“Jika salah satu di antara kalian ada yang bernama Kartika Ayu Kusuma, mohon kerjasamanya untuk bersedia menjalani penyelidikan lebih lanjut di kantor kami.”
Tidak langsung mengiyakan petugas penyidik tersebut, Kartika menanyakan kembali keabsahan tugas mereka. Petugas itu pun menyerahkan surat perintah dari atasan mereka.
“Siapa yang membuat laporan sembrono seperti ini? Memang benar mengenai adanya pengeluaran dana, tapi ....” Kartika masih berusaha membela diri. Namun sayangnya petugas penyidik tersebut bersikukuh agar Kartika menjelaskan semuanya di kantor mereka, hingga mereka bertindak membekuk Kartika layaknya tersangka kriminal.
“Tidak! Jangan seperti ini! Aku bukan pelaku kriminal! Jadi kalian tidak perlu memperlakukanku dengan tindakan rendahan seperti ini!” Kartika menghempaskan tangan para pria berperawakan tegap yang berusaha membekuknya, dan pergi mengikuti mereka dengan tenang tanpa banyak drama. Dalam sekejap, ruangan Renata menjadi sunyi. Pintu yang tertutup membuat gemuruh parah karyawan lain yang ada luar sana tak terdengar.
“Investigasi mendadak ini ... selain informan yang kubayar, apakah ada orang lain yang mengikuti dan mengawasi gerakan ibu? Apakah ini persaingan bisnis atau ....”
Keheningan setelah keributan besar itu membuat Renata tenggelam dalam pikirannya yang penuh pertanyaan. Namun, sebelum Renata bisa menemukan jawaban, pintu ruangannya terbuka dengan tiba-tiba.
Seorang pria berperawakan gembul dan berwibawa masuk, mengenakan setelan jas rapi. Wajahnya keras dan tajam, menunjukkan ekspresi serius yang tidak bisa disamarkan.
“Apa kau baik-baik saja, Nak? Paman tau bahwa penangkapan yang terjadi pada ibumu membuatmu terpukul, tapi jika dibiarkan begitu saja ... bisa-bisa perusahaan ini hancur di tangan ibumu.”
Pernyataan tiba-tiba yang dilontarkan pria gembul yang tak lain adalah paman Renata sekaligus direktur keuangan di perusahaan JNS GROUP itu pun membuat Renata menatapnya dengan alis yang nyaris bertautan. Menyiratkan tanya.
“Apa maksud Paman? Apa Paman yang ....”
“Ya! Pamanlah yang melaporkan ibumu. Paman minta maaf, jika itu membuatmu sedih dan merasa tertekan, tapi Paman harus melakukannya. Kau tahu sendiri bahwa Paman tidak mungkin melakukan hal sejahat itu tanpa sebab yang jelas, karena biar bagaimanapun ibumu adalah kakakku. Tapi ... coba lihat ini.”
Dharma, paman Renata tersebut menyerahkan sebuah map berwarna coklat tua pada Renata.
“Bukalah! Di sana terdapat bukti-bukti kecerobohan ibumu. Bukti bahwa ibumu menggelontorkan dana tersebut bukan untuk mengembangkan perusahaan, melainkan hanya untuk bersenang-senang dengan kekasihnya.”
Renata menatap map tersebut dengan campuran perasaan terkejut dan bingung. Semua yang ada di depannya adalah potongan-potongan puzzle yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dia ketahui tentang Kartika sejauh ini hanyalah permukaan dari kebenaran yang sebenarnya. Di saat yang sama, ia merasakan gelombang emosi yang menyelubungi dirinya — kekecewaan, amarah, dan keputusasaan yang menguar dalam benaknya.
Sementara itu, di saat yang sama, Kartika tengah berada di ruangan interogasi yang terasa dingin dan tegang. Investigator pertama, seorang pria berwibawa dengan tumpukan dokumen di mejanya, memandang kartika dengan serius.
"Kami memiliki bukti yang cukup untuk mendukung dugaan kami terhadap pengeluaran dana yang tidak sah dari perusahaan Anda, Nyonya Kartika."
Kartika menelan ludah, mencoba mengendalikan ketegangannya.
“Tapi ... saya tidak menggunakan dana itu untuk kepentingan pribadi saya, Pak. Di sini hanya kesalahpahaman saja! Karena faktanya dana yang saya keluarkan itu untuk pengembangan perusahaan saya. Saya adalah pemilik, sekaligus pemimpin di perusahaan itu. Jadi saya punya hak dan kewajiban untuk mengembangkan perusahaan saya!”
