Dua orang yang saling membenci, saling diam karena merasa sama -sama lelah lalu saling membuang muka. Dari tadi Fajar mengamati kamar Raya, mencari celah untuk kabur, namun kamar itu lebih kokoh dari sebuah penjara. Setiap jendela di lapisi besi padat berupa terali yang sangat kuat. Fajar harus mencari akal untuk melarikan diri.
Tiba-tiba pintu terbuka kasar, seonggok baju dilempar dari luar oleh penjaga pintu.
Suara besar berseru dari luar. "Bung, kau harus mandi, itu pakaian gantimu."
Pintu kembali ditutup kasar, Fajar memungut baju dan celana itu.
"Heh, dimana kamar mandimu?"
Raya tidak menanggapi, dia diam saja memandang keluar jendela.
Fajar mendecih. "Bahkan dengan keadaanmu yang sekarang kau masih bersikap sombong, kesialan apa yang menimpaku sehingga harus terlibat dengan keluargamu," celoteh Fajar.
Raya memandangnya tajam, kemudian kembali tidak peduli, dia memalingkan wajahnya kembali. Dia tidak peduli dengan Fajar, tidak peduli dengan apapun yang akan dilakukan pria itu. Fajar yang dicuekin mendecih malas, kemudian meraup baju baru yang dilempar kasar oleh penjaga pintu.
Dia mengamati kamar besar Raya sekilas dan menemukan pintu bewarna putih yang diyakini sebagai kamar mandi pribadi wanita itu. Fajar tidak mau tau dan tidak akan meminta izin terlebih dahulu pada pemiliknya, dia sekarang memang harus mandi. Debu jalanan dan baju lusuh itu sudah tidak layak untuk dilihat.
Fajar mendorong pintu itu sedikit, dia bersiul takjub dengan kemewahan kamar mandi milik Raya, sebuah Jacuzzi bewarna putih persis seperti yang dilihaymtnya di film-film, dengan santai Fajar meloloskan seluruh pakaiannya, melompat kedalam jacuzzi itu yang sebelumnya diisi dengan air hangat.
Ini benar-benar nyaman, batin Fajar. Menjadi orang kaya memang enak, tempat mandinya saja lebih mahal dari harta warisan turun temurun nenek moyangnya, bahkan sabun yang mereka miliki tidak dijual di pasar tradisional. Fajar tertawa pahit, ini kemewahan yang dikejar ibunya dulu sehingga tega meninggalkan kekuarganya sendiri.
Satu yang tidak bisa dicerna oleh Fajar, rumah besar ini hanya dihuni laki-laki yang merupakan pengawal yang dimiliki ayah Raya. Ketika ijab kabul pun Fajar tidak melihat ibu wanita itu, keluarga Raya penuh misteri dan tidak terduga.
Fajar tidak tau persis apa pekerjaan ayah Raya, yang jelas dia orang kaya yang cukup berpengaruh di negri ini, rasanya terlalu berlebihan memelihara puluhan pengawal hanya untuk menjaga rumah itu.
Raya sendiri dari dulu tidak memiliki teman, dia kaku dan tidak mudah bergaul dengan orang lain, dia selalu memisahkan diri dan lebih memilih bersama pengawalnya dari pada teman sebayanya. Itu makanya dia di cap sombong dan angkuh di kampus dulu.
Fajar yang sedang menikmati sensasi rileks berendam dalam jacuzzi menyumpah kesal, saat pintu kamar mandi digedor tidak sabaran dari luar. Suara serak milik Raya terdengar sayup-sayup.
"Aku butuh kamar mandiku sekarang."
Fajar rasanya ingin menenggelamkan wanita itu ke laut Antartika, tak bisakah Raya memberi kesempatan padanya untuk bahagia sejenak? dia benar-benar kesal sekarang, bahkan tubuh berbusa miliknya belum dibilas dengan air bersih.
Fajar mengambil handuknya dan melilitkan kesekitar pinggulnya, membuka pintu dengan terpaksa, Raya langsung nyelonong masuk sambil menutup mulutnya dan mencari westafel di samping Fajar.
