Angga menatap sosok pria di depan sana dengan pandangan memicing curiga. Di otaknya bergumul banyak pertanyaan. Namun, tak bisa Angga ungkapkan saat ini.Rapat akan segera dimulai dalam hitungan menit. Aldo—pria tadi—duduk tepat di samping Jhony. Satu hal yang cukup membuat Angga dan Chris terkejut. Terdengar gerutuan halus lagi dari sisi Angga. Siapa lagi kalau bukan Chris pelakunya.“Dasar tidak tahu malu! Dia pikir dia bisa menguasai semua hal dengan keserakahan?!” Chris terus menggerutu. Mengungkapkan kekesalannya lewat gumaman pelan yang masih bisa Angga dengar jelas.“Sudahlah, biarkan saja. Kita hanya perlu fokus dengan rapat hari ini dan mengungkapkan kebenaran,” balas Angga santai. Ia mengubah sedikit posisi duduknya. Hawa panas seketika menyelimuti ruangan itu sejak komplotan pengkhianat sedang memamerkan kebanggan mereka yang semu.“Baiklah para hadirin, mari kita mulai rapat final ini,” ucap moderator rapat di depan sana. Angga menjadi salah satu bagian terpenting dari ra
Semua mata orang-orang di ruangan itu tertuju ke arah layar proyektor yang menampilkan sebuah video singkat berdurasi satu menit. Suara lantang terdengar dari audio yang dipasang di masing-masing sudut ruang rapat. Raut wajah terkejut otomatis dipajang oleh setiap orang yang menonton adegan manipulasi yang dilakukan oleh seseorang di ruangan itu. “Sejak kecil Angga memiliki masalah dengan mentalnya. Dia adalah pembunuh berdarah dingin yang tidak mudah ditebak oleh siapapun. Saranku kamu harus membawanya ke psikolog, Nova. Aku khawatir dia akan membahayakanmu,” ucap Aldo dalam video itu. Angel kamera dan mimik wajahnya yang berusaha meyakinkan sosok wanita di depannya. Semua orang mendesah kecewa saat tak bisa melihat sosok wanita itu dengan jelas. Seseorang dibalik video itu nyatanya hanya menyorot semua hal tentang Aldo. Meski begitu, nama Nova jelas disebut hingga mengungkapkan siapa sosok wanita yang membelakangi kamera di video itu.“Semua orang tahu, Nova adalah istriku. Hub
Di rumah besar nan mewah itu, Nova tak bisa duduk diam menunggu begitu saja. Sudah tiga jam lamanya Nova menunggu kepastian dari sang suami yang tengah berjuang menegakkan kebenaran. Kemarin, pada akhirnya Nova mengetahui semua masalah tentang perusahaan Angga yang hampir goyah. Alasan pria itu banyak menghabiskan waktu di kantor dan pulang dengan wajah lelah dan pias. “Permisi Nyonya, makan siang anda sudah siap.” Kedatangan seorang pelayan dengan troli makanan mengagetkan Nova yang tengah duduk di sofa malas di kamarnya. Beberapa hari ke belakang, tubuhnya terasa lemas seakan tak ada tenaga yang bisa ia gunakan bahkan untuk bergerak. Itu kenapa, hari ini Nova meminta para pelayan untuk mengantarkan makanannya ke kamar. “Tolong bantu aku siapkan, ya. Terima kasih,” jawabnya. Ia belum berniat untuk beranjak dari sana. “Sudah saya siapkan, nyonya. Jika butuh bantuan lain, nyonya bisa panggil kami,” ucap sang pelayan. Nova hanya mengangguk pelan, kemudian memberikan isyarat pada wa
“Minumlah dulu. Kamu kelihatan lelah sekali. Apa ada yang sedang mengganggumu?” Secangkir teh hangat tersaji di hadapan Nova. Asapnya tipis-tipis masih mengepul di udara. Begitu juga aroma melati yang menguar dari sana menggoda penciuman Nova untuk segera menikmatinya.“Terima kasih, bu kepala,” jawab Nova.Wanita itu tersenyum, kerutan di sekitar matanya terlihat semakin jelas. “Panggil saja Bu Retha,” katanya.Sekian lama mengenal bu kepala, tak pernah sekalipun Nova menanyakan identitas asli. Dahi Nova berkerut bingung, menatap sosok wanita yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu dengan sorot penuh tanya.“Nama asliku, Margaretha. Orang-orang biasanya memanggilku Bu Retha, kecuali di lingkungan rumah tuan Angga.” Tanpa diminta bu kepala menjelaskan hal yang sudah membuat Nova bingung. “Oh, astaga. Aku pikir kau sedang menyebut nama orang lain. Aku juga baru menyadari, sekian lama kita saling mengenal, aku tidak pernah tahu namamu, bu.” “Itu karena aku meminta tuan Angga