Investigator ke-dua, seorang wanita tegas dengan tatapan tajam, memulai pertanyaannya. "Nyonya Kartika, apakah Anda mengakui bahwa pengeluaran dana tersebut dilakukan tanpa persetujuan resmi dari dewan direksi perusahaan?"
“Saya pemilik perusahaan itu! Saya tidak perlu meminta persetujuan dewan direksi yang kolot itu untuk mengeluarkan dana demi kemajuan perusahaan!” Lagi-Lagi Kartika menyatakan yang sama. Namun saat Investigator menyodorkan bukti-bukti jelas yang menunjukkan bahwa Kartika menggunakan dana perusahaan untuk berfoya-foya dengan kekasihnya, Kartika tampak kebingungan.
“Bagaimana itu mungkin?! Pria ini adalah rekan bisnis saya! Kami sudah menandatangani kontrak kerja untuk pengembangan perusahaan saya!” sanggah Kartika yang kali ini mulai panik.
“Apa Anda yakin bahwa pria itu hanya rekan bisnis semata? Apa Anda tidak memiliki hubungan khusus semacam pasangan kekasih dengan pria itu?”
Saat hendak menyangkal, tiba-tiba petugas investigasi lain datang membawa pria yang dimaksud dalam dokumen barang bukti tersebut.
Berbanding terbalik dengan pernyataan Kartika yang berulang kali menyebutkan bahwa dana itu untuk pengembangan perusahaan, pria itu justru berkata bahwa Kartika dan dirinya tengah merencanakan pernikahan di luar negeri. Jelas pernyataan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Kartika.
Namun, sayangnya tampak jelas bahwa para petugas investigasi itu lebih percaya pada ucapan pria itu ketimbang ucapan Kartika.
“Kalian tidak bisa memutuskannya seperti ini! Laki-Laki jahannam itu telah menipu kalian dengan pernyataan palsunya!” Kartika mulai tak bisa mengendalikan dirinya dan bertindak frontal dengan menyerang Bambang, pria yang di hadapannya itu.
“Katakan yang sebenarnya, Biadab! Katakan bahwa kita memang bekerja sama untuk membangun anak perusahaan JNS GROUP!” desak Kartika seraya meremas kerah kemeja Bambang.
Namun, Bambang justru menyunggingkan senyum liciknya dan berbisik, “Kau sudah hancur, Sayangku.”
Seketika Kartika berteriak histeris menggambarkan betapa frustasi dan putus asanya dia. Amarah yang meledak membuat Kartika reflek bergerak menyakar wajah Bambang. Namun, para investigator yang berada di ruangan itu segera menahan Kartika.
“Tidak! Aku tidak boleh berakhir seperti ini. Bagaimana bisa aku terjatuh dalam jebakan murahan seperti ini? Bajingan mana yang berani mempermainkanku?” batin Kartika yang mulai bertekad dan isi kepalanya terus berputar mencari jalan keluar dari masalah ini.
Kartika menatap tajam pada Bambang. Seakan tatapan itu tengah menerawang tentang siapa dalang dibalik semua ini.
“Izinkan saya menelepon seseorang. Meski bukan di pengadilan, bukankah saya juga berhak membawa saksi lain sebagai bukti bahwa tuduhan ini tidak benar?”
Petugas investigator pun mengizinkannya. Sempat bingung harus menghubungi siapa, Kartika akhirnya meminta bantuan salah satu teman sosialitanya. Ratih Wiratmadja, istri seorang pengusaha sukses, sekaligus termasuk dalam jajaran sepuluh orang terkaya di Tanah air.
“Sekalipun aku bisa membantumu, kau tahu persis bahwa aku bukan orang yang mau menolong tanpa pamrih, bukan?”
Tangan Kartika gemetar saat ia memegang ponselnya, mendengarkan nada dingin Ratih Wiratmadja di seberang sambungan. "Bisnis sangat berbeda dengan kegiatan amal, lalu apa yang bisa kau tawarkan untukku, Kartika?" ujarnya dengan nada tajam. Kartika mencoba menjawab, mencari kata-kata yang bisa membujuk hati Ratih. "Mungkin ... dengan memberikan 50% saham di JNS GROUP?"