"Hoeekkk." Wanita itu memuntahkan semua isi perutnya, tidak hanya satu kali, berulang-ulang sampai perutnya benar-benar kosong.
Fajar hanya tertawa masam, tentu saja wanita itu akan muntah-muntah. Alangkah tak berharganya hidupnya, menikah dengan wanita yang dibenci yang parahnya tengah hamil anak laki -laki lain.
Raya mencuci mulutnya lali membasuh wajah kacaunya. Dia melirik Fajar dari kaca kamar mandi, busa sabun mulai menghilang dari tubuhnya, namun tidak ada tanda -tanda laki-laki itu akan keluar.
"Keluar dari kamar mandiku!"
"Apa? Kau wanita gila, sombong dan angkuh, bahkan kau tidak bisa berkorban sedikit air untukku, dasar," umpat Fajar.
"Aku membencimu, semua ini karenamu bajingan," teriak Raya menerjang Fajar dengan membabi buta.
"Ada apa denganmu? Kau yang melakukan zina dan menikmati enaknya sampai kau hamil, tapi aku yang bertanggung jawab, orang kaya memang bertindak seenaknya."
"Kau hina, mulut kotormu selalu bicara sembarangan, kau yang membuatku mabuk sehingga aku diperkosa oleh Marsel "
"Ho ho ho... kau kira aku percaya? Walaupun aku belum pernah melakukannya, mana mungkin kalian yang statusnya berpacaran merasa terpaksa melakukannya, kau dapat enaknya, aku dapat bala nya," ejek Fajar.
Plak.! Tamparan kuat mendarat di pipi Fajar, wanita itu seperti orang kesetanan, memukul Fajar sekuat tenaga dengan tangannya. Fajar menangkap tangan Raya namun berhasil di sentakkan Raya dengan kuat sehingga tangannya telepas.
Fajar tidak habis fikir dengan tenaga wanita itu, dia terdorong paksa masuk jacuzzi, refleks Fajar mencari pegangan merengkuh pinggang Raya, mereka tercebur bersama dengan air yang tumpah ruah ke luar.
Raya mencekik leher Fajar sekuat tenaga sampai laki-laki itu terbatuk- batuk. Raya memang berniat menghabisinya kali ini, tak ada pancaran mata bercanda sedikitpun. Berkali kali Raya menceburkan kepala Fajar kedalam air sampai Fajar tersedak air mandinya sendiri.
Ini sudah tidak bisa dibiarkan, jika dia tidak membela diri dia akan mati di tangan istri gilanya itu. Sekali angkat Fajar berhasil membalikkan posisi, Raya yang berada di bawah kuasanya kali ini, kedalaman air sudah menyusut, anehnya Raya malah tertawa.
"Bunuh aku sekarang! Kalau tidak aku yang akan membunuhmu."
Raya memaksa tangan Fajar menyentuh lehernya, Fajar memang membencinya namun tidak sedikitpun dia berniat menghabisi nyawa Raya.
"Kau sudah gila, hentikan!" Fajar menarik tangannya secara paksa kemudian mengusap sisa air di wajahnya, dia berusaha menjauhi Raya.
Mata Fajar melongo saat Raya berdiri di depannya meloloskan pakaiannya, duduk di sisi jacuzzi putih miliknya lalu menantang Fajar dengan berani.
"Kau ingin menghancurkanku bukan?Kau ingin memperkosaku juga, hah? Lakukan, lakukan sekarang! "
Raya membuka lututnya lebar-lebar dan membuat Fajar panik.
"Kau wanita gila, sangat gila."
Fajar bangkit dari Jacuzzi, memalingkan wajahnya ke sembarang tempat. Bagaimana Raya menilainya serendah itu. Dia tidak tertarik dengan wanita sisa dari laki -laki lain, bagaimanapun seksinya Raya saat ini. Bagaimana bisa Raya melakukan itu di depan kepala Fajar, dia lebih gila dari arti gila itu sendiri.
"Aku membencimu, sekarang aku sudah tidak berharga lagi."
Raya menangis sesenggukan. Fajar memilih keluar sambil memungut baju gantinya sendiri, dia tidak peduli dengan handuk basahnya yang mengotori lantai.
