuk tentang dirimu yang sudah melukai hatinya. Aku tidak habis pikir, apa kuran
“Nova, kamu kenapa menghindar dariku?” Tubuh Nova berbalik secara paksa ketika sebuah tangan mencegat pergelangannya. Nova tahu siapa pembuat onar di tengah keramaian swalayan yang sedang ia sambangi. Membelakangi stroller putranya, Nova memandang malas Mark yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Manik keoranyean, menyorot tajam. Pandangan Mark turun ke arah dua tas belanjaan yang tersampir di kanan dan kiri stroller milik Noa. “Kenapa?” tanya Nova sinis. Awalnya, ia tidak ingin membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan singkat itu. Tetapi, gerah semakin menjadi. Bahkan hanya ditatap Mark beberapa saat saja berhasil membuat sesuatu di dada Nova bergejolak. Tentu, gejolak aneh itu nova yakini sebagai bentuk tidak nyaman semata. Bukan karena perasaan nyaman atau cinta sekalipun.Terlalu lelah untuk bicara tentang cinta saat ini. Keberadaan Noa adalah yang paling utama baginya melebihi apapun. Mark memamerkan ekspresi bersalah, dan Nova tahu itu hanya sebuah upaya untuk memani
Tin! Tin!Suara klakson mobil membuyarkan obrolan pagi diantara Ameera dengan asisten rumah tangganya. Keduanya mengerutkan kening bingung. Siapa gerangan yang pagi-pagi sekali sudah bertamu? “Sepertinya ada tamu, non. Bibi ke depan dulu, ya,” kata bibi seraya menaruh kembali sebuah piring di meja makan. Ameera mengangguk, membiarkan wanita itu menyambut kehadiran sosok tak diundang itu kemudian melanjutkan makannya. Seperti biasa, Ameera bertugas jaga pagi hari ini. Deretan jadwal konsultasi bagi pasiennya sudah menunggu untuk di rampungkan hingga nanti sore. Setelah menyelesaikan makannya, terdengar suara langkah kaki menghampiri Ameera yang sedang meneguk air putih.“Non, mas itu datang lagi,” kata bibi. Raut wajahnya khawatir ketika mencium bau-bau perang dingin yang akan terjadi diantara majikannya dengan pria yang ia maksud. “Mas siapa, bi?” Ameera kebingungan. Pasalnya ia tidak memiliki bayangan sedikitpun. Hari masih terlalu pagi untuk mencerna sebuah teka-teki.“Pria yang