“Ya! Aku baru saja sampai di bandara Soekarno-Hatta. Sebaiknya kita bertemu besok pagi di kantor pusat JSN GROUP, untuk membicarakan informasi yang kau sampaikan minggu lalu,” ujar seorang gadis yang berpakaian serba hitam melalui ponsel pintarnya.
Renata Dian Kusuma, cucu pertama salah satu pemilik perusahaan industri yang memproduksi jamu tradisional dalam kemasan instan terbesar di Indonesia. Di usianya yang menginjak 22 tahun, Renata berhasil meraih gelar sarjana Bachelor of Business Administration (BBA) di University of Pennsylvania - The Wharton School, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.
Tentunya hal itu sangatlah lumrah bagi seorang cucu ningrat jawa yang tidak terlalu kolot dan cukup berpikiran terbuka mengenai pendidikan. Terlebih lagi Renata merupakan cucu kesayangan mendiang sang nenek, yang juga digadang-gadang sebagai penerus perusahaan Jamu Sehat Nusantara (JSN GROUP) yang sudah dibangun mendiang neneknya.
Satu hari kembalinya Renata ke tanah air, ia langsung mengambil posisi sebagai wakil presiden direktur di JSN GROUP. Hal itu dikarenakan adanya sebuah laporan rahasia yang menyatakan bahwa ada aliran dana mencurigakan yang terus keluar setiap bulannya dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini. Tentunya jumlah dana yang keluar tersebut tidaklah kecil.
Setelah memverifikasi informasi dari pelapor rahasia, Renata dengan langkah mantap menuju ruangan ibunya. Tanpa ragu, dia membuka pintu dan memasuki ruang kerja presdir, ekspresi serius menghiasi wajahnya. “Nyonya Presdir, apakah saya boleh melihat catatan keuangan perusahaan ini?” tanyanya langsung.
Kartika yang kala itu tengah sibuk dengan berkasnya pun langsung mengangkat kepalanya, menatap tajam Renata. Mencoba mencari tahu apa maksud dari pertanyaan putrinya tersebut. Namun, alih-alih mengizinkan, Kartika justru mengukir senyum tipis, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan. Dengan lembut, dia berkata, "Renata, buku besar perusahaan ini bukan sesuatu yang bisa dilihat sembarangan. Apa ada alasan khusus kenapa kamu ingin melihatnya?" Suaranya tenang, tetapi ada ketegasan di dalamnya. Dia tidak akan mengizinkan begitu saja tanpa penjelasan yang memuaskan.
Renata menatap ibunya dengan tatapan mata tajam, dan ekspresi wajah dingin. "Ibu, saya ingin melihat buku besar. Ada laporan rahasia yang mencurigakan. Saya ingin memastikan perusahaan kita berjalan dengan baik dan jujur."
Kartika masih berdiam ragu dan tampak jelas bahwa ia enggan menyerahkan atau hanya sekedar memperlihatkan buku besar itu pada putrinya, hingga hal itu tentunya membuat kecurigaan Renata semakin kuat.
“Bukankah aneh, jika aku yang merupakan ahli waris perusahaan ini tidak boleh tahu tentang seluk beluk perusahaan yang akan saya pimpin? Apa Ibu sudah melupakan wasiat Nenek?”
Kata-kata Renata yang tajam membuat sang bunda terkejut. Dia tampak kebingungan dan tidak percaya, sedangkan Renata tetap tegas. Renata yang mengingatkan ibunya tentang tanggung jawabnya sebagai ahli waris, menciptakan momen yang tegang di antara keduanya, hingga Kartika merasa tak berdaya, dan akhirnya mau tidak mau ia harus menyerahkan buku besar itu pada putrinya.
“Terima kasih atas kerjasamanya, Nyonya Presdir,” pungkas Renata yang langsung keluar dari ruangan ibunya dengan buku besar di tangannya. Dia tersenyum, tetapi di dalam hatinya, dia berharap tidak menemukan bukti yang mendukung kecurigaannya. Dia berharap dugaannya salah, tetapi dia juga tahu bahwa ada kemungkinan itu benar.
Sekarang, gadis berkulit kuning langsat itu duduk tegak di depan meja kerjanya dengan buku besar perusahaan terbuka di hadapannya. Wajahnya yang tampak dingin mencerminkan campuran antara ragu dan semangat yang membara. Tangannya gemetar sedikit saat ia membalik halaman-halaman catatan keuangan dengan mata yang tajam. Meskipun ada keraguan yang menghantuinya, ketertarikannya pada isi buku besar tersebut membuatnya semakin fokus. Napasnya menjadi teratur saat dia terus menyusuri halaman demi halaman, berusaha mencari tahu lebih banyak tentang keadaan finansial perusahaan yang dibangun mendiang sang nenek.