Tawa meremehkan langsung menggema dari ujung telepon. "Apa kau pikir aku akan tertarik dengan saham perusahaan yang bahkan tak sebanding dengan harga sepatuku?" Ratih melanjutkan, menyindir tawaran Kartika. "Jangan bercanda denganku, Kartika. Dari pada itu ... kudengar putrimu baru saja meraih gelar BBA?"
Kartika merasa tertohok. Renata, putrinya, adalah satu-satunya harapannya dalam menghadapi masalah ini. Ia berusaha menjelaskan, "Iya, Renata baru saja lulus dengan gelar BBA. Dia memang cerdas, tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku butuh bantuanmu, Ratih."
Namun, Ratih tidak tergoyahkan. "Anak muda jaman sekarang, selalu merasa segalanya bisa diatasi dengan uang dan gelar. Tapi bisnis tidak hanya soal angka di rekening bank atau gelar yang terpampang di dinding kampus. Bisnis adalah permainan besar, Kartika. Dan jika kau tidak bisa melihat nilai sejati dari apa yang kau tawarkan padaku, bagaimana kau bisa mengelola bisnismu dengan bijak?"
Kartika merasa tertekan, tetapi dia tidak ingin menyerah begitu saja. Dia mencoba menjelaskan rencananya dengan lebih baik. "Maafkan saya, Ratih. Saya hanya mencoba memberikan yang terbaik. Saya bersedia memberikan jaminan apapun yang Anda inginkan. Saya tidak ingin perusahaan ini hancur, dan Renata adalah satu-satunya harapan kami. Dia cerdas dan berbakat, hanya butuh peluang untuk membuktikan dirinya."
"Bisnis adalah soal keberanian dan risiko, Kartika. Kalau kau takut mengambil resiko, mungkin bisnis ini memang bukan jalan yang tepat bagimu."
Saat Kartika merasa semakin terjepit, Ratih tersenyum dengan santainya, seolah-olah menikmati ketidakpastian Kartika.
"Aku mengerti. Tapi apa yang ingin kau lakukan dengan putriku? Jika itu sesuatu yang tidak merusak hidupnya, aku bersedia mencapai kesepakatan," ungkap Kartika, terpaksa mengambil keputusan berat yang melibatkan putrinya.
Di ujung telepon, Ratih diam sejenak sebelum mengatakan dengan suara dingin, "Kau tak tahu sejauh mana aku siap pergi untuk melindungi apa yang milikku, Kartika. Dan putrimu, itu hanya salah satu bagian dari taruhanku."
Pukul 22:00, Renata yang baru selesai memeriksa semua dokumen bergegas meninggalkan ruang kerjanya menuju kantor KPK. Dalam hati, dia tahu persis bahwa bukti-bukti yang pamannya berikan tadi akan menjadi senjata ampuh untuk memastikan Kartika tidak akan mudah lepas dari bayang-bayang vonis hukuman bersalah. Namun, saat dia hendak menaiki mobilnya di halaman kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, memotong langkahnya."Ibu? Kuharap ini bukan kabar buruk," gumam Renata penuh harap sebelum menjawab panggilan tersebut."Ini sudah larut malam, kenapa kau masih belum pulang? Apa kau masih di kantor?" suara lembut Kartika terdengar di seberang sambungan telepon. Pertanyaan ibunya membuat kening Renata mengkerut. Pertanyaan yang seharusnya menunjukkan rasa panik, tapi terdengar seperti rutinitas harian yang biasa, seolah tak pernah ada masalah besar. Kekhawatiran yang dipertontonkan dengan begitu wajar jelas membuat Renata merasa heran."Apa Ibu sudah ada di rumah?" tanya Renata, mencoba menca
Renata melangkah masuk ke ruang tamu dengan tatapan yang dingin, mencerminkan kekesalannya yang sulit ditutupi. Tanpa menyapa lebih dulu, ia langsung duduk di sofa dan memandang ibunya, Kartika, dengan ekspresi tanpa kompromi. "Ibu, aku perlu bertemu dengan Nyonya Ratih Wiratmadja. Tolong, buatkan aku janji untuk bertemu dengan beliau," ucap Renata dengan suara yang dingin, seolah membekukan udara di sekitarnya.“Kau yakin? Kau ingin bertemu dengannya? Tapi ... untuk apa?” pekik Kartika yang kini justru dibuat bertanya-tanya oleh permintaan putrinya."Aku rasa itu bukan lagi urusan Ibu. Bukankah Ibu sudah menjualku pada wanita itu? Dan ‘ku rasa ... Ibu sudah tidak punya hak lagi untuk memiliki rasa penasaran tentang langkah apa yang akan kuambil.”Plak!!!Seketika tangan Kartika ringan melayangkan tamparannya pada wajah ayu putri sulungnya.“Jaga ucapanmu, Re! Inikah yang kau ucapkan pada Ibu yang sudah mengajarimu bicara dulu? Ibu memang sudah salah karena membuatmu terjebak dalam p