Dua orang yang saling membenci, saling diam karena merasa sama -sama lelah lalu saling membuang muka. Dari tadi Fajar mengamati kamar Raya, mencari celah untuk kabur, namun kamar itu lebih kokoh dari sebuah penjara. Setiap jendela di lapisi besi padat berupa terali yang sangat kuat. Fajar harus mencari akal untuk melarikan diri.
Tiba-tiba pintu terbuka kasar, seonggok baju dilempar dari luar oleh penjaga pintu.
Suara besar berseru dari luar. "Bung, kau harus mandi, itu pakaian gantimu."
Pintu kembali ditutup kasar, Fajar memungut baju dan celana itu.
"Heh, di mana kamar mandimu?"
Raya tidak menanggapi, dia diam saja memandang keluar jendela.
Fajar mendecih. "Bahkan dengan keadaanmu yang sekarang kau masih bersikap sombong, kesialan apa yang menimpaku sehingga harus terlibat dengan keluargamu," celoteh Fajar.
Raya memandangnya tajam, kemudian kembali tidak peduli, dia memalingkan wajahnya kembali. Dia tidak peduli dengan Fajar, tidak peduli dengan apapun yang akan dilakukan pria itu. Fajar yang dicuekin mendecih malas, kemudian meraup baju baru yang dilempar kasar oleh penjaga pintu.
Dia mengamati kamar besar Raya sekilas dan menemukan pintu bewarna putih yang diyakini sebagai kamar mandi pribadi wanita itu. Fajar tidak mau tau dan tidak akan meminta izin terlebih dahulu pada pemiliknya, dia sekarang memang harus mandi. Debu jalanan dan baju lusuh itu sudah tidak layak untuk dilihat.
Fajar mendorong pintu itu sedikit, dia bersiul takjub dengan kemewahan kamar mandi milik Raya, sebuah Jacuzzi bewarna putih persis seperti yang dilihaymtnya di film film, dengan santai Fajar meloloskan seluruh pakaiannya, melompat kedalam jacuzzi itu yang sebelumnya diisi dengan air hangat.
Ini benar-benar nyaman, batin Fajar. Menjadi orang kaya memang enak, tempat mandinya saja lebih mahal dari harta warisan turun temurun nenek moyangnya, bahkan sabun yang mereka miliki tidak dijual di pasar tradisional. Fajar tertawa pahit, ini kemewahan yang dikejar ibunya dulu sehingga tega meninggalkan kekuarganya sendiri.
Satu yang tidak bisa dicerna oleh Fajar, rumah besar ini hanya dihuni laki-laki yang merupakan pengawal yang dimiliki ayah Raya. Ketika ijab kabul pun Fajar tidak melihat ibu wanita itu, keluarga Raya penuh misteri dan tidak terduga.
Fajar tidak tau persis apa pekerjaan ayah Raya, yang jelas dia orang kaya yang cukup berpengaruh di negri ini, rasanya terlalu berlebihan memelihara puluhan pengawal hanya untuk menjaga rumah itu.
Raya sendiri dari dulu tidak memiliki teman, dia kaku dan tidak mudah bergaul dengan orang lain, dia selalu memisahkan diri dan lebih memilih bersama pengawalnya dari pada teman sebayanya. Itu makanya dia di cap sombong dan angkuh di kampus dulu.
Fajar yang sedang menikmati sensasi rileks berendam dalam jacuzzi menyumpah kesal, saat pintu kamar mandi digedor tidak sabaran dari luar. Suara serak milik Raya terdengar sayup-sayup.
"Aku butuh kamar mandiku sekarang."
Fajar rasanya ingin menenggelamkan wanita itu ke laut Antartika, tak bisakah Raya memberi kesempatan padanya untuk bahagia sejenak? dia benar-benar kesal sekarang, bahkan tubuh berbusa miliknya belum dibilas dengan air bersih.
Fajar mengambil handuknya dan melilitkan kesekitar pinggulnya, membuka pintu dengan terpaksa, Raya langsung nyelonong masuk sambil menutup mulutnya dan mencari westafel di samping Fajar.