Namun, dalam momen yang mendebarkan itu, matanya tiba-tiba melebar dan nafasnya tercekat. Tangan yang memegang buku besar itu gemetar begitu keras hingga hampir menjatuhkannya. Ekspresi kaget dan keheranan menciptakan gelombang emosi di wajahnya. Renata menemukan sesuatu yang mengejutkan di dalam buku besar perusahaan tersebut, sesuatu yang bahkan ia tidak pernah sangka sebelumnya.
Dengan tangannya yang gemetaran, Renata mengambil gagang telepon di hadapannya dan memanggil sekretarisnya. Seorang sekretaris yang sudah lama mengabdi pada nenek Renata dan menjadi salah satu orang kepercayaan mendiang neneknya. Suara lembut sekretaris memecah keheningan, tapi ketegangan masih terasa di udara. "Apa kau tahu arti dari data dan deretan angka yang tertulis di sini?" tanya Renata dengan keraguan di suaranya.
"Nona Renata," jawab sekretaris tersebut sambil menengok sedikit pada isi buku besar yang dibuka lebar oleh Renata. Sengaja Renata lakukan agar wanita berusia setengah abad itu bisa melihatnya.
Alih-alih menjawabnya, wanita yang biasa dipanggil Sekretaris Rosita oleh rekan-rekan kerjanya itu justru menggenggam erat tangannya sendiri, menunjukkan kecemasan yang terlihat jelas di wajahnya. Dia semakin merendahkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa takutnya dari tatapan tajam Renata. Dalam ketidakpastian yang menghantui ruangan itu, ekspresi wanita itu mencerminkan ketidakberdayaan dan kebingungan yang mendalam.
Namun, tiba-tiba Renata menggebrak meja dengan begitu kerasnya hingga membuat wanita paruh baya itu melonjak terkejut. Dalam detik itu, ruangan seolah bergetar oleh kekuatan yang tiba-tiba dilepaskan oleh Renata, menciptakan momen ketegangan yang memenuhi udara. Ekspresi wajahnya yang sebelumnya tenang kini berubah menjadi penuh kemarahan.
“Nyonya Rosita! Anda tahu persis kenapa mendiang Nenek begitu mempercayai Anda, hingga Anda masih bekerja meskipun di usia Anda saat ini, Anda sangat layak untuk diberhentikan, bukan?” Renata mempertegas setiap kata dengan intonasi yang menggetarkan udara di sekitarnya. Ia juga melihat Nyonya Rosita dengan tatapan yang begitu tajam sehingga seakan menusuk kedalam jiwa wanita paruh baya itu.
Tatapan tajamnya semakin memperdalam ketika dia melanjutkan, "Anda tentu juga tahu siapa pemimpin sesungguhnya perusahaan ini, bukan?" Kekuatan dan keberanian dalam suaranya menciptakan aura intimidasi yang begitu kuat, hingga Nyonya Rosita merasa terdesak dan tak berdaya.
“Ampuni saya, Nona ...! Saya tidak bermaksud untuk mengkhianati Anda. Tapi ....”
Wanita paruh baya itu akhirnya berlutut, meminta ampun pada Renata, terguncang oleh keberanian dan tekad yang begitu mendalam dari gadis muda di hadapannya.
“Tapi apa?” desak Renata yang membuat Nyonya Rosita semakin tertekan.
“Saya tidak tahu banyak tentang apa yang di dalam buku itu. Tapi ... setahun terakhir ini ... Nyonya Presdir berencana mengembangkan perusahaan kita untuk menembus pasar internasional,” terang Nyonya Rosita dengan suara gemetaran dan nada bicara yang terputus-putus.
Belum sempat Renata melanjutkan interogasinya pada Nyonya Rosita, tiba-tiba Kartika—ibunda Renata masuk menginterupsi. Seketika Nyonya Rosita kembali merendahkan kepalanya, lantaran merasa negeri dengan tatapan amarah Kartika yang tak kalah sadis dengan tatapan Renata saat ini.
“Apa Ibu datang ke sini untuk menjelaskan sesuatu?” tanya Renata dibarengi dengan tatapan tajam yang menyiratkan curiga dan amarah.