Renata mendengkus seraya menyunggingkan senyum mencemooh. “Satu sisi Anda memandang saya cukup berkualitas untuk putra Anda, tapi di sisi lain Anda juga meragukan saya. Apakah itu wajar? Apakah itu adil? Padahal reputasi putra Andalah yang terkenal dengan kebobrokannya. Ups! Maaf, saya terlalu jujur. Tidakkah sebaiknya Anda juga memeriksa kesehatan putra Anda, Nyonya Wiratmadja? Saya tidak mau menjadi kambing hitam sendirian jika nanti kualitas keturunan Wiratmadja menjadi produk gagal.” “Bersikap kurang ajar juga ada batasnya! Sebagai salah satu cucu ningrat berdarah jawa, tidakkah kau merasa bahwa ucapanmu kali ini kelewat kurang ajar, Nak?” Wajah Ratih yang sebelumnya memancarkan kesantunan dan keanggunan, kini mendadak tersapu oleh warna merah padam. Sorot matanya menusuk tajam, mencerminkan amarah yang sulit ditepiskan. Bibir yang tadinya tersenyum lembut kini menyusut menjadi garis yang ketat. “Kenapa? Apa Anda merasa tersinggung, Nyonya? Dalam bisnis, saya harus membangun po
“Ya! Aku baru saja sampai di bandara Soekarno-Hatta. Sebaiknya kita bertemu besok pagi di kantor pusat JSN GROUP, untuk membicarakan informasi yang kau sampaikan minggu lalu,” ujar seorang gadis yang berpakaian serba hitam melalui ponsel pintarnya.Renata Dian Kusuma, cucu pertama salah satu pemilik perusahaan industri yang memproduksi jamu tradisional dalam kemasan instan terbesar di Indonesia. Di usianya yang menginjak 22 tahun, Renata berhasil meraih gelar sarjana Bachelor of Business Administration (BBA) di University of Pennsylvania - The Wharton School, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.Tentunya hal itu sangatlah lumrah bagi seorang cucu ningrat jawa yang tidak terlalu kolot dan cukup berpikiran terbuka mengenai pendidikan. Terlebih lagi Renata merupakan cucu kesayangan mendiang sang nenek, yang juga digadang-gadang sebagai penerus perusahaan Jamu Sehat Nusantara (JSN GROUP) yang sudah dibangun mendiang neneknya.Satu hari kembalinya Renata ke tanah air, ia langsung m
Renata mendengkus seraya menyunggingkan senyum mencemooh. “Satu sisi Anda memandang saya cukup berkualitas untuk putra Anda, tapi di sisi lain Anda juga meragukan saya. Apakah itu wajar? Apakah itu adil? Padahal reputasi putra Andalah yang terkenal dengan kebobrokannya. Ups! Maaf, saya terlalu jujur. Tidakkah sebaiknya Anda juga memeriksa kesehatan putra Anda, Nyonya Wiratmadja? Saya tidak mau menjadi kambing hitam sendirian jika nanti kualitas keturunan Wiratmadja menjadi produk gagal.” “Bersikap kurang ajar juga ada batasnya! Sebagai salah satu cucu ningrat berdarah jawa, tidakkah kau merasa bahwa ucapanmu kali ini kelewat kurang ajar, Nak?” Wajah Ratih yang sebelumnya memancarkan kesantunan dan keanggunan, kini mendadak tersapu oleh warna merah padam. Sorot matanya menusuk tajam, mencerminkan amarah yang sulit ditepiskan. Bibir yang tadinya tersenyum lembut kini menyusut menjadi garis yang ketat. “Kenapa? Apa Anda merasa tersinggung, Nyonya? Dalam bisnis, saya harus membangun po