Pintu utama rumah besar itu tertutup rapat. Seraya Angga melangkah lesu memasuki area ruang tengah. Tak disangka, persiapan yang dianggap matang untuk menyerang lawan justru berbalik menjadi senjata makan tuan. Raut wajah lelah Angga sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ia juga tidak peduli pulang dengan penampilan yang berantakan. Tubuh dan pikirannya lelah dan butuh tempat sandaran untuk melepaskan keluh kesah. Tepat di saat kakinya menapaki anak tangga, riuh suara terompet dan sorak sorai beberapa orang yang meneriaki nama Angga membuatnya membalikkan badan. Tepat di dekat anak tangga, Nova, para pelayan dan juga ajudannya menyambut kedatangan Angga dengan sebuah kehebohan. “Selamat ulang tahun, Tuan Angga!!” Sorak mereka semua bersamaan. Nova yang berdiri di tengah-tengah mereka melangkah maju mendekati sang suami yang belum terlalu jauh menaiki tangga.Di tangannya, kue berukuran sedang dengan gambar wajah Angga di atasnya membuat Nova terkekeh geli. Beberapa kali ia mengamati
“Bagaimana hasil pemeriksaannya, dokter? Apakah istri saya baik-baik saja?” Di ruang periksa yang didominasi oleh warna biru itu Angga tak sabar melayangkan pertanyaan yang sudah bersarang di kepalanya. Pria itu memajukan tubuhnya hingga menghimpit sisi depan meja kerja dokter. “Tidak ada masalah dengan kesehatan Bu Nova, begitu juga dengan rahimnya,” jawab Dokter. Helaan napas lega terdengar keluar dari mulut Nova. Di samping Angga, sejak selesai pemeriksaan oleh dokter kandungan, Nova tak bisa duduk diam. Ia diselimuti kegelisahan yang membuat sekujur tubuhnya panas dingin. Butuh usaha keras untuk meyakinkan diri sendiri ketika Angga mengajaknya pergi ke dokter. Pengalaman terakhir kali dirinya menginap di rumah sakit, menjadi pengalaman paling memilukan. “Lalu, bagaimana dengan rahim istri saya, dok?“ pertanyaan itu terdengar ambigu. Namun Angga tak terlalu peduli. Di pikirannya saat ini hanyalah harapan yang sempat terkubur beberapa waktu lalu. Anggap saja Angga terlalu opti
Suara Nova terdengar jelas di telinga. Angga lantas menoleh ke arah sumber suara dengan gerakan terbata bak robot rusak.Tatapan Angga bertemu dengan tatapan Nova yang dipenuhi kecurigaan. “Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku, mas?” tanyanya lagi untuk kedua kalinya.Angga menelan ludahnya berat saat berhadapan langsung dengan Nova. Wanita itu masih setia di posisinya sampai Angga menjawab pertanyaan Nova.“Um, kamu hanya salah dengar. Aku tidak bicara apapun.” angga mengelak. “Bohong. Aku mendengar dengan jelas apa yang kamu katakan tadi, mas.” Ya, Angga tidak bisa berkata-kata lagi. Otaknya tidak mampu mengolah kata hingga pada akhirnya Angga tak bisa mengatakan apapun. “Baiklah aku akan mengaku,” kata Angga. Ia memasrahkan nasibnya saat ini pada Nova. Senyum penuh kemenangan Nova diiringi oleh aksinya yang memundurkan tubuhnya sendiri. “Baiklah, tolong katakan dengan sejujurnya, bapak Angga yang terhormat.” Nova sengaja menekankan panggilan khusus untuk sang suami saat me
“Maafkan aku ya, aku belum bisa mewujudkan harapan yang sudah kamu nanti-nanti.” Guratan kesedihan di wajah Nova menunjukkan betapa besar penyesalan yang sedang ia rasakan saat ini. Di depannya, wajah Angga terpampang nyata. Saat menatap pria itu, ada gejolak rasa bersalah yang membelenggu hati Nova. Apalagi ketika mengingat bagaimana reaksi Angga saat di rumah sakit tadi. Terlihat jelas raut penuh harapan dibalik emosinya yang menggebu.“Kenapa kamu meminta maaf? Ini bukan salahmu,” balas Angga. Ucapannya terdengar sangat lembut, hingga begitu nyaman saat menelusup ke telinga. Nova menurunkan pandangannya, tak berani menatap Angga karena tiap kali melihat wajah pria itu, Nova selalu teringat dengan sebuah kenyataan tentang Angga yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. “Aku tahu saat kita harus melepaskan calon anak kita kemarin, kamu pasti sangat kecewa. Seharusnya aku bisa menjaganya dengan lebih baik. Seharusnya aku bisa mengendalikan pikiranku dan seharusnya aku yang pergi bu