Tidak seperti beberapa saat yang lalu, kali ini Kartika tampak tenang, dan penuh percaya diri menghadapi reaksi murka putrinya. Wanita berusia 45 tahun itu bahkan tersenyum sebelum mengatakan kalimat penenang untuk putrinya.
“Aku sudah menduga bahwa kau akan bereaksi seperti ini setelah mengetahui isi catatan buku besar itu. Tapi ... daripada kau bertindak gegabah dengan mengadakan rapat dadakan dengan dewan direksi, maka aku akan menjelaskannya padamu.”
Kartika yang saat ini tengah duduk di hadapan sang putri, melirik tajam pada Nyonya Rosita yang masih berlutut di lantai, tepat di sisi kiri tempat duduknya. Lirikan tersebut adalah isyarat agar Nyonya Rosita. Seakan memahami isyarat tersebut, Nyonya Rosita pun pamit undur diri dari ruangan tersebut.
“Seperti yang kau lihat dalam buku catatan besar itu, Ibu memang menggelontorkan sebagian dana perusahaan kita ke perusahaan IHS yang sedang dirintis oleh orang kepercayaan Ibu. Ibu memang sengaja tidak membicarakan ini pada dewan direksi karena Ibu yakin ....”
“Sedang dirintis? Apa Ibu pernah mengunjungi perusahaan itu? Apa Ibu juga memeriksa latar belakang orang yang Ibu percaya itu?” cecar Renata yang langsung memotong penjelasan sang ibu yang belum selesai.
“Ya ... akhir minggu ini Ibu berencana untuk mengunjungi pe ....”
“Benar-Benar tak bisa dipercaya! Sebenarnya apa yang Ibu pikirkan?” pekik Renata yang mulai geram mendengarkan penjelasan ibunya. Namun, belum tuntas mereka berbicara tiba-tiba datang sekelompok pria berjas hitam datang menggeruduk ruangan Renata.
“Selamat sore. Maaf mengganggu waktunya. Kami dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami datang untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pengeluaran dana perusahaan tanpa persetujuan dewan direksi yang dilakukan oleh Ibu Kartika Ayu Kusuma," ungkap salah seorang dari sekelompok pria berjas hitam itu, seraya menatap Renata dan Kartika secara bergantian. Seolah mencari tahu mana dari dua wanita itu yang bernama Kartika Ayu Kusuma.
“Jika salah satu di antara kalian ada yang bernama Kartika Ayu Kusuma, mohon kerjasamanya untuk bersedia menjalani penyelidikan lebih lanjut di kantor kami.”Tidak langsung mengiyakan petugas penyidik tersebut, Kartika menanyakan kembali keabsahan tugas mereka. Petugas itu pun menyerahkan surat perintah dari atasan mereka.“Siapa yang membuat laporan sembrono seperti ini? Memang benar mengenai adanya pengeluaran dana, tapi ....” Kartika masih berusaha membela diri. Namun sayangnya petugas penyidik tersebut bersikukuh agar Kartika menjelaskan semuanya di kantor mereka, hingga mereka bertindak membekuk Kartika layaknya tersangka kriminal.“Tidak! Jangan seperti ini! Aku bukan pelaku kriminal! Jadi kalian tidak perlu memperlakukanku dengan tindakan rendahan seperti ini!” Kartika menghempaskan tangan para pria berperawakan tegap yang berusaha membekuknya, dan pergi mengikuti mereka dengan tenang tanpa banyak drama. Dalam sekejap, ruangan Renata menjadi sunyi. Pintu yang tertutup membuat g
Pukul 22:00, Renata yang baru selesai memeriksa semua dokumen bergegas meninggalkan ruang kerjanya menuju kantor KPK. Dalam hati, dia tahu persis bahwa bukti-bukti yang pamannya berikan tadi akan menjadi senjata ampuh untuk memastikan Kartika tidak akan mudah lepas dari bayang-bayang vonis hukuman bersalah. Namun, saat dia hendak menaiki mobilnya di halaman kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, memotong langkahnya."Ibu? Kuharap ini bukan kabar buruk," gumam Renata penuh harap sebelum menjawab panggilan tersebut."Ini sudah larut malam, kenapa kau masih belum pulang? Apa kau masih di kantor?" suara lembut Kartika terdengar di seberang sambungan telepon. Pertanyaan ibunya membuat kening Renata mengkerut. Pertanyaan yang seharusnya menunjukkan rasa panik, tapi terdengar seperti rutinitas harian yang biasa, seolah tak pernah ada masalah besar. Kekhawatiran yang dipertontonkan dengan begitu wajar jelas membuat Renata merasa heran."Apa Ibu sudah ada di rumah?" tanya Renata, mencoba menca