Renata melangkah masuk ke ruang tamu dengan tatapan yang dingin, mencerminkan kekesalannya yang sulit ditutupi. Tanpa menyapa lebih dulu, ia langsung duduk di sofa dan memandang ibunya, Kartika, dengan ekspresi tanpa kompromi. "Ibu, aku perlu bertemu dengan Nyonya Ratih Wiratmadja. Tolong, buatkan aku janji untuk bertemu dengan beliau," ucap Renata dengan suara yang dingin, seolah membekukan udara di sekitarnya.“Kau yakin? Kau ingin bertemu dengannya? Tapi ... untuk apa?” pekik Kartika yang kini justru dibuat bertanya-tanya oleh permintaan putrinya."Aku rasa itu bukan lagi urusan Ibu. Bukankah Ibu sudah menjualku pada wanita itu? Dan ‘ku rasa ... Ibu sudah tidak punya hak lagi untuk memiliki rasa penasaran tentang langkah apa yang akan kuambil.”Plak!!!Seketika tangan Kartika ringan melayangkan tamparannya pada wajah ayu putri sulungnya.“Jaga ucapanmu, Re! Inikah yang kau ucapkan pada Ibu yang sudah mengajarimu bicara dulu? Ibu memang sudah salah karena membuatmu terjebak dalam p
Pukul 22:00, Renata yang baru selesai memeriksa semua dokumen bergegas meninggalkan ruang kerjanya menuju kantor KPK. Dalam hati, dia tahu persis bahwa bukti-bukti yang pamannya berikan tadi akan menjadi senjata ampuh untuk memastikan Kartika tidak akan mudah lepas dari bayang-bayang vonis hukuman bersalah. Namun, saat dia hendak menaiki mobilnya di halaman kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, memotong langkahnya."Ibu? Kuharap ini bukan kabar buruk," gumam Renata penuh harap sebelum menjawab panggilan tersebut."Ini sudah larut malam, kenapa kau masih belum pulang? Apa kau masih di kantor?" suara lembut Kartika terdengar di seberang sambungan telepon. Pertanyaan ibunya membuat kening Renata mengkerut. Pertanyaan yang seharusnya menunjukkan rasa panik, tapi terdengar seperti rutinitas harian yang biasa, seolah tak pernah ada masalah besar. Kekhawatiran yang dipertontonkan dengan begitu wajar jelas membuat Renata merasa heran."Apa Ibu sudah ada di rumah?" tanya Renata, mencoba menca
“Jika salah satu di antara kalian ada yang bernama Kartika Ayu Kusuma, mohon kerjasamanya untuk bersedia menjalani penyelidikan lebih lanjut di kantor kami.”Tidak langsung mengiyakan petugas penyidik tersebut, Kartika menanyakan kembali keabsahan tugas mereka. Petugas itu pun menyerahkan surat perintah dari atasan mereka.“Siapa yang membuat laporan sembrono seperti ini? Memang benar mengenai adanya pengeluaran dana, tapi ....” Kartika masih berusaha membela diri. Namun sayangnya petugas penyidik tersebut bersikukuh agar Kartika menjelaskan semuanya di kantor mereka, hingga mereka bertindak membekuk Kartika layaknya tersangka kriminal.“Tidak! Jangan seperti ini! Aku bukan pelaku kriminal! Jadi kalian tidak perlu memperlakukanku dengan tindakan rendahan seperti ini!” Kartika menghempaskan tangan para pria berperawakan tegap yang berusaha membekuknya, dan pergi mengikuti mereka dengan tenang tanpa banyak drama. Dalam sekejap, ruangan Renata menjadi sunyi. Pintu yang tertutup membuat g
“Ya! Aku baru saja sampai di bandara Soekarno-Hatta. Sebaiknya kita bertemu besok pagi di kantor pusat JSN GROUP, untuk membicarakan informasi yang kau sampaikan minggu lalu,” ujar seorang gadis yang berpakaian serba hitam melalui ponsel pintarnya.Renata Dian Kusuma, cucu pertama salah satu pemilik perusahaan industri yang memproduksi jamu tradisional dalam kemasan instan terbesar di Indonesia. Di usianya yang menginjak 22 tahun, Renata berhasil meraih gelar sarjana Bachelor of Business Administration (BBA) di University of Pennsylvania - The Wharton School, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.Tentunya hal itu sangatlah lumrah bagi seorang cucu ningrat jawa yang tidak terlalu kolot dan cukup berpikiran terbuka mengenai pendidikan. Terlebih lagi Renata merupakan cucu kesayangan mendiang sang nenek, yang juga digadang-gadang sebagai penerus perusahaan Jamu Sehat Nusantara (JSN GROUP) yang sudah dibangun mendiang neneknya.Satu hari kembalinya Renata ke tanah air, ia langsung m