"Hoeekkk." Wanita itu memuntahkan semua isi perutnya, tidak hanya satu kali, berulang-ulang sampai perutnya benar-benar kosong.
Fajar hanya tertawa masam, tentu saja wanita itu akan muntah-muntah. Alangkah tak berharganya hidupnya, menikah dengan wanita yang dibenci yang parahnya tengah hamil anak laki -laki lain.
Raya mencuci mulutnya lali membasuh wajah kacaunya. Dia melirik Fajar dari kaca kamar mandi, busa sabun mulai menghilang dari tubuhnya, namun tidak ada tanda -tanda laki-laki itu akan keluar.
"Keluar dari kamar mandiku!"
"Apa? Kau wanita gila, sombong dan angkuh, bahkan kau tidak bisa berkorban sedikit air untukku, dasar," umpat Fajar.
"Aku membencimu, semua ini karenamu bajingan," teriak Raya menerjang Fajar dengan membabi buta.
"Ada apa denganmu? Kau yang melakukan zina dan menikmati enaknya sampai kau hamil, tapi aku yang bertanggung jawab, orang kaya memang bertindak seenaknya."
"Kau hina, mulut kotormu selalu bicara sembarangan, kau yang membuatku mabuk sehingga aku diperkosa oleh Marsel "
"Ho ho ho... kau kira aku percaya? Walaupun aku belum pernah melakukannya, mana mungkin kalian yang statusnya berpacaran merasa terpaksa melakukannya, kau dapat enaknya, aku dapat bala nya," ejek Fajar.
Plak.! Tamparan kuat mendarat di pipi Fajar, wanita itu seperti orang kesetanan, memukul Fajar sekuat tenaga dengan tangannya. Fajar menangkap tangan Raya namun berhasil di sentakkan Raya dengan kuat sehingga tangannya telepas.
Fajar tidak habis fikir dengan tenaga wanita itu, dia terdorong paksa masuk jacuzzi, refleks Fajar mencari pegangan merengkuh pinggang Raya, mereka tercebur bersama dengan air yang tumpah ruah ke luar.
Raya mencekik leher Fajar sekuat tenaga sampai laki-laki itu terbatuk- batuk. Raya memang berniat menghabisinya kali ini, tak ada pancaran mata bercanda sedikitpun. Berkali kali Raya menceburkan kepala Fajar kedalam air sampai Fajar tersedak air mandinya sendiri.
Ini sudah tidak bisa dibiarkan, jika dia tidak membela diri dia akan mati di tangan istri gilanya itu. Sekali angkat Fajar berhasil membalikkan posisi, Raya yang berada di bawah kuasanya kali ini, kedalaman air sudah menyusut, anehnya Raya malah tertawa.
"Bunuh aku sekarang! Kalau tidak aku yang akan membunuhmu."
Raya memaksa tangan Fajar menyentuh lehernya, Fajar memang membencinya namun tidak sedikitpun dia berniat menghabisi nyawa Raya.
"Kau sudah gila, hentikan!" Fajar menarik tangannya secara paksa kemudian mengusap sisa air di wajahnya, dia berusaha menjauhi Raya.
Mata Fajar melongo saat Raya berdiri di depannya meloloskan pakaiannya, duduk di sisi jacuzzi putih miliknya lalu menantang Fajar dengan berani.
"Kau ingin menghancurkanku bukan?Kau ingin memperkosaku juga, hah? Lakukan, lakukan sekarang! "
Raya membuka lututnya lebar-lebar dan membuat Fajar panik.
"Kau wanita gila, sangat gila."
Fajar bangkit dari Jacuzzi, memalingkan wajahnya ke sembarang tempat. Bagaimana Raya menilainya serendah itu. Dia tidak tertarik dengan wanita sisa dari laki -laki lain, bagaimanapun seksinya Raya saat ini. Bagaimana bisa Raya melakukan itu di depan kepala Fajar, dia lebih gila dari arti gila itu sendiri.
"Aku membencimu, sekarang aku sudah tidak berharga lagi."
Raya menangis sesenggukan. Fajar memilih keluar sambil memungut baju gantinya sendiri, dia tidak peduli dengan handuk basahnya yang mengotori lantai.