Renata melangkah masuk ke ruang tamu dengan tatapan yang dingin, mencerminkan kekesalannya yang sulit ditutupi. Tanpa menyapa lebih dulu, ia langsung duduk di sofa dan memandang ibunya, Kartika, dengan ekspresi tanpa kompromi. "Ibu, aku perlu bertemu dengan Nyonya Ratih Wiratmadja. Tolong, buatkan aku janji untuk bertemu dengan beliau," ucap Renata dengan suara yang dingin, seolah membekukan udara di sekitarnya.“Kau yakin? Kau ingin bertemu dengannya? Tapi ... untuk apa?” pekik Kartika yang kini justru dibuat bertanya-tanya oleh permintaan putrinya."Aku rasa itu bukan lagi urusan Ibu. Bukankah Ibu sudah menjualku pada wanita itu? Dan ‘ku rasa ... Ibu sudah tidak punya hak lagi untuk memiliki rasa penasaran tentang langkah apa yang akan kuambil.”Plak!!!Seketika tangan Kartika ringan melayangkan tamparannya pada wajah ayu putri sulungnya.“Jaga ucapanmu, Re! Inikah yang kau ucapkan pada Ibu yang sudah mengajarimu bicara dulu? Ibu memang sudah salah karena membuatmu terjebak dalam p
Renata mendengkus seraya menyunggingkan senyum mencemooh. “Satu sisi Anda memandang saya cukup berkualitas untuk putra Anda, tapi di sisi lain Anda juga meragukan saya. Apakah itu wajar? Apakah itu adil? Padahal reputasi putra Andalah yang terkenal dengan kebobrokannya. Ups! Maaf, saya terlalu jujur. Tidakkah sebaiknya Anda juga memeriksa kesehatan putra Anda, Nyonya Wiratmadja? Saya tidak mau menjadi kambing hitam sendirian jika nanti kualitas keturunan Wiratmadja menjadi produk gagal.” “Bersikap kurang ajar juga ada batasnya! Sebagai salah satu cucu ningrat berdarah jawa, tidakkah kau merasa bahwa ucapanmu kali ini kelewat kurang ajar, Nak?” Wajah Ratih yang sebelumnya memancarkan kesantunan dan keanggunan, kini mendadak tersapu oleh warna merah padam. Sorot matanya menusuk tajam, mencerminkan amarah yang sulit ditepiskan. Bibir yang tadinya tersenyum lembut kini menyusut menjadi garis yang ketat. “Kenapa? Apa Anda merasa tersinggung, Nyonya? Dalam bisnis, saya harus membangun po
Renata mendengkus seraya menyunggingkan senyum mencemooh. “Satu sisi Anda memandang saya cukup berkualitas untuk putra Anda, tapi di sisi lain Anda juga meragukan saya. Apakah itu wajar? Apakah itu adil? Padahal reputasi putra Andalah yang terkenal dengan kebobrokannya. Ups! Maaf, saya terlalu jujur. Tidakkah sebaiknya Anda juga memeriksa kesehatan putra Anda, Nyonya Wiratmadja? Saya tidak mau menjadi kambing hitam sendirian jika nanti kualitas keturunan Wiratmadja menjadi produk gagal.” “Bersikap kurang ajar juga ada batasnya! Sebagai salah satu cucu ningrat berdarah jawa, tidakkah kau merasa bahwa ucapanmu kali ini kelewat kurang ajar, Nak?” Wajah Ratih yang sebelumnya memancarkan kesantunan dan keanggunan, kini mendadak tersapu oleh warna merah padam. Sorot matanya menusuk tajam, mencerminkan amarah yang sulit ditepiskan. Bibir yang tadinya tersenyum lembut kini menyusut menjadi garis yang ketat. “Kenapa? Apa Anda merasa tersinggung, Nyonya? Dalam bisnis, saya harus membangun po
