Pertanyaan seorang perawat membuat Nova dan Angga menoleh ke arah pintu secara bersamaan. Baru mereka sadari, perdebatan yang melibatkan ego satu sama lain mengundang perhatian banyak orang.Angga menoleh ke arah Nova lebih dulu. Lagi-lagi, ia tidak ingin nama baiknya tercoreng. “Oh, tidak ada sus. Kami baik-baik saja,” jawab Angga, “bukan begitu, sayang?” Nova menoleh, tangan Angga sudah berada di pundaknya mengelus kepala belakang Nova dengan sayang. “Betul, kami baik-baik saja, sus.“ Sang perawat terdiam beberapa saat. Pandangannya menyelidiki mencari sesuatu yang masih terasa janggal di matanya. Namun, pada akhirnya ia berkata, “Baiklah kalau begitu, jika tuan dan nyonya membutuhkan sesuatu. Bisa panggil kami dengan tombol itu.” Suster menunjuk ke arah salah satu tombol berwarna merah di atas tempat tidur Angga. Keduanya mengangguk kompak.Suster itu berlalu pergi. Jangan berpikir perdebatan Nova dan Angga tadi berakhir begitu saja. “Aargh! Aku bisa gila jika terus berdebat
“Kamu mengenalnya luar dalam.” Nova tertawa hambar. Melihat pengabdian Aldo untuk Angga, baik sebagai sahabat maupun tangan kanan pria itu, terkadang membuat Nova iri. Meski hidupnya dipenuhi oleh kepura-puraan, setidaknya Angga masih memiliki tempat untuk berbagi. Loyalitas tanpa batas yang Aldo berikan untuk Angga. “Aku mengetahui setiap detail tentang dia. Kami sudah bersahabat sejak kami duduk di bangku sekolah dasar,” aku Aldo. “Sejak SD?” Nova terpekik tak percaya. Aldo mengangguk penuh yakin, sambil menyeruput kopinya. “Ya, bisa dibilang aku adalah saksi hidup yang menyaksikan semua perjuangan hidup Angga,” katanya.Mendengar pengakuan Aldo, pikiran Nova kembali berpusat pada pernyataan dokter pribadi Angga.“Tidak ada yang mengetahui tentang penyakit yang diderita tuan Angga. Dia menyembunyikannya rapat-rapat.” ‘Apakah Angga begitu menutupi penyakitnya hingga Aldo yang sudah bersahabat dengan pria itu selama puluhan tahun tak mengetahui riwayat penyakit Angga?’ Batin No
“Biarkan aku pulang. Aku ingin bertemu dengan putriku!”Nova berlalu menuju ruang inap Angga saat mendengar teriakan pria itu dari dalam ruangan. Wajah paniknya tak bisa disembunyikan di hadapan banyak orang. “Ada apa ini?” tanya Nova. Di ruangan itu Nova melihat Angga dan amarahnya yang tak bisa dikendalikan. Dokter pribadinya berusaha untuk menenangkan namun pria itu tetap pada pendiriannya. “Apa yang terjadi, dok?” Nova beralih pada dokter.“Tuan Angga memaksa untuk pulang sedangkan kondisi jan—“ “Aku ingin bertemu Celva. Saat ini aku merasa baik-baik saja. Untuk apa berada di sini terlalu lama? Nova, tolong bujuk dokter agar memberikan izin untuk pulang.” Cara Angga memotong ucapan Dokter Nova anggap sebagai sebuah kode untuk menghentikan penjelasan dokter tentang kenyataan penyakit yang Angga derita. Nova memicingkan matanya. Menatap Angga dengan pandangan menyelidik.“Kenapa kamu malah menatapku seperti itu? Aku minta tolong padamu untuk meyakinkannya.” Angga berkata lagi.