Mata sembab itu milik Raya, menengadahkan wajah cantiknya kelangit-langit kamar, dia sedikit tenang setelah menumpahkan kemarahannya kepada Fajar. Dia tidak pernah bahagia dengan hidupnya, terkurung bagaikan tawanan dan tidak boleh kemana -mana.Dari dulu dia tidak pernah pergi tanpa pengawal ayahnya. Ke sekolah, ke Mall, dan kemanapun dia diikuti oleh dua pria berbadan kekar dan berotot kuat yang tak lain adalah anak buah ayahnya. Raya tidak memiliki kesempatan untuk bergaul dengan siapa yang diinginkannya, dia dijauhi dan tidak ada yang mau berteman dengannya. Hanya kepada Marsel dia bisa membuka diri walaupun sedikit, Raya ditaklukkan dengan bujuk rayu dan mulut manis pria itu sehingga dia menerima Marsel sebagai kekasihnya.Malam itu puncaknya ketika perayaan ulang tahun alumni kampusnya. Dia berhasil memanipulasi ayahnya agar pengawalan tidak dilakukan lagi karena hanya orang dalam yang merupakan alumni kampusnya yang diperbolehka
Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandagan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya."Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang.Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar."Membawamu sangat menyusahkan," ketus Faja
Raya kesal dengan Fajar, tidak sedikit pun suami palsunya itu berniat membantu. Rumah ini dipenuhi debu yang cukup tebal, belum lagi daun -daun kering yang ikut menyelinap masuk ke dalam rumah dan teronggok di sudut dapur. Sapu yang digunakan Raya tidak berdaya membersihkan daun basah yang cukup berat. Tangkai sapu itu sudah patah, tampaknya bu Asni sengaja meninggalkan barang-barang yang memang tidak layak lagi untuk digunakan.Raya membuka jaketnya, menyisakan kaos tak berlengan yang mulai basah oleh keringat. Dua jam dia hilir mudik membersihkan rumah itu dan sekarang dia lelah dan merasa lapar.Raya duduk di samping Fajar, menatap dongkol laki-laki yang selalu berwajah dingin dan bermulut pedas itu. Mereka harus berfikir bagaimana cara mengisi perut, Raya tidak membawa se-sen pun uang saat kabur karena dia tidak terbiasa membawa uang cash dan tidak sempat mengambil kartu ATM-nya. Sekarang Raya menyesal dengan kecerobohannya itu.&
Fajar mendengar penjabaran pak Sultan, seorang kepala adat yang sangat dihormati dan disegani di desa ini. Orangnya sangat bijak dan arif, dialah orang yang pertama kali dijumpai oleh Fajar untuk melaporkan jika dia mulai menjadi warga di desa ini.Tujuan Fajar menemui pak Sultan, adalah sebagai tempat bertukar cerita berkaitan dengan kelanjutan hidupnya kedepan. Di sini ijazahnya tidak laku, semua warga secara umum berladang kopi dan berkebun, mereka hidup sederhana tanpa kemajuan yang berarti.Adat istiadat masih dipegang teguh di sini. Segala permasalahan akan dirembukkan oleh beberapa tokoh masayarakat dan diputuskan oleh kepala adat yaitu pak Sultan sendiri."Anak muda, kau terlalu tampan untuk menjadi warga di sini, apa kau yakin akan menjadi pekerja kasar sementara kau punya peluang menjadi lebih baik diluar sana?"Fajar mengangguk sejenak. "Saya sudah yakin pak, bekerja apapun asalkan mendapatkan uang."Dia butuh makan dan beras t
Fajar merasa lelah lahir batin, lelah terus melarikan diri dari kenyataan hidup yang belum pernah memberinya rasa bahagia. Lelah dengan takdir yang bermain seenaknya. Dia bagaikan wayang yang tak berdaya yang selalu mengikuti kemana sang tuan menggerakkannya, tak bahagia, hampa dan kosong.Dia tak berharap banyak dengan hidupnya, cukup memiliki hidup seperti orang orang yang berada diluar sana, punya orang tua yang penyayang, rumah sederhana tempatnya pulang dan seorang istri yang mampu membuatnya jatuh cinta.Satupun tak ada yang menjadi miliknya, sang ayah yang dimiliki satu- satunya lebih memilih ikut pemikiran ibu tirinya. Dia yang malang terus saja berlari bagaikan gelandangan.Sekarang dia terkurung di sebuah rumah yang terletak di perbatasan daerah. Kampung yang masih tradisional dan belum begitu tersentuh teknologi. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menolak semua ancaman yang berasal dari nona manja yang mengaku sebagai istrinya. Jika keluar
Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bu
Fajar membuka matanya berlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai kelantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari magrib itu membawa dampak banjir secepat ini.Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap kesandaran sofa."Raya.""Engghh.""Raya, bangun!""Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya."Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya."Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya."Ya elah, banjir! banjir! gimana sih? Kamu biar sadar atau gak s
Fajar mendorong bahu Raya menjauh, apa yang terjadi barusan sangat disesalinya. Mata bulat gadis itu terlihat sendu dan kecewa. Rambut basah yang berantakan milik Raya menutup sebelah matanya."Jangan menggodaku! aku ini adalah laki-laki, " ketus Fajar, mata itu kembali menatap Raya dingin seperti semula.Ucapan itu membuat Raya tersinggung dan terhina, apakah dia yang menggoda laki-laki itu? dia hanya menengadahkan wajah dan Fajar yang lebih dulu memulainya.Raya mengumpulkan rambutnya, menyampirkan di sisi kanan bahu, air mata bercampur dengan hujan menetes di pipinya. Sungguh ... sangat menyedihkan rasanya saat tertolak. Jika waktu bisa diputar, dia juga tak ingin itu terjadi."Aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu, aku tak bisa terus-terusan menjagamu," ucap Fajar datar.Raya diam mengatupkan bibirnya, matanya lebih memilih melihat air banjir yang menggenang di bawah sana dibanding melihat wajah Fajar."Aku tidak mau," jawabnya.
Beberapa jam yang lalu, mereka berkumpul di sebuah restoran sederhana. Fajar, ibunya dan ayahnya. Dua manusia yang pernah menjadi suami istri itu sempat berbincang sekilas. Mereka memutuskan untuk berdamai dan meluruskan kesalah pahaman kepada Fajar setelah berdebat dengan sengit Beberapa menit.Ayahnya sempat menangis memeluk putra semata wayangnya saat Fajar sampai di restoran beberapa jam yang lalu. Meminta maaf telah menelantarkan Fajar kecil yang menderita di tinggal sang ibu. Dia tak menyangka, Fajar tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Fajar hanya diam walaupun dalam hatinya dia juga merindukan ayahnya itu.Semuanya terungkap, walaupun sempat ada pertengkaran kecil, pada akhirnya dua orang itu mengalah dan berdamai.Ayahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, rambutnya memutih dengan kerut yang tak bisa di hitung jumlahnya. Dia terlihat miskin dan sakit-sakitan, tubuhnya kurus dan kering, belum lagi baju kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya.Ternyata pernikahan kedua
Raya termangu di depan kolam renangnya. Mata cantiknya mengamati kilauan air yang tertempa sinar matahari sore. Ini sudah pukul enam sore, warna matahari sudah berubah hingga keperakan, namun setelah berjam-jam menunggu, suaminya belum pulang dan belum memberinya kabar.Raya mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Tanpa Fajar, semuanya menjadi membosankan. Dia tidak tertarik melakukan apa pun jika Fajar tak ada di sisinya Baru saja Raya mengangkat sebelah kakinya ke permukaan, bahunya di sentuh lembut. Gadis itu berbalik dan mata kosongnya langsung berbinar bahagia. Namun, buka Raya namanya kalau tidak menuhankan gengsi."Kapan kau pulang? Aku tak mendengar suara mobilmu."Fajar duduk di samping Raya. Mengamati rambut panjang yang terurai berantakan itu."Baru saja. Kenapa? Merindukanku?"Raya mencibir, menyembunyikan rona pipinya. Dia tak mau mengakuinya, tapi otak dan tubuh tak bekerja sama. Dia malah menghambur ke pelukan suaminya itu. Fajar terkekeh senang sambil mengecup puncak kepa