Renata melangkah masuk ke ruang tamu dengan tatapan yang dingin, mencerminkan kekesalannya yang sulit ditutupi. Tanpa menyapa lebih dulu, ia langsung duduk di sofa dan memandang ibunya, Kartika, dengan ekspresi tanpa kompromi. "Ibu, aku perlu bertemu dengan Nyonya Ratih Wiratmadja. Tolong, buatkan aku janji untuk bertemu dengan beliau," ucap Renata dengan suara yang dingin, seolah membekukan udara di sekitarnya.“Kau yakin? Kau ingin bertemu dengannya? Tapi ... untuk apa?” pekik Kartika yang kini justru dibuat bertanya-tanya oleh permintaan putrinya."Aku rasa itu bukan lagi urusan Ibu. Bukankah Ibu sudah menjualku pada wanita itu? Dan ‘ku rasa ... Ibu sudah tidak punya hak lagi untuk memiliki rasa penasaran tentang langkah apa yang akan kuambil.”Plak!!!Seketika tangan Kartika ringan melayangkan tamparannya pada wajah ayu putri sulungnya.“Jaga ucapanmu, Re! Inikah yang kau ucapkan pada Ibu yang sudah mengajarimu bicara dulu? Ibu memang sudah salah karena membuatmu terjebak dalam p
Pukul 22:00, Renata yang baru selesai memeriksa semua dokumen bergegas meninggalkan ruang kerjanya menuju kantor KPK. Dalam hati, dia tahu persis bahwa bukti-bukti yang pamannya berikan tadi akan menjadi senjata ampuh untuk memastikan Kartika tidak akan mudah lepas dari bayang-bayang vonis hukuman bersalah. Namun, saat dia hendak menaiki mobilnya di halaman kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, memotong langkahnya."Ibu? Kuharap ini bukan kabar buruk," gumam Renata penuh harap sebelum menjawab panggilan tersebut."Ini sudah larut malam, kenapa kau masih belum pulang? Apa kau masih di kantor?" suara lembut Kartika terdengar di seberang sambungan telepon. Pertanyaan ibunya membuat kening Renata mengkerut. Pertanyaan yang seharusnya menunjukkan rasa panik, tapi terdengar seperti rutinitas harian yang biasa, seolah tak pernah ada masalah besar. Kekhawatiran yang dipertontonkan dengan begitu wajar jelas membuat Renata merasa heran."Apa Ibu sudah ada di rumah?" tanya Renata, mencoba menca
“Jika salah satu di antara kalian ada yang bernama Kartika Ayu Kusuma, mohon kerjasamanya untuk bersedia menjalani penyelidikan lebih lanjut di kantor kami.”Tidak langsung mengiyakan petugas penyidik tersebut, Kartika menanyakan kembali keabsahan tugas mereka. Petugas itu pun menyerahkan surat perintah dari atasan mereka.“Siapa yang membuat laporan sembrono seperti ini? Memang benar mengenai adanya pengeluaran dana, tapi ....” Kartika masih berusaha membela diri. Namun sayangnya petugas penyidik tersebut bersikukuh agar Kartika menjelaskan semuanya di kantor mereka, hingga mereka bertindak membekuk Kartika layaknya tersangka kriminal.“Tidak! Jangan seperti ini! Aku bukan pelaku kriminal! Jadi kalian tidak perlu memperlakukanku dengan tindakan rendahan seperti ini!” Kartika menghempaskan tangan para pria berperawakan tegap yang berusaha membekuknya, dan pergi mengikuti mereka dengan tenang tanpa banyak drama. Dalam sekejap, ruangan Renata menjadi sunyi. Pintu yang tertutup membuat g
“Ya! Aku baru saja sampai di bandara Soekarno-Hatta. Sebaiknya kita bertemu besok pagi di kantor pusat JSN GROUP, untuk membicarakan informasi yang kau sampaikan minggu lalu,” ujar seorang gadis yang berpakaian serba hitam melalui ponsel pintarnya.Renata Dian Kusuma, cucu pertama salah satu pemilik perusahaan industri yang memproduksi jamu tradisional dalam kemasan instan terbesar di Indonesia. Di usianya yang menginjak 22 tahun, Renata berhasil meraih gelar sarjana Bachelor of Business Administration (BBA) di University of Pennsylvania - The Wharton School, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.Tentunya hal itu sangatlah lumrah bagi seorang cucu ningrat jawa yang tidak terlalu kolot dan cukup berpikiran terbuka mengenai pendidikan. Terlebih lagi Renata merupakan cucu kesayangan mendiang sang nenek, yang juga digadang-gadang sebagai penerus perusahaan Jamu Sehat Nusantara (JSN GROUP) yang sudah dibangun mendiang neneknya.Satu hari kembalinya Renata ke tanah air, ia langsung m