Dua hari setelah pulang dari rumah sakit, Angga masih harus beristirahat di kasur sampai kondisinya dinyatakan pulih sepenuhnya. Semenjak itu pula Nova ikut menjajah kasurnya. Entah apakah hal itu merupakan kabar baik atau justru petaka baginya. Sebagai pasangan suami istri yang sudah menjalin rumah tangga selama satu tahun, tidur bersama adalah hal yang wajah. Tetapi tidak bagi Angga. Selama dua hari itu pula tidurnya tak nyenyak. Semenjak Nova juga tidur di satu ranjang yang sama, Angga tak bisa dengan bebas menikmati setiap malam yang berlalu. Di pikirannya selalu hadir kekhawatiran Nova akan melakukan hal-hal tak terduga padanya. "Kamu belum tidur? Ada yang kamu butuhkan?" Angga berjengit kaget ketika wajah Nova tiba-tiba sudah di sampingnya."Astaga! Bisakah kau tidak mengagetkanku?""Aku bertanya, bukannya mengagetkanmu," jawab Nova asal. Ia memundurkan lagi tubuhnya. "Tidak, aku tidak membutuhkan apapun." Angga mengelak. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui perasaannya y
Suasana dapur lebih hidup ketika Nova memimpin sesi masak pagi ini. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu menuangkan sup buntut buatannya ke dalam sebuah mangkuk kaca yang sudah disiapkan oleh asisten pelayan.“Bu kepala, tolong cicipi sup buntutnya. Menurutmu, apa yang kurang dari masakanku?” Nova menyodorkan sesendok kuah sup untuk dicicipi. Sang kepala pelayan menjadi kelinci percobaan Nova untuk menguji tingkat kenikmatan masakan buatannya. Kepala pelayan menyesap kuah dari sendok yang diberikan oleh Nova, kemudian terdiam beberapa saat meresapi rasa dari sup buntut buatan sang nyonya.Ekspresi datar kepala pelayan membuat jantung Kova berdetak tak karuan. Menunggu reaksi dari sang kepala bagaikan menunggu penilaian dari seorang koki profesional. “Semuanya sudah pas. Rasanya, teksturnya, dan porsi buntut sapinya sempurna, nyonya,” jawab kepala pelayan. “Huh, astaga..” Nova menghela napas lega. Ia tak tahu bagaimana jika makanan buatannya tak sesuai ekspektasi, “aku hampir
Nova meninggalkan kamar Angga tanpa sepatah katapun. Bialah kini Angga merendahkan kemampuannya di depan orang lain. Setelah ini, pria sombong dan tak tahu diri itu akan menyesali ucapannya.Angga membiarkan istrinya pergi dengan perasaan terluka. Ia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Nova tiap kali mulutnya mulai menyudutkan wanita itu. “Kemarilah, kenapa kau masih di sana?” Kepala pelayan hampir saja menjadi sasaran amukan Angga selanjutnya jika ia tidak segera memenuhi perintah bosnya. Wanita itu menghadap Angga dengan penuh hormat. Kepalanya tertunduk tak berani menatap bosnya.“Aku puas sudah membuat dia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada adikku. Jika aku tidak menikahinya, dia akan merasa seperti di atas awan. Tidak pernah sadar dengan kesalahan yang sudah membuat satu-satunya keluargaku pergi.” Angga mengungkapkan perasaannya secara gamblang pada wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Hanya kepada kepala pelayan Angga bisa menjadi diri send
Pemandangan di taman belakang rumah jauh lebih indah dibandingkan menatap wajah tampan Angga di kamar. Nova memilih untuk mengasingkan diri di taman daripada terus bergulat dengan keangkuhan Angga. Dalam keadaan sakit saja, suaminya masih mampu merendahkan Nova di depan orang lain. NoHati Nova bergejolak, menahan marah dan keinginan untuk membalas perlakuan Angga tadi. Tetapi, akal sehatnya masih bekerja dengan baik. Nova tidak akan membalas perbuatan Angga dengan cara yang sama. “Kamu di sini ternyata.” Suara seseorang yang baru saja datang membuat Nova menoleh ke arah suara itu.Aldo menghampirinya yang termangu sendirian. Pria pemilik lesung pipi dalam itu menyodorkan satu pak es krim yang terkenal dengan bentuk ikan. “Aku pernah dengar memakan es krim bisa sedikit merilekskan pikiran. Kebetulan aku baru pergi ke minimarket dan menemukan es krim lucu ini,” ucap Aldo. Pria itu tersenyum begitu manis. Wajahnya yang oriental semakin menambah pesonanya. Untuk sepersekian detik Nova
“Kamu sangat mengenalnya, aku bahkan tidak tahu kalau dia sangat takut pada kecoa. Hahaha.” Tawa Nova terdengar hingga ke lantai dua yang tingginya hampir sepuluh meter dari atas tanah. Dahi Angga mengerut, mulai tertarik dengan perbincangan antara Nova dan Aldo—asistennya. Dua orang itu asyik membicarakan sosok lain yang tak hadir diantara mereka.“Benar, aku selalu tertawa terpingkal-pingkal setiap melihat Angga ketakutan dengan kecoa. Sungguh, itu sangat lucu.” Aldo menimpali. “Sepertinya aku tahu, siapa yang menjadi subjek ejekan mereka,” gumam Angga. Egonya terusik karena mulai memahami pola pembicaraan Nova dan Aldo. “Hey! Kalian berdua, sedang apa kalian di sana?” teriak Angga dari kangai dua. Tawa Nova dan Aldo seketika terhenti. Keduanya kompak menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara. Namun, Aldo yang menyadari kehadiran Angga lebih dulu lantas bergumam,“Jika setelah ini kamu tidak menemukan aku dalam waktu lama, kamu tahu dimana jasadku ‘kan, Nova?” Nova mengik
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.