Fajar memandang tak percaya. Wanita itu masih cantik seperti dulu, walaupun banyak kerutan yang menandakan ia sudah menua. Ibunya, masih tipe wanita yang memperhatikan penampilan. Dia cantik dengan blouse putih yang dipadukan dengan rok kembang bermotif bunga. Jika boleh Fajar berkata jujur. Dia sangat merindukan wanita didepannya. Rasanya dekapan hangat itu masih terasa di kulitnya saat ini. Bagaimana saat sang ibu mendendangkan lagu Jawa saat menidurkannya dulu. Elusan kasih sayang dan suara merdunya masih diingat Fajar dengan jelas.Pada dasarnya ibunya adalah wanita yang baik dan penyayang. Dia wanita yang sempurna. Kecantikan masa muda itu di wariskan ya ke wajah tampan Fajar. Dalam hatinya, dia ingin mengadu dan bertanya sebanyak mungkin, kemana ibunya selama ini? Apa yang dilakukannya di rumah usang dan tinggal sendirian tanpa pasangan hidup? Banyak sekali. Tapi Fajar memilih mengunci mulutnya sambil menunggu wanita itu berbicara lebih dulu."Minumlah! Teh mu sudah mulai ding
Jika ada manusia yang paling jahat di bumi ini, maka Raya lah orangnya. Bagaimana bisa wanita itu menghentikan permainan sebelah pihak saat nasib Fajar sudah di ujung tanduk. Raya dengan santai merapikan dirinya, saat Fajar masih kesusahan menata nafasnya yang terputus putus. Dia masih bersandar tak berdaya, memejamkan matanya menikmati sisa-sisa kenekatan seorang Raya. Tapi apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Dia menjulurkan lidah nakalnya dan tersenyum mengejek."Aku tidak mau dipergoki lagi. Bagaimana pun kita masih dalam kawasan yang tak boleh berbuat mesum.""Bunuh saja aku, Raya! Kau jahat." Fajar merasa kepalanya pening. Bayangkan saja, saat hasratmu di atas awang-awang, kau malah di hempaskan ke bumi secara kasar. Rasanya lebih sakit dari pada mati."Ck ck ck ... kau selalu tak pernah puas.""Ya tuhan Raya, laki-laki mana yang akan bertahan dengan wanita seseksi dirimu, terlebih lagi dia sudah menjadi milikmu secara utuh. Oh Tuhan, aku butuh air dingin." Fajar mengusap wa
Bukan restoran mewah yang terbiasa dikunjungi Raya. Hanya warung kecil yang diberi dinding dengan spanduk bekas untuk menghalangi cahaya matahari pagi yang mulai menerobos masuk ke warung sarapan pagi itu. Raya memilih duduk di bangku paling pojok, yang agak jauh dari sesaknya para pelanggan yang menyantap sarapan dengan lahap. Bangku di pojok ini sepertinya di sengaja untuk mereka yang ingin memilih ketenangan. Langsung menghadap ke kolam ikan yang berisi ikan nila dan ikan gurami."Kamu mau makan apa?""Apa saja, yang penting enak." Raya melirik sekilas jejeran menu sarapan pagi yang di tata sedemikian rupa di atas etalase kaca. Banyak sekali pilihan sehingga Raya menjadi bingung sendiri. Dia tidak menyadari Fajar bangkit memesan kepada pemilik warung. Tak butuh waktu lama, dua piring nasi yang dilengkapi dengan telor dadar dan toping tempe yang di goreng garing bersama ikan asin.Raya mengamati sambil menikmati aroma khas yang membuat perutnya meronta minta di isi."Ini namanya na
Pagi yang cerah, matahari mulai merangkak perlahan mengintip dari celah dedaunan pepohonan yang tumbuh persis di samping jendela kamar rumah itu. Raya membuka jendela kecil tersebut menyambut udara segar yang menerpa wajahnya.Mereka sebenarnya sudah bangun setelah shalat subuh tadi. Raya berberes sejenak sedangkan Fajar kembali ke tempat tidur dengan alasan mengantuk. Hari ini, tepat satu minggu Fajar menjalani hukuman mengumpulkan batu yang akan digunakan masyarakat sebagai pagar pembatas dari luapan sungai. Kebetulan pula, kemaren adalah masa hukuman Fajar berakhir. Hari ini adalah hari minggu, hari santai bagi Fajar. Sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya tidur setelah subuh. Walaupun dia tahu, kebiasaaan ini tidak baik.Raya mengikat rambutnya yang masih basah, lalu berjalan perlahan mendekati ranjang sambil tersenyum. Dia, sang suami yang biasanya memiliki kulit cukup cerah sudah berubah menjadi gelap karena terbakar sinar matahari saat bekerja. Namun, Raya malah menyukai wa
Raya berlari ke pintu keluar saat dia mendengar Fajar mengetok pintu beberapa kali. Dia sempat tertidur sejenak, setelah selesai bersih-bersih dan memasak ala kadarnya. Dia cukup puas dengan hasil masakannya kali ini, setidaknya rasanya sudah mulai ada kemajuan. Cuma masakan sederhana, goreng ikan Nila balado di tambah dengan sayur kangkung. Raya merapikan rambutnya, menghela nafas lalu membuka pintu perlahan. Fajar tersenyum lembut, mengusap pipi istrinya lalu mengecup kening putih itu sekilas. "Aku belum mandi, bau." Fajar mengendus dirinya. Raya tidak setuju jika Fajar mengatakan dirinya bau, laki-laki itu tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak enak, kalaupum berkeringat, maka yang menguar adalah aroma cologn khas yang digunakannya.Raya berniat memeluk, namun karena Fajar mengurai pelukan lebih dulu, dia mengurungkan niatnya. "Mandilah! Setelah itu kita makan siang." Raya memberikan handuk pada suaminya. Fajar meraih handuk itu lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil menunggu
Angin sepoi-sepoi meniup dan mempermainkan rambut Raya yang sehalus sutra. Sebagian menutupi wajahnya sehingga dengan refleks jari -jari yang baru belajar memegang alat- alat dapur itu merapikan dan menyelipkannya di belakang telinga.Matanya awas mengamati sang suami yang bekerja dengan beberapa orang pria dewasa lainnya, menggunakan alat kusus dari besi untuk mencongkel batu yang masih tertanam di dalam pasir sungai. Sesekali Fajar mencuri pandang pada istrinya yang duduk manis di sebuah saung yang tak jauh darinya.Raya persis seperti istri yang diidamkannya. Walaupun terlahir sebagai anak manja, tapi karena cintanya, dia merelakan tangan halusnya belajar memasak untuk menyenangkan Fajar.Fajar masih ingat, bagaimana putus asanya Raya saat dia tidak berhasil memecahkan telur tanpa merusak kuningnya. Gadis itu hampir menangis, niat hati akan membuatkan telur mata sapi, tapi memecahkan telur saja tidak bisa."Ini sudah yang kedua puluh butir, tapi aku bahkan belum berhasil...." Raya
Malam yang temaram, pekat malam tanpa bulan dengan kamar yang diterangi lampu lima watt. Dua manusia yang dimabuk cinta saling mereguk dahaga yang tak terpuaskan. Saling memberi dan menerima, menikmati ibadah terindah yang penuh pahala. Ibadah luar biasa di tutup dengan tertidur pulasnya Raya dan Fajar setelah itu. Kali ini rasanya berbeda, mungkin karena Raya tak lagi melakukannya dengan setengah hati. Ibadah kali ini sangat berkesan bagi keduanya, penuh cinta dan kelembutan. Setiap detik berjalan khusyuk dan indah.*****Setelah mandi jam lima subuh, Raya langsung menemani Mak Wo ke dapur. Kali ini dia tak ingin lagi membuat teh manis yang gagal, dia bertanya tanpa malu pada Mak Wo bagaimana cara menakar gula untuk segelas teh manis. Sangat mudah, tapi sulit bagi Raya. Dia baru menyadari, bahwa dirinya tak memiliki kemampuan apa-apa untuk melayani suami dalam urusan perut. Jangankan memasak yang enak, segelas teh manis yang bagi sebagian besar orang sangat sepele, malah sulit bagin